PELAJARAN 1 - Apakah Agama ituDefinisi AgamaTujuan penyusunan buku ini ialah menjelaskan akidah Islam yang dikenal dengan
istilah ushuluddin(prinsip-prinsip agama). Untuk itu, terlebih dahulu kami akan menjelaskan
kata din (agama) secara singkat dan kata-kata lain yang berhubungan dengannya. Hal itu—
sebagaimana telah di-singgung dalam ilmu Mantiq—penting mengingat tahap pembahasan
definisi(Mabadi Tashawwuriyyah) mengawali pembahasan masalah lainnya.
Secara leksikal, kata din berasal dari bahasa Arab yang berarti ketaatan dan balasan. Sedangkan
secara teknikal, din berarti iman kepada pencipta manusia dan alam semesta, serta kepada hukum
praktis yang sesuai dengan keimanan tersebut. Dari sinilah kata al-ladini (orang yang tak beragama)
digunakan pada orang yang tidak percaya kepada wujud pencipta alam secara mutlak, walaupun ia
meyakini shudfah (kejadian yang tak bersebab-akibat) di alam ini, atau meyakini bahwa terciptanya
alam semesta ini akibat interaksi antar-materi semata. Adapun kata al-mutadayyin (orang yang
beragama) secara umum digunakan pada orang yang percaya akan wujud pencipta alam semesta ini,
walaupun kepercayaan, perilaku dan ibadahnya bercampur dengan berbagai penyimpangan dan
khurafat. Atas dasar inilah agama yang dianut oleh umat manusia terbagi menjadi dua; agama yang
hak dan agama yang batil. Agama yang hak merupakan dasar yang meliputi keyakinan-keyakinan
yang benar; yang sesuai dengan kenyataan, dan ajaran-ajaran serta hukum-hukumnya dibangun di
atas pondasi yang kokoh dan dapat dibuktikan kesahihannya.
Usuluddin dan Cabang-cabangnya
Dari uraian singkat di atas tampak jelas bahwa istilah din atau agama terdiri dari dua unsur
pokok:pertama, akidah atau aqa’id (keyakinan-keyakinan) yang merupakan prinsip agama. Kedua,
hukum-hukum praktis yang merupakan konsekuensi logis dari prinsip agama tersebut.
Oleh karena itu, tepat sekali apabila bagian akidah ini dinamakan sebagai ushul (prinsip) agama,
dan bagian ahkam (hukum-hukum) praktis dinamakan sebagai furu’ (cabang), sebagaimana para
ulama Islam menggunakan dua istilah tersebut pada bidang akidah dan hukum-hukum Islam.
Pandangan Dunia dan Ideologi
Pandangan dunia (Ar-Ru’yah Al-Kauniyyah) dan ideologi adalah dua istilah yang berdekatan
artinya. Salah satu arti pandangan dunia ialah seperangkat keyakinan mengenai penciptaan, alam
semesta dan manusia, bahkan mengenai wujud secara mutlak.Sedangkan arti ideologi, salah satunya
ialah seperangkat pandangan universal tentang sikap praktis manusia. Berdasarkan dua arti ini,
sistem akidah setiap agama dapat dianggap sebagai sebuah pandangan yang bersifat universal.
Sedang sistem hukum praktis agama yang bersifat umum adalah ideologinya. Maka itu, kedua istilah
ini dapat diterapkan pada ushuluddin dan furu’uddin.
Akan tetapi, perlu diperhatikan bahwa istilah ideologi itu tidak meliputi hukumhukum
juz’i (partikular), begitu pula istilah padangan dunia itu tidak meliputi keyakinan-keyakinan
yang juz'i. Hal lain yang juga perlu diperhatikan ialah bahwa istilah ideologi terkadang digunakan
untuk pengertian yang bahkan mencakup pandangan dunia itu sendiri.
Pandangan Dunia Ilahi dan Materialisme
Pada umat manusia, terdapat berbagai pandangan dan keyakinan mengenai penciptaan alam
semesta ini. Akan tetapi, semua itu—dari sisi keimanan atau pengingkaran terhadap alam
metafisis—dapat dibagi menjadi dua bagian utama; pandangan dunia Ilahi dan pandangan dunia
Materialisme.
Dahulu, penganut pandangan dunia Materialisme dikenal sebagai ath-thabi’i dan ad-dahri.
Terkadang juga disebut sebagai zindik dan mulhid (ateis). Sedangkan di zaman kita sekarang ini,
mereka dikenal sebagai al-maddi (materialis). Di dalam kaum materialis sendiri, terdapat aliranaliran.
Yang paling menonjol pada masa kita sekarang ini adalah Materialisme Dialektika yang
merupakan bagian Filsafat Marxisme.
Dari uraian di atas jelaslah bahwa istilah pandangan dunia tidak terbatas hanya pada
kepercayaan agama saja, namun mempunyai pengertian yang lebih luas lagi, karena istilah itu juga
digunakan pada pandangan ilhadiyyah (ateisme) dan madiyyah (materialisme), sebagaimana istilah
ideologi itu tidak hanya digunakan untuk sistem hukum suatu agama.
Agama Samawi dan Dasar-dasarnya
Para ulama, ahli sejarah agama dan sosiologi berbeda pendapat mengenai kemunculan agama.
Adapun sumber-sumber Islam menyatakan bahwa agama tauhid lahir seketika kelahiran manusia
pertama. Manusia pertama yang lahir di muka bumi ini adalah nabi (Adam as) dan penyeru ajaran
tauhid (mengesakan Allah). Adapun agama-agama musyrik muncul lantaran penyimpangan,
pemaksaan kehendak dan ambisi busuk, yang bersifat individu maupun kelompok.
Agama-agama tauhid adalah agama-agama samawi yang hakiki dengan tiga prinsip universal
mereka, yaitu pertama: iman kepada Allah Yang Esa. Kedua, iman kepada kehidupan abadi setiap
manusia di akhirat kelak untuk menerima pembalasan amal yang pernah ia lakukan semasa
hidupnya di dunia. Ketiga, iman kepada para nabi dan rasul yang diutus oleh Allah untuk memberi
hidayah dan bimbingan kepada seluruh umat manusia demi mencapai puncak kesempurnaan dan
kebahagiaan dunia serta akhirat.
Pada dasarnya, tiga prinsip ini merupakan jawaban yang paling tegas atas persoalan-persoalan
fundamental manusia yang berakal. Yaitu, siapakah pencipta alam semesta ini? Bagaimanakah akhir
kehidupan ini? Dan apakah cara untuk mengetahui sistem kehidupan yang terbaik? Sistem
kehidupan yang dibangun atas dasar wahyu pada hakikatnya adalah ideologi yang bersumber dari
pandangan dunia Ilahi.
Prinsip-prinsip akidah itu mempunyai berbagai konsekuensi dan rincian yang semuanya
membentuk sebuah sistem akidah agama. Adanya perbedaan di antara berbagai keyakinan
merupakan sebab munculnya berbagai agama dan madzhab. Kita perhatikan bagaimana perbedaan
tentang status kenabian sebagian nabi-nabi Ilahi dan tentang penentuan kitab yang orisinil dan utuh
menjadi sebab utama perselisihan di antara agama Yahudi, Nasrani dan Islam. Atau perbedaanperbedaan
lainnya seputar masalah akidah dan ibadah, sehingga sebagian dari agama itu sudah tidak
sesuai lagi dengan ajarannya yang murni. Contohnya, keyakinan orang-orang Nasrani terhadap
Trinitas yang jelas tidak sesuai dengan prinsip Tauhid, walaupun mereka telah berusaha untuk
menafsirkan dan menakwilnya sebegitu rupa agar dapat diterima. Demikian pula perselisihan
mengenai kepemimpinan dan penentuan khalifah setelah wafatnya Rasul saw; apakah penentuan
khalifah itu urusan Allah ataukah urusan manusia. Persoalan ini merupakan sebab utama terjadinya
ikhtilaf antara mazhab Ahli Sunnah dan mazhab Syi’ah di dalam Islam.
Dengan demikian, Tauhid, Kenabian dan Ma’ad (Hari Kebangkitan) adalah prinsip-prinsip akidah
pada semua agama samawi. Meski begitu, terdapat keyakinan-keyakinan yang merupakan turunan
dari prinsip-prinsip tersebut. Misalnya, keyakinan terhadap keberadaan Allah adalah prinsip
pertama, keyakinan terhadap keesaan-Nya adalah prinsip kedua. Atau, keyakinan terhadap Kenabian
merupakan sebuah prinsip semua agama samawi, sedangkan keyakinan terhadap kenabian Nabi
Muhammad saw adalah prinsip yang khas pada Islam. Sebagian ulama Syi’ah menjadikan Keadilan
Tuhan—yang merupakan turunan dari prinsip Tauhid—sebagai prinsip akidah khas Syi’ah. Dan
Imamah—sebagai perpanjangan dari Kenabian—adalah prinsip akidah khas Syi’ah lainnya.
Sebenarnya, penggunaan kata prinsip (al-ashl) pada ajaran-ajaran akidah seperti ini mengikuti
konvensi dan tidak perlu lagi diperdebatkan.
Oleh karena itu, kata ushuluddin dapat digunakan dalam dua istilah; umum dan khusus. Istilah
umumushuluddin mencakup akidah-akidah yang sahih; sebagai lawan dari furu’uddin. Sedang istilah
khususushuluddin berlaku hanya pada keyakinan-keyakinan yang paling prinsipal.
Istilah ushuluddin juga dapat digunakan secara mutlak (tidak hanya khusus bagi sebuah agama) pada
sejumlah kesamaan prinsip akidah di antara agama-agama samawi seperti tiga prinsip di atas tadi,
yaitu Tauhid, Kenabian dan Kebangkitan. Adapun jika ditambahkan prinsip-prinsip lainnya, istilah
yang biasa digunakan adalahushuluddin khusus. Demikian pula, jika ditambahkan akidah dan
keyakinan yang khas pada mazhab tertentu, istilah yang digunakan adalah ushulul madzhab.[]
Jawablah beberapa pertanyaan berikut ini:
1. Jelaskan pengertian agama secara leksikal dan teknikal!
2. Apa definisi pandangan dunia dan ideologi? Dan jelaskan perbedaan antara keduanya!
3. Terangkan dua macam utama pandangan dunia!
4. Jelaskan istilah umum dan istilah khusus ushuluddin!
5. Apa saja prinsip akidah yang sama pada agama-agama samawi? Dan sebesar apakah nilai
pentingnya?
PELAJARAN 2 - Pencarian AgamaMotivasi PencarianSalah satu keistimewaan manusia di atas makhluk lainnya yaitu adanya motivasi fitriyah untuk
mengenal hakikat dan mengetahui berbagai realitas. Fitrah ini mulai tampak sejak masa kanak-kanak
sampai akhir usianya. Ia yang lebih dikenal juga sebagai rasa ingin tahu (kuriositas) dapat
mendorong seseorang untuk mencari agama yang benar dan memikirkan berbagai persoalan yang
bersangkutan, antara lain:
Apakah ada wujud lain yang bersifat nonmateri dan gaib? Jika memang ada, apakah ada
hubungan antara alam gaib dengan alam materi ini? Jika benar terdapat relasi di antara keduanya,
apakah wujud nonmateri itu sebagai pencipta alam materi ini? Apakah wujud manusia itu terbatas
pada badan fisikal ini saja? Apakah hidupnya terbatas pada kehidupan di dunia ini? Ataukah ada
kehidupan lain? Apabila kehidupan lain itu ada, apakah ada hubungan di antara kehidupan duniawi
ini dan kehidupan ukhrawi? Apabila hubungan itu ada, persoalan-persoalan duniawi apakah yang
dapat menentukan urusan akhirat? Apakah cara untuk mengetahui tata hidup yang benar, yaitu
sistem yang dapat menjamin kebahagiaan manusia, baik di dunia maupun di akhirat kelak? Dan yang
terakhir, berupa apakah sistem dan undang-undang tersebut?
Dengan demikian, naluri rasa ingin tahu itu merupakan motivasi utama yang mendorong
seseorang untuk mencari berbagai persoalan, termasuk yang berkaitan dengan agama.
Motivasi kedua yang juga begitu kuat membangkitkan keinginan seseorang untuk mengetahui
berbagai hakikat adalah rasa ingin memenuhi berbagai kebutuhan yang ada hubungannya dengan
satu atau beberapa fitrah selain fitrah rasa ingin tahu. Berbagai kebutuhannya itu tidak dapat
terealisasi kecuali dengan memperoleh pengetahuan tertentu.
Maka itu, berbagai kenikmatan dan kesenangan materi duniawi itu baru akan dapat dicapai
dengan cara mengerahkan pikiran dan pengetahuan. Sedangkan pengetahuan empirik seseorang
akan sangat membantunya untuk memenuhi berbagai kebutuhannya. Jika agama itu dapat
membantu pula untuk memenuhi segala kebutuhannya dan meraih kesenangan dan keuntungan
yang diinginkan serta melindungi dirinya dari bahaya yang mengancamnya, tentunya agama itu pun
akan menjadi elemen utama di dalam kebutuhan hidupnya.
Dari uraian tersebut dapat dipahami bahwa fitrah mencari keuntungan, kebahagiaan dan rasa
aman dari marabahaya merupakan pendorong bawaan lainnya untuk mencari agama. Akan tetapi,
mengingat pengetahuan yang berhubungan dengan hal ini banyak sekali, belum lagi syarat-syarat
untuk mengetahui semua hakikat itu tidak mungkin dapat terpenuhi, maka sangat mungkin
seseorang itu akan memilih masalah dan persoalan yang paling mudah untuk dipecahkan, yang
paling banyak keuntungan materinya. Untuk itu, ia akan memilih jalan yang paling dekat untuk
sampai kepada tujuan yang diinginkannya dan menghindar dari usaha mencari kebenaran agama,
yang ia yakini bahwa hal itu sangat rumit dan sulit untuk dipecahkan, atau ia meyakini bahwa
masalah-masalah agama itu tidak akan mebuahkan hasil yang berarti.
Atas dasar itu, kami perlu menjelaskan betapa pentingnya pengaruh masalah-masalah agama.
Lebih dari itu, mencari masalah apa pun selain agama tidak akan memiliki nilai sebesar nilai yang
dikandung oleh masalah-masalah agama.
Kita perhatikan bahwa sebagian ahli Psikologi meyakini bahwa beragama dan beribadah kepada
Allah itu sebenarnya satu kecenderungan fitriyah tersendiri, yang basisnya disebut sebagai rasa
beragama. Mereka menempatkan rasa beragama sebagai naluri keempat manusia, di samping naluri
rasa ingin tahu (kuriositika), rasa ingin berbuat baik (etika) dan rasa ingin keindahan (estetika).
Selain mengandalkan bukti-bukti sejarah dan data-data arkeologis, para pakar itu pun
menemukan bahwa rasa beragama dan beribadah kepada Allah adalah fenomena yang merata dan
umum pada setiap generasi manusia sepanjang sejarah. Fenomena ini adalah bukti kuat bahwa
ihwal beragama merupakan sebuah naluri dan fitrah manusia.
Keumuman naluri beragama ini tidak berarti bahwa hal itu senantiasa ada dan hidup dalam diri
setiap orang yang lalu mendorongnya secara sadar kepada tujuan-tujuannya. Akan tetapi, sangat
mungkin fitrah itu tertimbun di kedalaman jiwanya lantaran faktor-faktor yang melingkupinya dan
pendidikan yang tidak benar, atau ia menyimpang dari jalan yang lurus, sebagaimana hal-hal ini
pun—sedikit atau banyak—bisa menimpa naluri dan kecenderungan bawaan lainnya.
Berdasarkan pandangan ini dapat kita ketahui bahwa mencari agama merupakan naluri
tersendiri pada diri setiap manusia sehinggga tidak perlu lagi menetapkan keberadaannya dengan
argumentasi. Pandangan ini dapat ditopang oleh dalil-dalil dari Al-Qur'an dan Hadis yang
berhubungan dengan naluri beragama. Akan tetapi, karena naluri dan kecenderungan semacam itu
tidak dapat dirasakan secara langsung, sangat mungkin seseorang akan mengingkari keberadaannya
dalam dirinya pada saat ia melakukan perdebatan.
Oleh karena itu, kami tidak sepenuhnya bersandar pada pandangan ini. Kami hanya akan
membahas dan menjelaskan pentingnya mencari agama yang berdasarkan argumentasiargumentasiaqli
(rasional).
Pentingnya Mencari Agama
Dari uraian di atas jelaslah bahwa dorongan naluri untuk mengetahui berbagai hakikat dari satu
sisi, dan motifasi untuk meraih keuntungan dan keamanan dari segala bahaya dari sisi lain, menjadi
alasan kuat seseorang untuk memikirkan dan memperoleh berbagai keyakinan.
Oleh karena itu, ketika seseorang mengetahui ihwal orang-orang besar dalam sejarah yang
mengaku bahwa mereka itu diutus oleh Sang Pencipta alam semesta ini untuk menuntun umat
manusia menuju kebahagiaan dunia dan akhirat, dan mereka telah mengerahkan segala kemampuan
untuk menyampaikan risalah Ilahi dan memberi petunjuk kepada umat manusia, bahkan mereka
siap menanggung berbagai tantangan dan kesulitan, hingga mempertaruhkan nyawa mereka demi
tujuan mulia ini, tentunya orang itu—dengan dorongan naluri tersebut—akan tergerak hatinya
untuk mencari agama dan melihat sejauh mana kebenaran klaim orang-orang besar itu. Apakah
mereka membawa argumentasi yang kuat untuk membela klaim tersebut? Terutama ketika ia
mengetahui bahwa dakwah dan risalah para nabi itu memberikan janji kebahagiaan abadi, di
samping peringatan akan adanya siksa yang abadi pula.
Artinya, yakin pada dakwah mereka itu mengandung kemungkinan untung abadi. Begitu pula,
menolak dakwah itu akan mendatangkan kemungkinan yang lain, yaitu kerugian dan kesengsaraan
yang abadi pula. Maka itu, tidak ada alasan lagi bagi orang ini untuk acuh tak acuh terhadap agama
dan enggan mencari kebenarannya.
Ya, mungkin saja sebagian orang tidak tergerak hatinya untuk mencari agama karena merasa
malas dan ingin hidup santai serta suka berleha-leha, atau karena meyakini bahwa agama itu akan
menuntut berbagai aturan dan mencegah mereka dari melakukan apa yang mereka inginkan.
Sesungguhnya orang-orang yang mempunyai pemikiran semacam ini akan ditimpa berbagai
akibat buruk kemalasan dan kecongkakannya itu. Lebih dari itu, mereka pun terancam azab yang
abadi. Orang-orang seperti ini lebih dungu dan jahil dari anak kecil yang sakit yang menolak diajak
berobat ke dokter lantaran takut untuk minum obat yang pahit, sementara kematian telah
mengancam dirinya. Hal ini terjadi karena anak kecil tersebut belum mencapai tingkat kesadaran
yang dapat membedakan mana yang berguna dan mana yang berbahaya untuk dirinya.
Selain itu, menolak anjuran dokter tidak akan berakibat apa-apa selain kehilangan sejenak rasa
senang dalam hidupnya di dunia. Sedangkan orang-orang yang telah mencapai usia dewasa dan
berakal mempunyai kemampuan untuk berfikir dan membedakan mana yang bermanfaat dan mana
yang tidak untuk dirinya, serta dapat menimbang antara kenikmatan temporal dan azab yang abadi.
Dalam perumpamaan Al-Qur’an, orang-orang yang lalai seperti itu lebih sesat dari binatang ternak:
Sesungguhnya mereka itu bagaikan binatang ternak bahkan lebih sesat lagi. Mereka itulah
orang-orang yang lalai.” (QS. Al-A'raf: 179).
Sesungguhnya seburuk-buruk binatang melata itu di sisi Allah adalah orang-orang yang tuli dan
bisu yang tidak berfikir.” (QS. Al-Anfal: 22).
Sebuah Keraguan
Barangkali ada sebagian orang yang enggan untuk berfikir dan mencari agama dengan alasan
sebagai berikut: bahwa sepatutnya energi dan waktu ini dikerahkan untuk mengatasi hal-hal yang
mungkin dapat diatasi oleh seseorang dan hasilnya pun dapat diharapkan secara nyata.Harapan dan
kemungkinan seperti ini tidak akan didapati dalam upaya mencari agama dan hal-hal yang
berhubungan dengannya.
Dengan demikian, alangkah baiknya jika tenaga dan wak-tu ini dikerahkan untuk usaha-usaha
yang dapat memberikan keberhasilan lebih banyak daripada harus mencari dan membahas masalahmasalah
agama yang belum jelas hasilnya itu.
Jawab:
pertama: adanya kemungkinan dan harapan akan ter-atasinya masalah-masalah agama itu tidak
lebih kecil daripada kemungkinan dan harapan akan teratasinya masalah-masalah yang bersifat
ilmiah. Kita telah mengetahui bahwa masalah-masalah ilmiah itu baru akan menuai hasil setelah
puluhan tahun lamanya; setelah para ilmuwan mengerahkan segala upaya mereka dalam mengatasi
hal ini.
Kedua: sesungguhnya nilai sebuah kemungkinan itu tidak diukur oleh satu indikasi saja, yaitu
kuantitas kemungkinan (qordul ihtimal). Tetapi, ada indikasi kemungkinan lain yang patut
dipertimbangkan, yaitu kualitas hal yang dimungkinkan (qodrul muhtamal). Misalnya, jika
kemungkinan adanya keuntungan dalam suatu usaha itu sebesar 5 %, sedang dalam usaha lainya
sebesar 10 %, akan tetapi jumlah keuntungan yang dimungkinkan dan yang bisa diharapkan dari
usaha pertama itu sebesar 1000 rupiah, sementara keuntungan dari usaha yang kedua hanya
sebesar 100 rupiah saja, maka usaha yang pertama itu lebih menguntungkan lima kali lipat
dibandingkan dengan usaha yang kedua tersebut, padahal tingkat kemungkinan usaha yang pertama
itu hanya 5 % saja, yaitu separuh dari tingkat kemungkinan yang terdapat pada usaha yang kedua.
Hal ini disebabkan pentingnya derajat dan nilai objek yang dimungkinkan.
Mengingat bahwa keuntungan yang dimungkinkan yang dapat diperoleh dari mencari agama itu
tidak terbatas besarnya, akan tetapi—meski tingkat kemungkinan untuk memperoleh hasilnya itu
lebih kecil—besarnya nilai dan pentingnya sebuah pencarian dan pengerahan tenaga dalam usaha ini
jauh mengungguli nilai pencarian usaha-usaha apapun yang hasilnya sedikit dan terbatas.
Sesungguhnya seseorang itu baru akan menyadari tidak perlunya mencari agama manakala ia
merasa yakin bahwa agama yang dicarinya itu adalah batil dan telah menyimpang, atau ia merasa
yakin bahwa masalah-masalah agama itu tidak mungkin dapat diselesaikan. Persoalannya, dari mana
keyakinan terhadap batilnya sebuah agama itu dapat diperoleh jika tanpa penelitian dan
pencarian?[]
Jawablah pertanyaan berikut ini:
1.Motivasi apakah yang mendorong seseorang untuk mengetahui berbagai hakikat?
2.Mengapa seseorang itu tidak mungkin mampu untuk mencari semua hakikat?
3.Apakah rasa beragama itu? Dan apa dalil keberadannya?
4.Terangkan pentingnya membahas ushuluddin!
5.Apakah rasa putus asa untuk menemukan jalan keluar yang meyakinkan dalam mengatasi
masalah-masalah agama itu dapat dijadikan sebagai alasan untuk menghindari upaya mencari dan
mengkajinya? Mengapa demikian?
PELAJARAN 3 - Syarat Utama Kehidupan ManusiaMukadimah
Pada pelajaran yang lalu kami telah jelaskan secara luas pentingnya mencari agama dan
berusaha mengenal agama yang hak, berangkat dari dorongan naluri bawaan manusia untuk
mencari kebahagiaan dan keamanan dari segala bahaya. Dorongan itu dapat ditemukan oleh setiap
manusia di dalam jiwanya sendiri. Dengan ungkapan lain, setiap manusia dapat mengetahui naluri
insaninya secara langsung dan dengan pengetahuan hudhuri[1] yang tidak mungkin keliru.
Pada pelajaran ini kami berusaha untuk membuktikan persoalan tersebut, akan tetapi dengan
metode lain yang berdasar pada premis-premis yang lebih teliti, untuk kemudian sampai pada satu
kesimpulan bahwa sesungguhnya setiap orang yang tidak mau mencari agama, tidak mau berpikir
tentangnya dan tidak percaya pada satu pandangan dan ideologi yang benar, maka tidak akan
sampai kepada kesempurnaan insaninya. Bahkan pada hakikatnya, orang seperti itu tidak dianggap
sebagai manusia. Artinya, syarat utama bagi kehidupan manusia itu adalah komitmen pada
pandangan dunia dan ideologi yang benar. Seseorang yang melandasi kehidupannya dengan dua
dasar ini (pandangan dunia dan ideologi yang benar), ia akan dapat hidup sebagai seorang manusia
yang hakiki.
Dalil ini bertolak dari tiga premis, yaitu:
Pertama, manusia adalah makhluk pencari kesempurnaan.
Kedua, kesempurnaan insani bisa terwujud melalui usaha ikhtiari (yang disengaja) yang muncul
dari kesadaran dan akal yang sehat.
Ketiga, hukum-hukum akal praktis terbentuk dari konsep-konsep tertentu, yang terpenting di
antaranya ialah tiga prinsip, yaitu: tahu akan sumber wujud (Tauhid), tahu akan akhir kehidupan
(Ma’ad) dan tahu akan jalan keselamatan yang dapat mengarah kepada sistem yang menjamin
kebahagiaan (Kenabian). Singkat kata, mengenal wujud, mengenal manusia dan, mengenal jalan
hidup.
Kita awali pembahasan ini dengan menjelaskan tiga premis tersebut, satu persatu.
Manusia Makhluk Pencari Kesempurnaan
Jika kita amati berbagai motif yang ada dalam jiwa dan kecenderungan-kecenderungannya, kita
akan menemukan bahwa kebanyakan motif utama tersebut adalah keinginan meraih kesempurnaan.
Kita tidak akan menemukan seorang pun yang menyukai kekurangan pada dirinya. Manusia
senantiasa berusaha keras mungkin untuk menghilangkan berbagai cela dan cacat dirinya sampai ia
dapat mencapai kesempurnaan yang diinginkan. Sebelum menghilangkan segala kekurangannya itu,
ia berusaha sedapat mungkin untuk menutupinya dari pandangan orang lain. Apabila motif ini
berjalan sesuai dengan nalurinya yang sehat, ia akan meningkatkan kesempurnaannya, baik yang
bersifat materi maupun maknawi. Namun, bila motif ini menyimpang dari jalannya yang normal—
lantaran faktor-faktor dan kondisi tertentu—justru akan melahirkan berbagai sifat buruk seperti
congkak, sombong, riya’, dll.
Dengan demikian dapat kita ketahui bahwa ingin sempurna merupakan faktor yang kuat di
dalam jiwa setiap manusia.Akan tetapi, biasanya faktor itu terefleksikan dalam sikap nyata yang
dapat menarik perhatian. Kalau saja direnungkan sejenak, kita akan dapat mengetahui bahwa
sesungguhnya dasar dan sumber berbagai sikap lahiriah itu adalah cinta kepada kesempurnaan.
Akal sebagai Kesempurnaan Manusia
Sesungguhnya proses perkembangan dan kesempurnaan pada tumbuhan itu bersifat niscaya
dan terpaksa karena tunduk kepada terpenuhinya berbagai faktor dan kondisi di luar diri mereka.
Sebuah pohon tidak tumbuh dengan kehendaknya sendiri, ia tidak menghasilkan buah-buahan
sesuai dengan kehendaknya, karena tumbuhan tidak memiliki perasaan dan kehendak. Berbeda
dengan binatang; ia mempunyai kehendak dan ikhtiar dalam menempuh kesempurnaannya, akan
tetapi kehendak dan ikhtiarnya itu timbul dari naluri hewani semata, dimana proses dan aktivitasnya
terbatas hanya pada kebutuhan-kebutuhan alamiahnya saja dan atas dasar perasaan yang sempit
dan terbatas dengan kadar indra hewaninya.
Adapun manusia, di samping memiliki segala kelebihan yang dimiliki tumbuhan dan binatang, ia
pun memiliki dua keistimewaan lainnya yang bersifat ruhani. Dari satu sisi, keinginan fitriyahnya
tidak dibatasi oleh kebutuhan-kebutuhan alami dan material, dan dari sisi lain ia memiliki kekuatan
akal yang dapat memperluas pengetahuannya sampai pada dimensi-dimensi yang tak terbatas.
keistimewaan semacam inilah yang membuat kehendak manusia itu dapat melampaui batasanbatasan
materi yang sempit, bahkan dapat terus bergerak ke satu tujuan yang tak terbatas.
Sebagaimana kesempurnaan yang dimiliki oleh tumbuhan itu bisa berkembang dengan
perantara potensinya yang khas, juga kesempurnaan yang dimiliki oleh binatang itu dapat dicapai
dengan kehendaknya yang muncul dari naluri dan pengetahuannya yang bersifat indrawi, demikian
pula halnya dengan manusia. Kesempurnaan khas manusia pada hakikatnya terletak pada
kesempurnaan ruh yang dapat dicapai melalui kehendaknya dan arahan-arahan akalnya yang sehat,
yaitu akal yang telah mengenal berbagai tujuan dan pandangan yang benar. Ketika ia dihadapkan
pada berbagai pilihan, akalnya akan memilih sesuatu yang lebih utama dan lebih penting.
Dari sini dapat kita ketahui bahwa perbuatan manusia itu sebenarnya dibentuk oleh kehendak
yang muncul dari kecenderungan-kecenderngan dan keinginan-keinginan yang hanya dimiliki oleh
manusia dan atas dasar pengarahan akal. Adapun perbuatan yang dilakukan karena motif hewani
semata-mata adalah perbuatan yang—tentunya—bersifat hewani pula, sebagaimana gerak yang
timbul dari kekuatan mekanik dalam tubuh manusia merupakan sebuah gerak fisis semata-mata.
Perlunya Hukum Praktis pada Landasan Teoritis
Perbuatan yang disengaja (ihktiyari) merupakan sarana untuk mencapai hasil yang diharapkan.
Dan nilai hasil yang diharapkan itu bergantung kepada kualitas tujuannya dan sejauh mana
pengaruhnya terhadap kesempurnaan ruh. Begitu pula, jika perbuatan sengaja itu kehilangan sisi
kesempurnaan ruhnya, ia akan membuahkan hasil yang negatif.
Dengan demikian, akal baru akan dapat memberikan penilaian terhadap perbuatan sengaja,
apabila ia telah mengetahui jenjang-jenjang kesempurnaan manusia, hakikat wujudnya, dimensidimensi
yang melingkupi kehidupannya dan jenjang kesempurnaan yang mungkin dapat dicapai
olehnya. Artinya, akal harus mengetahui dimensi-dimensi wujud manusia dan tujuan penciptaannya.
Oleh karena itu, akal tidak dapat menggunakan ideologi yang benar (nilai-nilai moral yang mengatur
perbuatan sengaja) dengan baik, kecuali jika ia mempunyai pandangan yang benar mengenai
penciptaan alam semesta dan dapat memecahkan berbagai persoalan yang berhubungan
dengannya.
Jika akal tidak dapat memecahkan persoalan-persoalan di atas, ia tidak mungkin dapat
menentukan nilai perbuatan tersebut secara pasti. Begitupula, jika akal tidak mengetahui tujuan
hidup, ia tidak akan dapat menentukan jalan yang semestinya ditempuh demi tujuan tersebut. Jadi,
pengetahuan akan dasar-dasar teoritis dari pandangan dunia merupakan landasan utama bagi nilainilai
moral dan hukum-hukum praktis akal.
Konklusi
Berdasarkan premis-premis di atas tadi, kita dapat membuktikan pentingnya usaha mencari
agama dan mengerahkan segenap kemampuan untuk menemukan ideologi dan keyakinan yang
benar melalui argumentasi berikut ini:
Bahwa secara fitriyah, setiap manusia memiliki kecenderungan untuk berusaha menemukan
kesempurnaan insaninya dengan melakukan berbagai perbuatan. Akan tetapi, untuk memilih
perbuatan-perbuatan yang dapat menyampaikannya kepada tujuan yang diinginkan, terlebih dahulu
ia harus mengetahui puncak kesempurnaannya. Puncak kesempurnaan ini hanya dapat diketahui
manakala ia telah mengenal hakikat dirinya, awal dan akhir perjalanan hidupnya. Kemudian ia pun
harus mengetahui adanya hubungan—baik positif maupun negatif—di antara berbagai perbuatan
dengan aneka-ragam jenjang kesempurnaan, sehingga ia dapat menemukan jalannya yang tepat.
Selama ia belum mengetahui dasar-dasar teoritis pandangan dunia ini, ia tidak akan dapat
menemukan sistem nilai dan ideologi yang benar.
Dengan demikian, betapa pentingnya usaha mencari dan mengenal agama yang hak yang
mencakup ideologi dan pandangan dunia yang benar. Karena jika tidak demikian, seseorang tidak
akan dapat mencapai kesempurnaannya yang hakiki. Dan setiap perbuatan yang dilakukan tidak atas
dasar nilai-nilai moral dan dasar-dasar pengetahuan semacam itu, tidak bisa dianggap sebagai
perbuatan insani. Mereka yang malas dan enggan mencari agama yang benar, atau mereka yang
mengetahui kebenaran namun mengingkarinya dan membelot dari jalannya dengan cara
menentangnya dan tunduk sepenuhnya kepada kepentingan hewani dan kenikmatan duniawi yang
semu, pada hakikatnya adalah binatang belaka. Allah SWT melukiskan mereka bahwa:
"Mereka itu bersenang-senang dan pekerjaannya hanyalah makan dan minum tak ubahnya
seperti binatang-binatang ternak.” (QS. Muhammad: 12).
Hanya karena menyia-nyiakan potensi insani dan anugerah Ilahi itu, mereka akan menerima
balasan dan siksa yang pedih nun mengerikan di akhirat kelak. Allah swt. berfirman:
“Biarkanlah mereka itu di dunia ini makan dan bersenang-senang dan dilalaikan oleh anganangan
kosongnya, kelak mereka akan mengetahui akibat dari perbuatannya itu.” (Qs. Al-Hijr: 3).
Jawablah pertanyaan-pertanyaan berikut ini!
1. Apakah premis dalil kedua atas pentingnya mencari agama yang hak?
2. Jelaskan motif manusia untuk mencapai kesempurnaan hakiki?
3. Apakah keistimewaan-keistimewaan utama pada diri manusia?
4. Apakah hubungan antara keistimewaan-keistimewaan tersebut dengan kesempurnaan hakiki
manusia?
5. Bagaimana ideologi itu seharusnya berlandaskan pada pandangan yang benar mengenai
penciptaan alam semesta ini?
6. Terangkan argumentasi kedua dalam bentuknya yang logis!
[1] Mengenai istilah hudhuri dapat dirujuk ke pelajaran 5.
PELAJARAN 4 - Solusi atas Berbagai Masalah PrinsipalMukaddimah
Tatkala seseorang berusaha mencari solusi atas berbagai persoalan prinsipal
pandangan dunia dan berusaha mengenal dasar-dasar agama yang benar, ia akan
menghadapi beberapa pertanyaan, yaitu: pertama, cara apakah yang harus ia tempuh
untuk memecahkan persoalan tersebut? Kedua, jalur apa saja yang tersedia untuk
memperoleh pengetahuan yang sahih? Ketiga, manakah jalur yang harus dipilih untuk
memperoleh pengetahuan itu?
Kajian teknis dan luas mengenai pertanyaan-pertanyaan ini berada pada bagian
Pengetahuan dari ilmu Filsafat, yakni Epistemologi. Di sana, dibahas berbagai
pengetahuan manusia dan nilai-nilainya. Sementara di sini, kami tidak akan
membahasnya, mengingat tidak begitu relevan dengan maksud penyusunan buku ini.
Kendati demikian, kami akan membahas masalah-masalah yang diperlukan di sini.
Serincinya, kami serahkan kepada buku-buku yang secara khusus membahas masalah itu.
Macam-macam Pengetahuan
Pengetahuan manusia—dari satu sudut pandang—dapat dibagi menjadi empat
macam:
1. Pengetahuan Indrawi. Seseorang akan memperoleh pengetahuan ini melalui panca
indranya, tentunya tanpa menafikan peran khas akal dalam proses perolehan itu.
Pengetahuan ini biasanya digunakan di berbagai cabang ilmu empirik seperti: Fisika,
Kimia, Biologi.
2. Pengetahuan Rasional. Pengetahuan ini tersusun dari konsep-konsep abstraktif
(mafahim intiza'iyah) yang disebut juga dengan konsep sekunder (ma'qulat tsanawiyah).
Dalam hal ini, akal mempunyai peranan utama untuk memperolehnya, walaupun dalam
kondisi umumnya digunakan juga indra dan eksperimen dalam proses abtraksi konsep
atau dalam membentuk premis-premis analogis. Ruang lingkup pengetahuan rasional ini
adalah Logika, Filsafat, Matematika.
3. Pengetahuan Tekstual. Pengetahuan ini memiliki peran sekunder karena
ketergantungannya pada pengetahuan sebelumnya, yaitu pengetahuan tentang sumber
informasi yang tepercaya (otoritas) dan diperoleh melalui informasi orang yang jujur.
Misalnya, pengetahuan para pemeluk agama yang mereka peroleh dari ucapan para
pemuka agama. Bisa jadi keyakinan mereka yang diperoleh dari pengetahuan
tekstual (ta'abbudi) ini lebih kokoh dibandingkan dengan keyakinan yang mereka peroleh
melalui indera dan eksperimen.
4. Pengetahuan Hudhuri atau Syuhudi. Berbeda dengan pengetahuan-pengetahuan
sebelumnya, pengetahuan ini terkait langsung dengan wujud objeknya (ma'lum), tanpa
melalui perantara gambaran konseptual di benak (mafhum dzihni), serta bebas dari
kekeliruan. Akan tetapi, sebagaimana hal itu dijelaskan pada tempatnya,
pengetahuan hudhuri ini biasanya disertai oleh penafsiran konseptual empunya. Maka,
kekeliruan amat mungkin terjadi pada penafsiran yang menyertai pengetahuan ini.
Macam-macam Pandangan Dunia
Berdasarkan macam pengetahuan di atas tadi, pandangan dunia mengenai
penciptaan alam semesta ini dapat dibagi menjadi empat macam pula:
1. Pandangan dunia empiris; yaitu pandangan universal seputar wujud yang diperoleh
melalui data-data empiris.
2. Pandangan dunia falsafi; yang diperoleh melalui analisis rasional dan penalaran
akal.
3. Pandangan dunia agama; yang diperoleh dari jalur kepercayaannya pada para
pemimpin agama dan pada ucapan-ucapan mereka.
4. Pandangan dunia irfani (gnostik); yang diperoleh melalui jalur kasyf (penyingkapan)
dan syuhudi(penyaksian batin).
Selanjutnya, yang perlu dicermati ialah, apakah persoalan-persoalan mendasar di
dalam pandangan dunia dapat dipecahkan oleh empat jalur pandangan di atas ini ataukah
tidak? Jelas, bahwa pertanyaan ini mendahului penimbangan atas keunggulan satu di atas
lainnya.
Analisis Kritis
Mengingat jangkauan pengetahuan empirik itu terbatas pada fenomena-fenomena
alam materi, kita tidak mungkin dapat mengetahui dasar-dasar pandangan dunia
mengenai penciptaan alam semesta dan mengatasi berbagai persoalan yang bersangkutan
hanya mengandalkan data-data penge-tahuan tersebut. Sebab, persoalan-persoalan
semacam ini di luar jangkauan ilmu-ilmu empiris. Ilmu empiris manapun tidak berbicara
seputar masalah-masalah tersebut, baik menafikan ataupun menetapkannya. Sebagai
contoh, kita tidak mungkin dapat menetapkan ataupun—na'udzu billah—menafikan
wujud Allah melalui penelitian di laboratorium. Pengalaman indrawi tidak mampu menilai
ada tiadanya sesuatu di luar lingkaran materi.
Karenanya, pandangan dunia empiris (sesuai dengan penjelasan yang lalu atas istilah
"pandangan dunia") tiada lain adalah fatamorgana dan tidak dapat dikatakan sebagai
pandangan dunia mengenai wujud dan alam semesta dalam arti yang sebenarnya.
Maksimalnya, ia dapat disebut sebagai "pengetahuan tentang alam materi". Dan,
pengetahuan semacam ini tidak mampu menuntaskan persoalan-persoalan mendasar
dalam pandangan dunia.
Adapun pengetahuan yang diperoleh melalui jalur ta'abbudi (taklid)—sesuai dengan
yang telah dijelaskan—berlaku dan bernilai secara sekunder, karena kita harus
membuktikan terlebih dahulu keberadaan pengetahuan sebelumnya sebagai sumber bagi
pengetahuan ini. Misalnya, sehubungan dengan masalah Kenabian, kita harus
menetapkan terlebih dahulu kenabian seorang nabi supaya risalah dan seluruh sabdanya
itu dapat diakui. Sebelum itu, kita pun harus membuktikan adanya Sang Pengutusnya,
yaitu Allah SWT. Jelas bahwa kita tidak akan dapat menetapkan keberadaan Sang
Pengutus dan kenabian seorang rasul melalui lisan rasul itu sendiri. Misalnya, kita tidak
dapat mengatakan bahwa mengingat Al-Qur'an telah menjelaskan keberadaan Allah,
maka masalah keberadaan Allah itu dianggap tuntas (berdasarkan firman-Nya itu sendiri).
Yang benar adalah, setelah kita dapat membuktikan keberadaan Allah dan kenabian
seorang nabi, dan kita telah mengenalnya secara pasti, juga kita telah membuktikan
bahwa Al-Qur'an itu adalah kitab Allah yang hak, barulah kita dapat menerima berbagai
macam keyakinan far'iyah (parsial) lainnya dan ajaran-ajaran yang bersifat praktis dengan
bersandar kepada informasi orang yang jujur dan sumber yang tepercaya.
Adapun mengenai persoalan-persoalan prinsipal, kita harus menetapkannya terlebih
dahulu melalui pengetahuan yang lain. Dengan demikian, pengetahuan ta'abbudi ini tidak
mempunyai peran langsung dalam menyelesaikan berbagai persoalan prinsipal di dalam
pandangan dunia seputar wujud dan penciptaan alam semesta.
Adapun mengenai pengetahuan hudhuri dan syuhudi, kita memerlukan pembahasan
yang luas dan panjang. Mengingat bahwa pertama: pandangan dunia seputar penciptaan
alam semesta merupakan pengetahuan yang terbentuk dari gambaran-gambaran
konseptual di dalam pikiran, sementara pada konteks hudhuri tidak ada tempat lagi bagi
gambaran semacam itu. Dengan demikian, penisbahan gambaran konseptual kepada
konteks hudhuri lebih merupakan toleransi dan ditilik dari kapasitasnya sebagai basis
kemunculan gambaran konseptual tersebut.
Kedua, menjelaskan berbagai perkara-perkara yang hudhuri dan syuhudi melalui katakata
dan konsep membutuhkan kemampuan dan kekuatan nalar tertentu yang tidak
dapat dicapai kecuali dengan dasar-dasar dan latar belakang yang cukup panjang, berupa
kemampuan analisis rasional dan filosofis. Seorang yang tidak mempunyai kekuatan
semacam ini terpaksa menggunakan kata-kata, ungkapan-ungkapan dan konsep-konsep
yang abu-abu (mutasyabih) sehingga—sangat mungkin—malah menjadi faktor yang
berdampak pada distorsi dan penyimpangan.
Ketiga, seringkali terjadi kesamaran dan kekeliruan antara hakikat realitas yang
disaksikan dalam konteks syuhudi itu yang hakiki dengan gambaran-gambaran khayalan
serta penafsiran konseptual terhadap hakikat tersebut. Bahkan, kekeliruan dan kekaburan
itu bisa juga menimpa sekalipun pada si pelaku syuhud (musyahid) itu sendiri.
Keempat, seseorang tidak mungkin mencapai berbagai hakikat batin kecuali setelah
melakukansair-suluk irfani (pelatihan ruhani) bertahun-tahun lamanya. Akan tetapi,
keimanan dan keyakinan seseorang terhadap metode sair-suluk—yang dianggap sebagai
pengetahuan praktis—bergantung kepada dasar-dasar teoritis dan persoalan-persoalan
yang mendasar dalam pandangan dunia.
Oleh karenanya, sebelum seseorang itu mulai mengamalkan sair-suluk, ia harus
mampu menuntaskan persoalan-perseoalan itu dengan baik. Sedangkan
pengetahuan syuhudi itu baru bisa diperoleh tatkala ia berada di dalam atau di puncak
perjalanan sair-suluk tersebut. Pada hakikatnya, irfan hakiki itu baru akan dapat dicapai
oleh seseorang tatkala ia berusaha dengan sungguh-sungguh dan penuh ikhlas beribadah
kepada Allah. Sementara usaha dan suluknya itu sendiri bergantung kepada pengetahuan
tentang Allah SWT dan tentang cara ibadah kepada-Nya.
Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat kita tarik dari ulasan di atas adalah bahwa satu-satunya jalan
bagi seseorang yang berusaha untuk mencari solusi dalam menghadapi masalah-masalah
pokok pandangan dunia adalah jalan logika atau metode rasional. Maka itu, pandangan
dunia yang sebenarnya adalah pandangan dunia filsafi.
Akan tetapi, perlu kita ketahui bahwa membatasi upaya mencari solusi atas masalahmasalah
tersebut pada metode rasional dan premis-premis filosofis tidak berarti bahwa
untuk pencapaian pandangan dunia semacam itu bergantung kepada pemecahan atas
seluruh persoalan Filsafat. Upaya itu cukup dengan mengkaji sebagian masalah filsafat
yang sederhana dan tampak gamblang. Dengan cara inilah kita dapat membuktikan wujud
Allah SWT. Hal ini merupakan masalah yang paling penting dalam pandangan dunia,
walaupun studi khusus mengenai masalah-masalah ini dan cara menghadapi berbagai
kritik serta keraguan dan pemecahannya membutuhkan kejelian filosofis secara luas.
Begitu pula ketika kita membatasi berbagai pengetahuan yang dapat membuahkan
dan menyelesaikan masalah-masalah yang mendasar melalui pengetahuan rasional, bukan
berarti kita membuang pengetahuan-pengetahuan lainnya untuk memecahkan masalahmasalah
tersebut. Bahkan kita dapat menggunakan argumen-argumen rasional yang
sebagian premisnya dihasilkan dari jalur ilmu hudhuri atau indra dan eksperimen.
Sebagaimana juga kita dapat menggunakan pengetahuan ta'abbudiuntuk dapat
menyelesaikan masalah-masalah rincian yang biasanya dibuktikan dengan ayat Al-Qur'an
dan hadis yang merupakan sumber agama.
Akhirnya, tatkala pandangan dunia dan ideologi yang benar itu dapat dicapai,
seseorang akan melangsungkan usahanya hingga sampai
ke mukasyafah dan musyahadah (penyaksian mata batin) melalui usaha yang gigih dalam
menempuh jenjang-jenjang sair-suluk sehingga dapat menyaksikan—tanpa melalui
konsep-konsep mental—berbagai hakikat yang dibuktikan oleh argumen-argumen
rasional.[]
Jawablah pertanyaan-pertanyaan berikut ini!
1. Sebutkan macam-macam pengetahuan manusia dan pengertiannya masingmasing!
2. Ada berapa macamkah pandangan dunia yang dapat digambarkan?
3. Dengan jalan apakah masalah-masalah pokok mengenai pandangan dunia dapat
dibuktikan?
4. Bagaimana Anda menilai pandangan dunia empiris?
5. Apakah mungkin menggunakan pengetahuan yang bersifat inderawi untuk
menetapkan persoalan pandangan dunia?
6. Apakah mungkin menggunakan pengetahuan yang bersifat ta'abbudi untuk
membuktikan masalah-masalah akidah? Dan sebutkan bidang-bidangnya?
7. Apakah pandangan dunia irfani itu? Dan apakah mungkin berbagai permasalahan
pokok pandangan dunia itu dapat dituntaskan dengan jalan syuhudi irfani? Mengapa?
PELAJARAN 5 - Mengenal AllahBertolak dari kesimpulan-kesimpulan yang lalu; bahwa prinsip agama adalah keimanan kepada
wujud Tuhan yang menciptakan alam semesta, dan bahwa perbedaan mendasar antara pandangan
dunia Ilahi dan pandangan dunia Materialisme terletak pada ada atau tidaknya keimanan kepada
Tuhan pencipta alam ini, maka upaya pertama yang perlu dijalani oleh seorang pencari kebenaran
sebelum segala sesuatunya, yaitu bagaimana ia memberikan jawaban terhadap pertanyaan; apakah
Allah itu ada ataukah tidak?
Untuk menjawab pertanyaan ini, sebagaimana yang telah dijelaskan pada pelajaran yang lalu,
kita harus menggunakan akal sehingga nanti akan dapat menemukan jawaban, positif ataukah
negatif, yang betul-betul meyakinkan. Ketika jawaban itu positif, barulah kita akan membahas
masalah-masalah berikutnya, yaitu masalah Tauhid, Keadilan Ilahi dan seluruh sifat-sifat Allah swt.
Sedangkan bila jawaban itu negatif yang berarti bukti atas kebenaran pandangan dunia
Materialisme, kita tidak perlu lagi membahas semua persoalan-persoalan yang berkaitan dengan
agama.
Pengetahuan Hudhuri dan Pengetahuan Hushuli
Dalam rangka mengenal Allah, ada dua macam penge-tahuan di hadapan kita, yaitu
pengetahuanhudhuri (presentif) dan pengetahuan hushuli (representatif). Pada
pengetahuan hudhuri, seseorang dapat mengetahui dan mengenal Allah dengan jalur hati dan batin
(syuhudi, qalbi), tanpa perantara pemahaman-pemahaman yang berupa gambaran konseptual di
benak. Jelas bahwa seseorang yang memiliki pengetahuan hudhuri mengenai Allah, sebagaimana
yang diakui oleh para urafa', tidak membutuhkan argumentasi rasional.
Tetapi, sebagaimana telah kami jelaskan pada pelajaran yang lalu,
pengetahuan hudhuri atausyuhudi tidak dapat dikuasai oleh manusia biasa tanpa terlebih dahulu
membina jiwanya melalui sair suluk islami. Adapun tingkatan-tingkatan yang rendah dari
pengetahuan ini, walaupun dapat dicapai oleh orang-orang biasa, akan tetapi karena biasanya ia
tidak dilandasi kesadaran, tidaklah cukup untuk membentuk pandangan dunia yang berlandaskan
kesadaran.
Pada pengetahuan hushuli, seseorang mengenal Allah melalui konsep-konsep universal
sepertiSang Pencipta, Mahakaya, Mahatahu, Mahakuasa dan meyakini keberadaan-Nya.Kemudian,
ia menggabungkannya dengan pengetahuan hushuli lainnya hingga ia dapat memperoleh suatu
pandangan dunia yang utuh. Semua pengetahuan yang didapatkan manusia dari studi rasional dan
argumentasi filosofis, masuk ke dalam pengetahuan hushuli ini. Ketika manusia telah memiliki ilmu
semacam ini, ia pun dapat mengenal Allah dengan ilmu hudhuri.
Pengetahuan Fitrah
Dalam hadis para imam atau ucapan kaum urafa', seringkali kita menjumpai ungkapan seperti
“Pengenalan fitriyah tentang Tuhan“ atau “Secara fitriyah, manusia mengenal Tuhannya". Untuk
memahami ungkapan semacam ini, terlebih dahulu kita perlu menjelaskan kata fitrah. Kata ini
berasal dari bahasa Arab yang berarti "sebuah bentuk penciptaan". Sesuatu itu fitriyah (dinisbahkan
kepada fitrah) ketika bentuk penciptaan suatu makhluk menuntut sesuatu itu.
Dari sinilah kita dapat memperhatikan tiga karakteristik pada perkara-perkara fitriyah:
1. Perkara-perkara fitriyah adalah titik kesamaan bagi makhluk-makhluk satu spesis, kendati
keberadaannya itu berbeda dari sisi kualitas; lemah dan kuatnya.
2. Perkara-perkara fitriyah selalu ada sepanjang hidup manusia. Dan tidak mungkin setiap
makhluk mempunyai fitrah yang mengalami perubahan dan perbedaan dari satu masa ke masa.
"Itulah fitrah Allah yang telah Dia ciptakan manusia atas dasar fitrah itu dan tidak mungkin
mengalami perubahan bagi Allah." (QS. Ar-Rum: 30).
3. Karena perkara-perkara fitriyah itu sebuah kemestian dari penciptaan makhluk, ia tidak
diusahakan melalui proses pembelajaran, walaupun untuk memperkuat dan mengembangkannya
membutuhkan bimbingan dan arahan.
Perkara-perkara fitri yang ada pada manusia dapat dibagi kepada dua macam:
Pertama, pengetahuan-pengetahuan fitriyah yang dimiliki oleh setiap orang tanpa memerlukan
proses belajar.
Kedua, kecenderungan-kecenderungan fitriyah. Maka, jika pada seseorang terbukti adanya
semacam pengetahuan tentang Allah (ma'rifatullah) yang tidak perlu proses belajar, pengetahuan
itu dapat dinamakan pengenalan fitriyah terhadap Allah (ma'rifatullah 'alal fitrah). Dan apabila
terbukti adanya kecenderungan kepada Allah dan kecondongan untuk menghamba kepada-Nya
pada setiap manusia, hal itu dapat dinamakan penghambaan fitriyah kepada Allah.
Kami telah memaparkan pada pelajaran kedua, bahwa kebanyakan pemikir memandang agama
dan kecenderungan kepada Allah termasuk keistimewaan yang ada pada setiap manusia, sebagai
perasaan atau kesadaran beragama. Dan kami akan menambahkan di sini bahwa mengenal Allah
dapat pula dikategorikan sebagai kelaziman fitrah setiap manusia.
Akan tetapi, sebagaimana dorongan fitrah dalam penghambaan diri kepada Allah itu bukan
termasuk dorongan yang berkesadaran (syu'uri), begitu pula dorongan fitriyah dalam mengenal Allah
itu bukanlah pengetahuan yang berkesadaran, yaitu pengetahuan yang didasari oleh kesadaran di
mana orang-orang biasa tidak lagi membutuhkan telaah rasional dalam rangka mengenal Allah.
Di samping itu, patut diperhatikan catatan berikut ini, bahwa pada setiap individu terdapat
derajat pengenalan kepada Allah yang bersifat hudhuri (presentif) atau fitriyah, walaupun derajat ini
itu sangatlah rendah. Oleh karena itu, mungkin setiap orang akan meyakini adanya Allah hanya
dengan merenung sejenak atau dengan bernalar secara sederhana. Kemudian ia akan berusaha
berangsur-angsur untuk meningkatkan dan memperkokohpengenalannya kepada Allah sampai mata
batinnya terbuka, atau bahkan ia akan sampai kepada derajat syu'uriyah, yaitu pengetahuan yang
penuh kesadaran.
Kesimpulannya, mengenal Allah secara fitriyah yaitu bahwa hati seseorang dapat mengenal
Allah, dan di dalam jiwanya terdapat potensi pengenalan ini secara sadar, yang kemudian dapat
menjadi kuat. Akan tetapi, potensi-potensi fitriyah ini pada orang biasa tidak sebegitu kuat disadari.
Maka itu, mereka memerlukan argumentasi rasional. Artinya, selain melalui fitrah, mereka tetap
membutuhkan pembahasan rasional untuk dapat mengenal Allah secara sadar.[]
Jawablah pertanyaan-pertanyaan berikut ini!
1. Apakah masalah-masalah prinsipal dalam pandangan dunia dan mengapa bersifat prinsipal?
2. Jelaskan pengetahuan hudhuri dan pengetahuan hushuli tentang Allah!
3. Apakah seseorang dapat mencapai pengetahuan hudhuri tentang Allah melalui akal atau
logika?
4. Apakah peran pengetahuan hushuli serta pengaruhnya pada pengetahuan hudhuri!
5. Jelaskan pengertian fitrah!
6. Jelaskan karakteristik perkara-perkara fitriyah!
7. Jelaskan macam perkara-perkara fitriyah!
8. Apakah perkara fitriyah yang berhubungan dengan Allah itu?
9. Jelaskan maksud dari pengenalan fitriyah terhadap Allah SWT!
10. Apakah adanya fitrah mengenal Tuhan membuat orang biasa tidak lagi memerlukan
pembahasan rasional?
PELAJARAN 6 - Cara Mudah Mengenal AllahCara-cara Mengenal AllahUntuk mengenal Allah, terdapat berbagai macam cara dan metede yang telah dijelaskan dalam
buku-buku Filsafat dan Kalam, juga dalam hadis-hadis para para Imam Suci as serta dalam kitab-kitab
samawi. Berbagai macam argumen yang disebutkan dalam kitab-kitab tersebut menjelaskan sisi dan
dimensinya masing-masing. Misalnya dalam suatu buku, dijelaskan premis-premis secara empirik.
Sedangkan buku yang lainnya menjelaskan premis-premis yang bersifat rasional semata. Bahkan ada
sebagian buku yang membuktikan keberadaan Allah SWT secara langsung, sebagaimana juga dalam
buku lainnya menjelaskan keberadaan sesuatu yang tidak membutuhkan selainnya (Wajibul Wujud).
Berdasarkan argumen ini, untuk menetapkan sifat-sifat Allah haruslah bersandar kepada
argumentasi yang khas.
Sehubungan dengan argumen-argumen atas keberadaan Allah SWT tersebut, dapat kita
umpamakan dengan jembatan-jembatan yang dipasang di atas sebuah sungai yang besar yang akan
dilalui oleh orang-orang untuk menyemberang ke tepi lainnya. Salah satu dari jembatan itu dibuat
dari kayu-kayu yang sederhana yang ditancapkan di atas sungai tersebut untuk tujuan agar setiap
orang yang membawa barang-barang yang ringan dapat melewati dan berjalan di atas jembatan
tersebut menuju ke tempat tujuannya dengan segera. Sedangkan jembatan yang lainnya dibuat dari
batu-batu beton yang panjang yang memiliki kekuatan luar biasa, akan tetapi untuk melewati
jembatan tersebut membutuhkan waktu yang lama.
Terdapat dalil-dalil yang dibangun bagaikan jalan-jalan yang terbuat dari besi yang kuat,
berkelok dan berliku serta harus melewati bukit dan dataran yang luas yang akan dilewati keretakereta
yang membawa beban yang cukup berat.
Seseorang yang hanya memiliki pikiran yang sederhana, ia dapat mengenal Tuhannya dengan
cara yang sangat sederhana pula. Kemudian ia mempraktikkannya dalam beribadah. Adapun
seseorang yang akal pikirannya mampu menampung beban keraguan, ia dapat melewati jalan-jalan
terjal. Sementara orang yang membawa tumpukan beban yang berat serta mampu menghadapi
berbagai keraguan dan kritik, maka ia harus melewati jalan yang dibuat di atas dasar-dasar yang
kokoh, sehingga ia mampu bertahan ketika di tengah jalan mendapatkan berbagai tantangan,
kesulitan dan cobaan.
Pada pelajaran ini, kami hanya akan memberikan penjelasan mengenai jalan yang paling mudah
untuk dapat mengenal Allah. Setelah itu, kami akan menjelaskan beberapa argumentasi sederhana
yang sesuai dengannya. Adapun agumentasi yang rumit, yang untuk dapat memahaminya
memerlukan dasar-dasar dan kaidah-kaidah filosofis, itu tepat bagi mereka yang pikiran-pikirannya
seringkali dilintasi oleh berbagai macam keraguan, juga bagi mereka yang ingin menyanggah
berbagai macam keraguan dan ingin menyelamatkan orang-orang yang tersesat dan menyimpang.
Keistimewaan Cara Mudah
Cara mudah untuk membuktikan adanya Allah SWT mempunyai beberapa
keistimewaan. Pertama,bahwa cara ini tidak memerlukan premis-premis yang sulit, rumit dan teknis,
serta dapat dijelaskan dengan mudah dan gamblang. Oleh karena itu, semua orang—dengan
berbagai tingkat pengetahuannya—akan dapat memahaminya dengan baik.
Kedua, cara mudah ini akan mengantarkan manusia secara langsung untuk mengenal Allah,
Sang Pencipta alam semesta yang Mahakuasa. Berbeda dengan kebanyakan argumentasi filosofis
dan teologis yang terlebih dahulu membuktikan keberadaan dzat Allah yang dikenal dengan Wajibul
Wujud. Setelah itu sifat-sifat Allah seperti; ilmu, kuasa dan sifat-sifat lainnya akan dibuktikan oleh
argumentasi lainnya.
Ketiga, kesan utama cara ini ialah membangkitkan fitrah manusia dan membimbing
pengetahuan fitriyah mereka kepada jenjang kesadaran. Apabila seseorang berusaha me-mahami
cara mudah ini dengan baik, ia akan merasakan kondisi irfani, seolah-olah ia dapat menyaksikan
kekuasaan Allah dalam menciptakan alam dan kejadian-kejadiannya beserta pengaturannya. Itulah
pengetahuan yang ditunjukkan oleh fitrah seseorang di dalam mata batinnya.
keistimewaan-keistimewaan di atas membuat para ulama dan tokoh agama langit memilih cara
ini guna menjelaskan dan membuktikan wujud Allah, serta mengajak masyarakat untuk
menapakinya. Sedangkan kepada para pengikut setia, mereka mengajarkan metode argumentasi
yang lain. Mereka pun menggunakan argumen-argumen yang rumit dalam perdebatan dan diskusi
mereka dengan para pemuka ateis atau para filosof materialis.
Tanda-tanda yang Jelas
Sesungguhnya cara mudah untuk menetapkan wujud Allah SWT dapat diperoleh dengan
merenungkan ayat-ayat, tanda-tanda kekuasaan-Nya yang terhampar dan memenuhi jagad raya ini.
Al-Quran mengungkapkannya dengan istilah "tafakkur liayatillah" (memikirkan ayat-ayat Tuhan).
Seakan-akan setiap individu dan fenomena alam ini, baik yang ada di bumi atau pun di langit atau
yang ada pada diri setiap manusia itu sendiri, merupakan dalil dan ayat Allah SWT yang memberikan
petunjuk kepada hati untuk beranjak menuju pusat wujud yang hadir pada setiap ruang dan waktu.
Sesungguhnya buku yang ada di hadapan Anda ini merupakan salah satu dalil dan ayat atas
wujud Allah. Bukankah dengan membaca buku ini Anda akan mengenal keberadaan pengarangnya
dan mempunyai tujuan? Pernahkah Anda berasumsi bahwa buku ini muncul akibat pengaruh
sekelompok benda tanpa seorang penulis yang mempunyai motif dan tujuan? Bukankah termasuk
kebodohan jika seseorang percaya bahwa sebuah ensklopedia berjilid-jilid tercetak dan terbit akibat
ledakan kandungan bumi kemudian pecahan-pecahan yang beterbangan di udara itu menyatu dan
membentuk huruf-huruf dan kemudian secara tiba-tiba membentur kertas-kertas dan terbitlah buku
yang berjilid-jilid tersebut? Lebih tidak masuk akal lagi seseorang yang berkeyakinan bahwa alam
semesta yang penuh hikmah, baik yang diketahui maupun tidak, tercipta secara spontan, terjadi
begitu saja, tanpa sebab apapun. Bahkan bisa dikatakan bahwa orang yang berkeyakinan semacam
ini ribuan kali lebih bodoh dibandingkan orang yang meyakini terciptanya kitab yang berjilid-jilid
secara tiba-tiba.
Sesungguhnya setiap sistem terarah dan bertujuan merupakan dalil atas adanya pembuat
sistem tersebut. Kita saksikan bahwa sistem yang terarah dan bertujuan pada seluruh alam semesta
ini merupakan sistem universal yang menunjukkan adanya Sang Pencipta Yang Mahabijak yang telah
menciptakan sistem tersebut, dan Dia senantiasa memeliharanya.
Bunga-bunga yang tumbuh di taman dengan berbagai macam warna yang indah dan aroma
yang semerbak, pohon apel yang memberikan buah yang berasal dari sebutir biji yang kecil, yang
setiap tahun mengeluarkan buah yang meruah dengan berbagai warna yang memikat dan rasa yang
lezat. Begitu pula burung Bulbul yang berkicau dan begitu lincah berpindah dari satu tangkai ke
tangkai yang lain. Serta ayam yang membelah dan memecahkan kulit sebutir telur kemudian keluar
darinya seekor anak. Juga, anak sapi yang lahir dari induknya kemudian menyusu. Air susu yang
memenuhi kantong susu induknya dipersiapkan untuk menyusui anak-anaknya. Seluruh fenomena
itu merupakan tanda-tanda kekuasaan, kebesaran dan wujud Sang Pencipta.
Sungguh merupakan penciptaan dan pengaturan yang menakjubkan, dimana keluarnya air susu
dari penyusuan induknya itu bersamaan dengan kelahiran anak-anaknya. Ikan-ikan di laut yang
setiap tahunnya untuk pertama kali menempuh perjalanan ribuan kilometer guna mengeluarkan
telurnya. Burung-burung laut yang mengetahui sarang-sarangnya di antara tumbuh-tumbuhan laut
yang begitu banyak dan beragam, tidak pernah keliru mengambil jalan kembali ke sarangnya, walau
untuk sekali saja. Lebah-lebah yang keluar dari sarangnya setiap pagi lalu menempuh perjalanan
yang panjang untuk mengisap bunga-bunga yang harum kemudian kembali pada malam hari ke
sarang-sarangnya.
Semua itu merupakan tanda-tanda wujud dan kebesaran Allah SWT. Yang lebih mengherankan
dan menakjubkan dari itu semua adalah bahwa lebah, sapi atau kambing tersebut menghasilkan
madu dan susu melebihi kebutuhannya dengan tujuan agar manusia pun—sebagai makhluk yang
memiliki kelebihan tersendiri—dapat mengambil manfaat darinya. Hanya saja, manusia yang
durhaka ini malah mengingkari Sang Pemberi karunia dan nikmat tersebut dengan cara menentang-
Nya.
Kita akan lebih banyak menemukan tanda-tanda kekuasaan dan pengaturan Sang Pencipta yang
Mahabijak yang lebih menakjubkan di dalam raga manusia. Organ-organ tubuh manusia itu tersusun
begitu rapi. Setiap organ tersusun dari jutaan sel yang hidup secara mandiri. Padahal seluruh sel itu
tumbuh dan berasal dari satu sel betina. Dan setiap sel itu mengandung bahan-bahan yang
dibutuhkan dengan porsi tertentu. Dan, masing-masing organ itu diletakkan pada tempatnya yang
sesuai. Kita perhatikan pula bagaimana organ-organ berfungsi; menghirup oksigen melalui paruparu,
lalu memindahkannya melalui darah merah, juga aktivitas-aktivitas hati untuk membuat gula
yang diperlukan kemudian menyingkirkan sel-sel yang rusak dan menggantikannya dengan sel-sel
yang baru dan memusnahkan kuman-kuman melalui mekanisme tertentu. Demikian pula cara kerja
organ-organ tubuh lain yang begitu mengagumkan. Semua itu menunjukkan wujud dan kebesaran
Sang Penciptanya.
Siapakah yang mengadakan sistem cipta yang sangat menakjubkan ini, dimana ribuan ilmuwan
sepanjang sejarah umat manusia tidak mampu mengungkap rahasia-rahasia alam penciptaan. Setiap
sel merupakan sistem kecil yang mempunyai tujuan. Dan setiap kelompok dari sel-sel itu
membentuk anggota yang merupakan sistem yang lebih besar. Kumpulan dari kelompok-kelompok
yang banyak dan rumit itu membentuk satu sistem badan yang lebih luas dan terarah pada tujuan
yang khas.
Tidak berakhir sampai di situ saja. sistem-sistem yang tak terhingga, yang terdiri dari makhlukmakhluk
bernyawa dan mati itu, membentuk tata cipta yang universal sebagai alam yang diatur oleh
Tuhan Yang Esa dengan pengaturannya yang cermat dan bijak. Allah berfirman:
"Sesungguhnya Allah menumbuhkan butir tumbuh-tumbuhan dan biji buah-buahan. Dia
mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup. Demikian
itulah Allah, maka mengapa kamu masih berpaling?" (QS. Al-An'am: 95).
Jelas bahwa semakin banyak dan luasnya pengetahuan manusia dan semakin banyak sistem
serta hubungan antara fenomena alam yang dapat disingkap, maka semakin jelas pula rahasiarahasia
penciptaan alam semesta ini. Akan tetapi, memikirkan fenomena alam yang sederhana
melalui dalil-dalil yang jelas sudah cukup bagi hati yang tulus untuk membuktikan keberadaan wujud
Sang Pencipta alam yang Mahakuasa.[]
Jawablah pertanyaan- pertanyaan berikut ini!
1. Jelaskan cara-cara untuk membuktikan wujud Allah SWT dan jelaskan pula keistimewaan
masing-masing cara tersebut!
2. Apakah cara yang paling mudah untuk membuktikan wujud Allah SWT dan apakah
keistimewaan cara mudah itu?
3. Jelaskan tanda-tanda kekuasaan Allah yang terdapat pada sebagian makhluk-Nya!
PELAJARAN 7 - Pembuktian atas "Wajibul Wujud"Telah kami jelaskan pada pelajaran yang lalu bahwa para filosof Ilahi dan para ulama Kalam
telah menghimpun sejumlah argumentasi dalam membuktikan wujud Allah. Dan hal ini telah dibahas
dalam kitab-kitab Filsafat dan Kalam secara terinci. Pada pelajaran ini, kami akan memilih sebuah
argumen saja dari sekian banyak argumen tersebut. Argumen ini berlandaskan pada premis-premis
yang lebih sedikit sehingga akan lebih mudah untuk dipahami. Meski demikian, argumen ini tampak
lebih kuat.
Sebelumnya perlu ditekankan bahwa argumen ini dapat membuktikan wujud Allah
sebagai Wajibul Wujud (wujud yang pasti). Artinya, Allah swt. itu maujud, dan wujud-Nya
merupakan hal yang dharuri(pasti) tanpa memerlukan sesuatu lain yang mewujudkan-Nya. Adapun
untuk menetapkan sifat-sifat Allah, yang positif (tsubutiyah) maupun yang negatif (salbiyah) seperti;
sifat ilmu, kuasa, tidak beraga, tak terbatas oleh ruang dan waktu, hal ini itu tidak dapat dibuktikan
oleh dalil ini, akan tetapi harus dibuktikan oleh dalil lain.
Bentuk Argumentasi
Berdasarkan asumsi rasional, realitas terbagi menjadi dua; wajibul wujud (yang pasti adanya)
danmumkinul wujud (yang mungkin adanya). Secara rasional, tidak ada satu realitas pun yang keluar
dari asumsi tersebut. Dan kita tidak mungkin mengatakan bahwa seluruh realitas itu mumkinul
wujud. Karena setiap mumkinul wujud membutuhkan kepada sebab.
Apabila setiap sebab masih berupa mumkinul wujud, maka ia adalah akibat yang tentunya
membutuhkan kepada sebab yang lain. Dan pada akhirnya, tidak akan ada realitas apa pun sama
sekali. Artinya, bahwa rangkaian sebab itu sebenarnya adalah rangkaian akibat "yang mungkin" dan
tidak pasti adanya. Oleh karena itu, rangkaian mumkinul wujud menjadi ada tatkala berakhir kepada
suatu realitas yang bukan lagi akibat dari realitas apapun. Artinya, bahwa rangkaian wujud itu akan
berakhir pada wajibul wujud.
Argumen di atas ini adalah argumen filsafat yang paling sederhana untuk menetapkan wujud
Allah. Ia terdiri dari beberapa premis rasional, tanpa terlibat premis empirik di dalamnya. Akan
tetapi, karena argumen semacam ini biasanya menggunakan sejumlah konsep dan istilah filosofis,
terlebih dahulu kita harus menjelaskan beberapa istilah dan premis yang menyusun argumen ini.
"Wujub" dan "Imkan"
Setiap proposisi (qadhiyah), sekalipun yang paling sederhana, sekurang-kurangnya mesti
tersusun dari dua konsep; subjek (maudhu') dan predikat (mahmul). Misalnya proposisi yang
berbunyi: "Matahari bersinar". Proposisi ini terdiri dari matahari sebagai subjek dan bersinar sebagai
predikat.
Lalu, tertetapkannya predikat pada subjek tidak keluar dari tiga keadaan; satu, ketetapan
predikat pada subjek bersifat mustahil (mumtani'). Contohnya, angka 3 itu lebih besar dari angka
4. Dua, tertetapkannya predikat pada subjek itu bersifat pasti (dharuri). Contohnya, 2 itu adalah 1/2
dari 4. Tiga, tertetapkannya predikat pada subjek bersifat tidak mustahil sekaligus tidak pasti.
Contohnya, matahari berada di atas kepala kita.
Dalam Logika dijelaskan bahwa proposisi pada keadaan pertama itu bersifati mumtani', yaitu
tidak mungkin terjadi, seperti pada contoh pertama tadi bahwa angka 3 itu lebih besar dari angka 4.
Pada keadaan kedua, proposisi itu bersifat dharuri atau wajib, yaitu niscaya dan pasti. Dan pada
keadaan ketiga, proposisi itu bersifat mumkan (mungkin) dengan makna khusus. Lantaran Filsafat
hanya membahas sesuatu yang ada, para filosof mambagi realitas kepada dua bagian, wajibul
wujud danmumkinul wujud.
Wajibul wujud adalah realitas yang ada dengan sendirinya; tidak bergantung kepada realitas
yang lain. Tentu, realitas ini bersifat azali (tidak bermula) dan abadi (tidak berakhir).Karena, apabila
sesuatu itu ma'dum (tiada) pada masa tertentu, ini menunjukkan bahwa wujud sesuatu itu bukan
berdasarkan pada dirinya sendiri, akan tetapi wujudnya membutuhkan kepada realitas selainnya
yang merupakan sebab atau syarat keberadaannya. Tentunya, jika sebab atau syarat itu tidak ada,
sesuatu tersebut tidak akan mengada.
Sedangkan mumkinul wujud adalah realitas yang ada tidak dengan sendirinya, akan tetapi
wujudnya diadakan dan bergantung kepada realitas selainnya. Dengan kata lain, mumkinul
wujud tidak mungkin terwujud kecuali dengan perantara selainnya.
Penjelasan rasional ini menafikan secara pasti adanya mumtani'ul wujud (wujud yang mustahil).
Pada saat yang sama, penjelasan ini tidak mengidentifikasi; apakah realitas di luar itu wajibul
wujudataukah mumkinul wujud. Dengan kata lain, kita dapat menggambarkan kebenaran sebuah
proposisi tersebut dengan tiga asumsi.
Pertama, setiap realitas itu wajibul wujud.
Kedua, setiap realitas itu mumkinul wujud.
Ketiga, sebagian realitas itu wajibul wujud, dan sebagian lainnya adalah mumkinul wujud.
Berdasarkan asumsi pertama dan ketiga, keberadaan wajibul wujud sudah tertetapkan. Yang
harus kita bahas lebih lanjut ialah asumsi kedua, yaitu apakah mungkin setiap realitas itu mumkinul
wujud? Kalau kita dapat menggugurkan asumsi ini, maka dapat ditegaskan keberadaan wajibul
wujud secara pasti, walaupun untuk menetapkan keesaan dan seluruh sifat-sifat-Nya diperlukan
argumentasi tersendiri.
Untuk menggugurkan asumsi kedua, kita perlu menambahkan premis lain ke dalam argumen
terdahulu itu, yaitu bahwa seluruh realitas tidak mungkin bersifat mumkinul wujud. Akan tetapi,
premis ini bukanlah premis yang badihi; jelas dengan sendirinya. Oleh karena itu, para ulama
menjelaskan premis ini sebagai berikut:
▪ Bahwa mumkinul wujud itu butuh kepada sebab.
▪ Bahwa rangkaian sebab yang tak berujung adalah muhal (mustahil). Maka itu, rangkaian sebab
harus berakhir kepada realitas yang bukan berupa mumkinul wujud dan juga tidak butuh lagi kepada
sebab. Artinya, ia adalah wajibul wujud.
Dari sinilah sebagian konsep filosofis lainnya terlibat di dalam argumentasi ini dan perlu kepada
penjelasan.
Sebab dan Akibat
Apabila wujud realitas itu bergantung kepada realitas yang lain, di dalam Filsafat, realitas yang
bergantung itu disebut sebagai akibat (ma'lul), dan realitas yang digantunginya disebut sebagai
sebab (‘illah). Dan boleh jadi sebab ini sendiri masih bergantung kepada sebab yang lain.
Artinya, bahwa pada gilirannya sebab itu sendiri masih membutuhkan dan bergantung kepada
sebab yang lain, dimana ia juga adalah akibat dari realitas ketiga ini. Namun, jika sebab itu bukan
akibat dan tidak bergantung kepada yang lain, maka ia adalah sebab mutlak yang tidak butuh kepada
selainnya sama sekali. Dengan ini, kita telah mengenal dua istilah filsafat; sebab dan akibat, serta
definisi keduanya.
Selanjutnya, kami akan menjelaskan premis bahwa setiap mumkinul wujud membutuhkan
kepada sebab. Mengingat bahwa mumkinul wujud itu mengada tidak dengan sendirinya, maka
wujud mumkinul wujud tersebut bergantung kepada realitas yang lain. Dan karena qadhiyah berikut
ini gamblang; yaitu ketika suatu predikat dibandingkan dengan suatu subjek, adakalanya predikat itu
bisa ditetapkan pada subjek itu secara dzati (substansial), dan adakalanya ditetapkan
secara aradhi (aksidental; karena sesuatu yang lain).
Misalnya, adakalanya sesuatu itu terang secara substansial (dengan sendirinya), adakalanya ia
terang karena sesuatu yang lain, misalnya cahaya. Atau, setiap benda (jism) adakalanya berminyak
dengan sendirinya, atau berminyak dengan perantara yang lain seperti: minyak. Adapun asumsi
bahwa sesuatu itu terang atau berminyak tidak dengan sendirinya, tidak pula melalui perantara yang
lain, adalah asumsi yang absurd.
Maka itu, adakalanya ketetapan wujud (sebagai predikat) pada suatu subjek secara substansial,
yaitu dengan sendirinya dan tanpa perantara yang lain, atau dengan perantara yang lain.Apabila
ketetapan wujud pada suatu subjek tidak dengan sendirinya, pasti wujudnya itu ditetapkan dengan
perantara yang lain. Atas dasar ini, setiap mumkinul wujud (yang mungkin wujudnya) itu ada dengan
perantara yang lain dan ia adalah akibat baginya.
Adalah kaidah Logika yang diterima oleh semua orang yang berakal, bahwa setiap mumkinul
wujudmembutuhkan sebab.Namun, berangkat dari pengertian Hukum Kausalitas; bahwa setiap
realitas membutuhkan kepada sebab, sebagian orang menganggap bahwa seharusnya wujud Allah
SWT itu pun mempunyai sebab. Mereka lalai bahwa subjek pada Hukum Kausalitas itu bukanlah
realitas secara mutlak, akan tetapi realitas yang mumkin atau ma'lul (akibat). Dengan kata lain,
setiap realitas "yang tidak berdiri sendiri" membutuhkan sebab, bukan setiap realitas tanpa ajektif
itu.
Kemustahilan Tasalsul
Premis terakhir yang digunakan dalam argumentasi ini ialah bahwa mata rantai sebab harus
berakhir pada realitas yang dirinya bukan lagi akibat. Sebagaimana yang telah dikemukakan oleh ahli
Kalam, bahwa tasalsul (mata rantai akibat-sebab yang tak berujung) itu mustahil. Atas dasar ini,
dapat dibuktikan wujud Tuhan sebagai wajibul wujud. Bahwa wajibul wujud merupakan sebab
pertama yang ada dengan sendirinya dan tidak perlu kepada wujud yang lain.
Para filosof telah mengajukan berbagai argumen untuk menunjukkan kemustahilan tasalsul ini,
meski pada dasarnya hal itu adalah masalah yang nyaris badihi (tidak perlu pembuktian). Dan setiap
orang—sejenak saja merenungkan—akan dapat memastikan kemustahilan tasalsul. Artinya, setiap
wujud akibat itu membutuhkan sebab. Keberadaannya disyarati oleh keberadaan sebab tersebut.
Apabila diasumsikan bahwa segala sesuatu itu adalah akibat; yang semuanya membutuhkan
sebab, tentu tidak akan terealisasi realitas apa pun. Karena tidaklah logis mengasumsikan adanya
mata-rantai yang saling bergantungan tanpa suatu wujud yang merupakan puncak kebergantungan
mata rantai tersebut.
Sebagai contoh, lomba lari maraton.Apabila seluruh peserta lomba berdiri di garis star, berarti
mereka siap untuk berlomba. Akan tetapi, setiap anggota tidak mau memulai untuk berlari kecuali
apabila yang lainnya memulai lari terlebih dahulu. Nah, apabila keputusan semacam ini diambil oleh
seluruh peserta, maka tidak akan terjadi perlombaan tersebut. Begitu pula, apabila wujud segala
sesuatu itu disyarati dengan wujud yang lain, tidak akan terwujud sesuatu apa pun, sama sekali.
Dengan demikian, adanya hal-hal objektif di luar ini merupakan bukti atas keberadaan realitas
yang tidak membutuhkan; yang wujudnya itu tidak disyarati oleh wujud selainnya.
Perumusan Argumen
Berdasarkan premis-premis tersebut—sekali lagi—kami akan menjelaskan rumusan argumen di
atas. Bahwa wujud segala sesuatu "yang mungkin" tidak lepas dari dua kondisi; wujudnya itu bersifat
pasti, dharuri dan ada dengan sendirinya yang diistilahkan dengan wajibul wujud, atau tidak
bersifatdharuri, akan tetapi wujudnya tergantung kepada yang lain. Wujud yang demikian ini
diistilahkan denganmumkinul wujud.
Dengan kata lain, bahwa sesuatu itu adalah wajibul wujud atau mumkinul wujud. Jelas bahwa
apabila wujud sesuatu itu bersifat mumtani' (tidak mungkin), maka sesuatu itu tidak akan terwujud
sama sekali, dan kita tidak akan menganggapnya sebagai sesuatu apapun. Dengan demikian, setiap
sesuatu adalah sebagai wajibul wujud atau mumkinul wujud.
Lalu, jika kita pikirkan konsep mumkinul wujud secara teliti, jelas bahwa sesuatu yang
menjadimishdaq[1] dari konsep itu niscaya sebagai akibat dan membutuhkan kepada sebab. Karena,
sesuatu yang ada tidak dengan sendirinya dan keberadaannya membutuhkan kepada perantara yang
lainnya, wujudnya itu menjadi niscaya melalui perantara yang lainnya. Sebagaimana setiap sifat yang
tidak bisa ditetapkan dengan sendirinya, mesti ditetapkan dengan perantara.
Inilah pengertian Hukum Kausalitas, bahwa setiap sesuatu yang wujudnya itu lemah atau
mempunyai ketergantungan dan bersifat mumkinul wujud, tentu ia membutuhkan sebab. Ketika
dinyatakan bahwa "setiap sesuatu" membutuhkan sebab tidak berarti bahwa Allah pun butuh
kepada sebab, tidak pula berarti bahwa iman kepada Allah, Dzat Yang tak bersebab, bertentangan
dengan Hukum Kausalitas.
Dari sisi lain, jika dikatakan bahwa setiap yang ada itu adalah mumkinul wujud dan butuh
kepada sebab, maka tidak akan ada sesuatu apa pun. Hal ini sebagaimana misal yang telah kami
kemukakan, bahwa setiap peserta dari kelompok lomba maraton, apabila menggantungkan
keputusan larinya kepada yang lainnya, maka perlombaan itu tidak akan berlangsung, sama sekali.
Dengan demikian, hal-hal yang ada di luar itu merupakan dalil atas keberadaan wajibul wujud.[]
Jawablah pertanyaan-pertanyaan berikut ini!
1. Jelaskan istilah imkan dan wujub dalam Logika dan Filsafat!
2. Terangkan definisi wajibul wujud dan mumkinul wujud!
3. Apakah keadaan-keadaan yang dapat diasumsikan untuk membagi sesuatu secara aqli
kepadawajibul wujud dan mumkinul wujud?
4. Jelaskan definisi sebab dan akibat!
5. Apakah pengertian Hukum Kausalitas itu?
6. Mengapa mumkinul wujud itu membutuhkan sebab?
7. Apakah Hukum Kausalitas memestikan bahwa Allah pun mempunyai sebab? Mengapa?
8. Apakah beriman kepada Allah sebagai dzat yang bukan makhluk itu bertentangan dengan
Hukum Kausalitas?
9. Jelaskan kemustahilan tasalsul!
10. Terangkan rumusan logis argumen filosofis dan jelaskan secara cermat klaim yang
diupayakan pembuktiannya!
[1] Mishdaq merupakan istilah penting dalam tradisi Logika klasik dan Filsafat Islam. Istilah Arab ini
digunakan sebagai bandingan langsung untuk istilah mafhum atau konsep. Maka, bila mafhum atau konsep itu
didefinisikan sebagai gambaran pengetahuan di mental, mishdaq di sini ialah apa saja yang gambaran
pengetahuan itu bisa diterapkan dan berlaku padanya. Menurut pengertian ini, mishdaq tidak selalunya dan
semuanya di luar mental; yakni di alam luar yang konkret ini, sebagaimana wujud Hasan atau Husein
sebagai mishdaq dalam perbandingan mereka dengan konsep manusia atau konsep anak, tetapi juga bisa di
dalam (satu lapisan) mental. Misalnya, konsep manusia itu adalah sebuah mishdaq dari konsep "yang
universal", atau dari konsep "spesis". Terkadang, istilah mishdaq diper-kenalkan secara leksikal dengan kata
intanta, terapan, ekstensi, personifikasi. Di sini dan untuk selanjutnya, kami menggunakan istilah ini
sebagaimana aslinya (peny.)
PELAJARAN 8 - Sifat-sifat AllahMukaddimah
Telah kami jelaskan pada pelajaran yang lalu, bahwa sebagian besar argumen filosofis itu
digunakan untuk menetapkan dzat yang dikenal sebagai wajibul wujud. Jika argumen itu
ditambahkan dengan argumen-argumen yang lain, maka akan dapat ditetapkan sifatsifat
salbiyah (negatif) dan sifat-sifat tsubutiyah (positif) pada wajibul wujud.
Melalui semua argumen itu kita mengenal Allah SWT dengan segala sifat-Nya yang khas yang
membedakan dzat-Nya dari makhluk-makhluk-Nya. Jika tidak demikian, maka sekedar menetapkan
bahwa Allah itu adalah wajibul wujud tidaklah memadai untuk mengenal Allah sebagaimana
semestinya. Karena, sangat mungkin sebagian orang mempunyai keyakinan bahwa materi atau
energi—misalnya—merupakan mishdaq dari konsep wajibul wujud.
Dari sinilah penting bagi kita—dari satu sisi—untuk menetapkan sifat-sifat salbiyah pada Allah,
supaya kita dapat mengetahui bahwa wajibul wujud itu suci dari sifat-sifat yang khas pada makhlukmakhluk-
Nya, yang tidak mungkin diterapkan pada dzat-Nya.
Dari sisi lain, kita juga harus menetapkan sifat-sifat tsubutiyah pada Allah, agar menjadi jelas
bahwa Dialah yang layak untuk disembah, dan agar terbuka peluang untuk menetapkan semua
keyakinan-keyakinan lainnya seperti Kenabian, Ma'ad dan masalah-masalah rinciannya.
Melalui argumen yang lalu, kita telah sampai pada kesimpulan bahwa wajibul wujud itu tidak
membutuhkan sebab. Bahkan, Dialah sebab bagi semua realitas yang mungkin. Jadi, kita telah
menetapkan dua sifat bagi wajibul wujud:
Pertama, bahwa wajibul wujud tidak butuh kepada selain-Nya, karena kalau ia butuh kepada
wujud yang lain sekecil apa pun, maka wujud yang lain itu merupakan sebab bagi-Nya. Dan telah kita
ketahui makna sebab dalam Filsafat, yaitu bahwa wujud sesuatu itu dibutuhkan untuk keberadaan
sesuatu yang lain.
Kedua, bahwa semua yang mungkin (mumkinul wujud) adalah akibat dan butuh kepada sebab.
Jadi,wajibul wujud merupakan sebab utama bagi kemunculan dan keberadaan wujud-wujud
mungkin tersebut.
Berdasarkan dua kesimpulan ini, kami berusaha membahas konsekuensi masing-masing yang
berhubungan dengan kedua sifat tersebut. Kita juga akan membuktikan adanya sifat-sifat negatif
dan sifat-sifat positif bagi wajibul wujud. Tentunya, untuk menetapkan tiap-tiap sifat telah
dibawakan argumen-argumen yang beragam yang terdapat dalam kitab-kitab Filsafat dan Kalam.
Akan tetapi, demi memudahkan pemahaman secara merata dan menjaga keutuhan antara satu
pelajaran dengan pelajaran yang lain, kita akan memilih argumen-argumen yang ada kaitannya
dengan argumen yang telah lalu.
Azali dan Abadinya Allah SWT
Apabila realitas itu akibat dan membutuhkan realitas yang lain, maka mujudnya itu bergantung
kepada wujud selainnya. Dan apabila wujudnya itu tiada, tentu ia tidak lagi mewujud. Artinya,
apabila wujud itu sirna pada saat tertentu, hal ini menunjukkan ketergantungan (faqr)-nya, butuh
kepada yang lain, dan menunjukkan dirinya sebagai mumkinul wujud. Mengingat
bahwa wajibul wujud itu ada dengan sendirinya dan tidak membutuhkan kepada yang selainnya, ia
adalah abadiyul wujud (wujudnya abadi dan azali).
Dari uraian di atas, kita dapat menetapkan dua sifat pada wajibul wujud. Pertama,
bahwa wajibul wujud itu bersifat azali, yakni Dia tidak didahului oleh ketiadaan. Kedua, Dia adalah
abadi, yakni tidak akan tersentuh oleh ketiadaan selama-lamanya. Terkadang kedua sifat ini
disederhanakan ke dalam sifat sarmadi.
Berdasarkan penjelasan ini, setiap sesuatu yang didahului oleh ketiadaan, atau menyimpan
kemungkinan menjadi sirna walaupun hanya sekejap, ia bukanlah wajibul wujud. Dengan demikian
jelaslah kemustahilan asumsi wajibul wujud pada hal-hal material.
Sifat-sifat Negatif
Sifat lainnya yang merupakan keniscayaan wajibul wujud adalah basathah (sederhana dan tidak
tersusun). Bahwa setiap yang tersusun pasti membutuhkan bagian-bagian, sedangkan wajibul
wujud suci dari segala kebutuhan. Apabila kita berasumsi bahwa wajibul wujud itu tersusun, akan
tetapi bagian-bagiannya tidak ada secara fi'li (aktual) dan akan muncul secara bil
quwwah (potensial)—layaknya sebuah garis yang diasumsikan terbelah menjadi dua—asumsi ini
batil. Karena, sesuatu yang mempunyai bagian-bagian secara bil quwah bisa dibagi secara rasional,
walaupun secara fi'li (aktual) bagian-bagiannya itu belum terealisasi di luar. Asumsi bahwa ia dapat
dibagi ialah bahwa secara keseluruhan ia bisa sirna, seperti garis yang panjangnya satu meter.
Apabila garis itu dibagi dua, garis yang panjangnya satu meter tersebut tidak ada lagi. Dan telah kita
ketahui sebelumnya, bahwa wajibul wujud tidak mungkin mengalami kefanaan dan kesirnaan.
Mengingat bahwa susunan dari bagian-bagian bil fi'li (aktual) dan bil quwah (potensial) itu
termasuk karakter jism (benda), dapat ditetapkan bahwa setiap yang bendawi tidak mungkin
sebagai wajibul wujud. Dengan kata lain, berdasarkan hal di atas itu kita dapat
menetapkan tajarrud (kenon-materian) Allah. Menjadi Jelas pula bahwa Allah tidak mungkin dapat
dilihat dengan mata kepala, tidak mungkin dapat dijangkau dengan indra apa pun, karena setiap
yang dapat dijangkau oleh indra merupakan sifat-sifat khas benda dan materi.
Demikian pula dengan ternafikannya ihwal kebendaan dari dzat Allah, akan ternafikan pula
semua sifat khusus benda dari wajibul wujud, seperti butuh kepada tempat dan masa. Karena,
tempat ialah sesuatu yang memiliki bentuk dan panjang. Begitu pula segala sesuatu yang bersifat
masa ialah yang dapat dibagi kepada ekstensi dan durasi masa. Dua hal ini merupakan bagian-bagian
yang bil quwah (potensial) pada benda.
Dengan demikian, kita sama sekali tidak mungkin menggambarkan Allah SWT itu sebagai dzat
yang butuh kepada tempat dan masa. Begitu pula, segala sesuatu yang membutuhkan tempat dan
masa bukanlah wajibul wujud. Kemudian dengan ternafikannya waktu dari wajibul wujud, akan
ternafikan pula gerak, perubahan dan penyempurnaan dzat. Karena, setiap gerak atau perubahan
apa pun tidak mungkin terwujud tanpa masa.
Oleh karena itu, orang-orang yang meyakini bahwa Allah SWT berada pada satu tempat
seperti'arsy atau menisbahkan gerak dan turun dari langit kepada-Nya, atau meyakini bahwa Allah
bisa dilihat dengan mata, atau dapat berubah dan meningkat, berarti mereka tidak mengenal Allah
dengan sebenarnya. Secara global, setiap arti dan konsep yang menunjukkan kekurangan,
keterbatasan dan kebutuhan, ternafikan dari dzat Allah. Inilah arti sifat salbiyah Ilahiyah (sifat-sifat
negatif bagi Allah).
Sebab Pengada
Kesimpulan kedua yang dapat kita ambil dari argumen yang terdahulu, ialah bahwa wajibul
wujudmerupakan sebab bagi keberadaan makhluk-Nya. Berikut ini kami akan membahas
konsekuensi dari kesimpulan ini. Pertama-tama, kami akan jelaskan macam-macam sebab, kemudian
menyelidiki keistimewaan-keistimewaan Sebab Ilahi.
Sebab—menurut maknanya yang umum—dapat diterapkan kepada setiap realitas yang
kepadanya realitas lain bergantung. Pada pengertian ini, sebab mencakup syarat-syarat dan sebab
penyiap (illah mu'iddah). Dan sebab semacam ini tidak berlaku pada Allah. Tidak adanya sebab bagi
Allah SWT artinya bahwa Dia—sedikit pun—tidak mempunyai ketergantungan dengan realitas yang
lain. Maka itu, tidak mungkin kita menyatakan bahwa Allah SWT mempunyai syarat dan pengada
(bagi wujud-Nya).
Adapun makna Allah sebagai sebab bagi seluruh realitas ialah bahwa sebagai pencipta dan
pengada, Dia merupakan makna khusus dari 'illah fa'iliyah (sebab pelaku, efficient cause). Untuk
menjelaskan poin ini, terlebih dahulu kita harus mengetahui secara global akan macam-macam
sebab. Penjelasan yang lebih luas mengenai hal ini bisa dirujuk ke kitab-kitab Filsafat.
Telah kita ketahui, bahwa secara pasti munculnya tumbuh-tumbuhan di atas bumi ini
disebabkan oleh adanya bibit-bibit, tanah yang subur, air dan udara. Di samping itu, harus terpenuhi
faktor-faktor lainnya seperti; faktor alami atau insani yang menebarkan bibit-bibit tersebut di atas
tanah dan mengalirkan air ke atasnya. Berdasarkan definisi sebab yang telah kami jelaskan, semua
faktor-faktor ini merupakan sebab munculnya tumbuh-tumbuhan tersebut.
Dari aspek-aspek tertentu, sebab-sebab tersebut dapat diklasifikasikan kepada beberapa
macam. Misalnya, sebab-sebab yang keberadaannya selalu dharuri (mesti) bagi terwujudnya akibat
dinamakan sebagai sebab hakiki. Sekelompok sebab yang kesinambungannya tidak diperlukan untuk
kesinambungan wujud akibat, seperti petani kaitannya dengan tanaman, dinamakan sebagai sebab
penyiap. Ada pula sebab-sebab yang posisinya dapat digantikan oleh sebab-sebab selainnya
dinamakan sebagai sebab alternatif (illah badilah). Sedangkan sebab-sebab yang posisi dan
pengaruhnya tidak mungkin digantikan oleh selainnya dinamakan sebagai sebab definitif (‘illah
munhasirah).
Terdapat satu macam sebab yang berbeda dengan sebab-sebab tersebutkan pada realitas
tumbuh-tumbuhan di atas. Sehubungan dengan sebab ini, kita dapat temukan mishdaq-nya pada
jiwa manusia, sebagian keadaan dan kondisi kejiwaannya. Ketika seseorang menciptakan suatu
bayangan di dalam benaknya atau bertekad mengerjakan suatu tindakan, terjadilah di dalam dirinya
suatu fenomena nafsiyah (kejiwaan) yang dinamakan dengan gambaran mental (shuroh dzihniyah),
atau kehendak yang keberadaannya merupakan akibat dan bergantung kepada keberadaan jiwa
(nafs). Jelas, akibat semacam ini tidak memiliki kemandirian sedikit pun dari sebabnya, dan tidak
mungkin berpisah dan mandiri dari wujud sebabnya.
Akan tetapi, pada saat yang sama, kita perhatikan bahwa penciptaan jiwa (fa'iliyah nafs) atas
gambaran di mental atau atas kehendak memerlukan syarat-syarat tertentu yang muncul lantaran
kekurangan, keterbatasan dan kemungkinan (imkan) wujud yang merupakan sifat-sifat substansial
jiwa.
Oleh karena itu, penciptaan (fa'iliyah) wajibul wujud atas alam semesta jauh lebih hebat dan
lebih sempurna dibandingkan penciptaan jiwa atas keadaan dan pengalaman-pengalaman dirinya.
Kita tidak akan mendapatkan padanan efesiensi (fa'iliyah) Tuhan atas seluruh efesiensi, karena
efesiensi Allah sama sekali tidak butuh kepada apapun untuk mengadakan akibat-Nya, yaitu akibat
yang sekujur wujudnya hanyalah ketergantungan mutlak kepada-Nya.
Keistimewaan Sebab Pengada
Berdasarkan penjelasan di atas, kami dapat menyebutkan sifat-sifat khas yang penting yang
dimiliki oleh Sebab Pengada.
Pertama, Sebab Pengada memiliki seluruh kesempurnaan akibatnya secara lebih sempurna,
sehingga ia bisa memberikan kesempurnaan kepada setiap akibat sesuai dengan kapasitas wujudnya
masing-masing. Berbeda halnya dengan sebab penyiap dan sebab materi yang berlaku sebagai
pengadaan lahan yang sesuai untuk perubahan pada wujud akibat, bukan untuk wujudnya itu
sendiri. Oleh karena itu, sebab penyiap dan sebab materi tidak mesti mencakup kesempurnaankesempurnaan
akibatnya.
Misalnya, tersedianya tanah itu tidak perlu kepada kesempurnaan yang dimiliki oleh tumbuhtumbuhan,
atau keberadaan kedua orang tua tidak butuh kepada kesempurnaan anak-anaknya.
Adapun Allah SWT sebagai sebab pengada (illah mujidah), mesti memiliki semua kesempurnaankesempurnaan
wujud segala sesuatu, di samping sifat basatah-Nya (ketaktersusunan).
Kedua, Sebab Pengada itu mewujudkan akibatnya dari ketiadaan. Yakni, Dia menciptakan
(khalq) akibatnya. Akan tetapi, penciptaannya ini tidak mengurangi wujudnya, sedikitpun.Berbeda
sebab alami (fa'il tabi'i) yang aktif; mengubah akibat yang ada dengan mengerahkan seluruh potensi.
Apabila diasumsikan ada sesuatu yang terpisah dari dzat wajibul wujud, ini berarti bahwa dzat Allah
dapat dibagi dan berubah. Padahal, ini telah jelas kemustahilannya.
Ketiga, Sebab Pengada merupakan sebab sejati ('illat hakikiyah). Oleh sebab itu, keberadaannya
merupakan dharuri (niscaya) untuk kesinambungan wujud akibatnya. Berbeda dengan sebab
penyiap; kesinambungan akibatnya tidak lagi butuh kepadanya.
Searah dengan penjelasan ini, maka apa yang telah disampaikan oleh sebagian mutakalimin Ahli
Sunnah bahwa kekekalan alam semesta tidak butuh kepada Allah SWT, begitu juga apa yang
dikatakan oleh sebagian filsuf Barat, bahwa alam materi ini laksana jam yang telah diatur dan diukur
putaran waktunya lalu secara otomatis bergerak dengan sendirinya, maka alam semesta ini; tidak
butuh lagi kepada Allah dalam melanjutkan berbagai aktifitasnya, pandangan-pandangan seperti ini
jauh dari kebenaran. Karena, alam wujud ini selalu butuh dan bergantung kepada Allah SWT dalam
segala keadaannya. Apabila Allah menghentikan anugerah-Nya, meski untuk sekejap saja, tidak akan
ada lagi yang tersisa dari alam tersebut.[]
Jawablah pertanyaan-pertanyaan berikut ini!
1. Kenapa kita harus mengenal sifat-sifat Allah?
2. Apakah kesimpulan dari argumen-argumen yang telah lalu?
3. Apakah argumen atas ke-sarmadi-an Allah?
4. Bagaimana kita dapat menetapkan bahwa dzat Ilahi itu basith (tidak tersusun) dan suci dari
bagian-bagian, baik secara fi'li maupun bil quwah?
5. Apakah dalil atas ketakbendaan Allah?
6. Mengapa kita tidak mungkin bisa melihat Allah dengan mata kepala?
7. Apakah argumen atas kemustahilan masa, zaman dan tempat pada dzat Allah?
8. Apakah kita dapat menisbatkan gerak dan diam kepada Allah SWT dan mengapa?
9. Sebutkan macam-macam sebab!
10. Sebutkan sifat-sifat khas Sebab Pengada!
PELAJARAN 9 - Sifat-sifat DzatiyahMukaddimah
Dari uraian yang lalu, kita ketahui bahwa Allah SWT merupakan Sebab Pengada bagi alam
semesta ini, dimana seluruh kesempurnaan wujud terdapat pada dzat-Nya, dan berbagai
kesempurnaan yang dimiliki oleh setiap maujud apa pun bersumber dari-Nya, tanpa mengurangi
kesempurnaan zat-Nya sedikit pun ketika Dia menganugerahkan kesempurnaan tersebut kepada
makhluk-makhluk-Nya. Poin ini dapat didekatkan melalui contoh berikut ini; ketika seorang guru
mengajarkan berbagai ilmu kepada murid-muridnya, ilmu yang dimilikinya itu tidak berkurang sedikit
pun. Sudah pasti bahwa anugerah wujud dan segenap kesempurnaan wujud dari Allah SWT itu jauh
lebih unggul dan mulia daripada contoh tersebut.
Barangkali ungkapan yang lebih mendekati hal ini ialah bahwa alam wujud itu merupakan nur
dantajalli (manifestasi) dari dzat Ilahi Yang Mahasuci. Ungkapan semacam ini dapat ditemukan pada
ayat yang berbunyi:
"Allah adalah nur bagi langit dan bumi." (QS. an-Nur: 35)
Mengingat bahwa kesempurnaan Ilahi itu tidak terbatas, maka setiap konsep (mafhum) yang
mengungkapkan kesempurnaan yang tidak melazimkan apapun kekurangan dan batasan dapat
diterapkan pada Allah, sebagaimana konsep-konsep kesempurnaan yang diungkapkan oleh ayat-ayat
Al-Qur'an, hadis-hadis dan doa-doa serta munajat para Imam as seperti; cahaya (An-
Nur), sempurna (Al-Kamal), indah (Al-Jamal), cinta (Al-Mahabbah), dan ungkapan lainnya (yang
menjelaskan kesempurnaan mutlak pada Allah.
Adapun sifat-sifat Allah yang disebutkan di dalam kitab-kitab Filsafat dan Kalam Islam amatlah
terbatas. Sifat-sifat itu dapat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu sifat-sifat dzatiyah dan sifat-sifat
fi'liyah. Mula-mula, kami akan menjelaskan dua bagian tersebut. Setelah itu, kami akan memaparkan
sifat yang paling penting di antara sifat-sifat itu, kemudian menetapkannya dan membawakan
argumentasinya.
Sifat-sifat Dzatiyah dan Fi'liyahSesungguhnya sifat-sifat yang dinisbatkan kepada Allah, adakalanya berupa konsep-konsep
(gambaran di mental) yang diperoleh akal dari pengamatannya atas zat Allah, sambil menekankan
bahwa sifat-sifat tersebut mencakup berbagai kesempurnaan seperti; sifat hidup (Al-Hayah),
ilmu (Al-'Ilm), dan kuasa (Al-Qudrah) dan sifat-sifat lainnya.Atau, adakalanya sifat-sifat itu berupa
konsep-konsep yang diperoleh akal dari pengamatannya atas bentuk-bentuk hubungan antara Allah
SWT dengan makhluk-makhluk-Nya seperti; penciptaan (Al-Khaliqiyah) dan pemberian rizki (Ar-
Razikiyah). Kelompok pertama disebut sebagai sifat–sifat dzatiyah, dan kelompok kedua sebagai
sifat-sifat fi'liyah.
Perbedaan mendasar antara dua sifat tersebut ialah bahwa sifat-sifat pada kelompok pertama
merupakan realitas objektif yang nyata bagi dzat Ilahi yang suci-Nya. Adapun sifat-sifat pada
kelompok kedua merupakan relasi (nisbah) antara Allah dan makhluk-Nya. Di sini, dzat Allah dan
dzat makhluk-Nya merupakan dua sisi relasi, misalnya Al-Khaliqiyah. Sifat ini diperoleh dari
hubungan yang terdapat pada makhluk-makhluk-Nya dengan dzat Allah. Dalam hal ini, Allah SWT
dan seluruh makhluk merupakan dua sisi hubungan tersebut. Akan tetapi dalam realitasnya, tidak
terdapat apa pun selain dzat Allah yang suci dan dzat-dzat makhluk-Nya. Artinya bahwa Al-
Khaliqiyah itu bukanlah sebuah realitas yang nyata.
Sudah jelas bahwa pada tataran dzat, Allah SWT memiliki sifat Al-Qudrah (kekuasaan) untuk
mencipta. Akan tetapi, sifat ini merupakan sifat dzatiyah. Adapun Al-Khalq (penciptaan)
merupakanmafhum idlafi (konsep relasional) yang diperoleh pada tataran tindakan Allah. Oleh
karena itu, Al-Khaliq(pencipta) termasuk sifat fi'liyah. Lain halnya jika kita menafsirkan Al-
Khaliq (pencipta) dengan Al-Qadir 'alal khalq (kuasa untuk mencipta), dalam hal ini ia kembali
kepada sifat dzatiyah, yakni Al-Qudrah.
Sifat-sifat dzatiyah Allah yang penting ialah Al-Hayah (hidup), Al-'Ilm (tahu), dan Al-
Qudrah (kuasa).Adapun sifat mendengar (As-Sami') dan melihat (Al-Bashir), apabila kita tafsirkan
kedua sifat ini bahwa Allah mengetaui apa saja yang didengar dan apa saja yang dilihat, atau kuasa
untuk mendengar dan melihat, maka kedua sifat tersebut menginduk kepada Al-'Alim dan Al-
Qadir (Mahatahu dan Mahakuasa). Namun, jika maksud kedua sifat itu adalah mendengar dan
melihat secara tindakan (fi'li) yang dicerap akal dari hubungan Dzat Yang Mahadengar dan Mahalihat
dengan segala sesuatu yang mungkin untuk didengar dan dilihat, maka kedua sifat tersebut harus
digolongkan ke dalam sifat fi'liyah. Sebagimana sifat ilmu terkadang digunakan dengan pengertian
demikian ini. Istilah seperti ini dinamakan sebagai ilmu fi'li.
Sebagian mutakalimin menggolongkan sifat berkata (Al-Kalam) dan berkehendak (iradah) ke
dalamsifat dzatiyah, yang Insya Allah hal ini akan kita bahas pada bagian berikutnya.
Menetapkan Sifat-sifat Dzatiyah
Cara yang paling mudah untuk menetapkan sifat Al-Hayah, Al-Qudrah dan Al-'Ilm pada Allah
SWT adalah sebagai berikut; bahwa tatkala konsep (dari sifat-sifat) tersebut berlaku pada makhlukmakhluk,
ia merupakan kesempurnaan bagi mereka. Konsekuensinya adalah sifat-sifat itu pun
terdapat pada Sebab Pengada dalam bentuk yang lebih mulia dan lebih sempurna. Karena, setiap
kesempurnaan yang ada pada makhluk manapun bersumber dari Sebab Pengada, yaitu Allah SWT.
Dengan demikian, Dia pasti memiliki sifat-sifat tersebut sehingga menganugerahkan kepada
makhluk-makhluk-Nya. Sebab, tidak mungkin suatu dzat adalah sebagai Pencipta kehidupan,
sementara Dia sendiri tidak memilikinya, atau menganugerahkan pengetahuan dan kekuasaan
kepada makhluk-makhluk-Nya, sementara Dia sendiri jahil dan lemah. Jelas, bahwa setiap yang tidak
memiliki sesuatu tidak akan dapat memberikan sesuatu kepada selainnya (Faqidu As-Syai' La
Yu'thihi).
Maka itu, keberadaan sifat-sifat kesempurnaan pada sebagian makhluk-Nya merupakan dalil
atas keberadaan sifat-sifat tersebut pada Al-Khaliq (pencipta) tanpa berkurang dan terbatas. Artinya,
Allah SWT memiliki sifat hidup, ilmu dan kuasa secara mutlak dan tak terbatas. Untuk selanjutnya,
kami akan membahas masing-masing dari ketiga sifat tersebut secara lebih luas.
Hidup (Al-Hayat)Pengertian hidup (Al-Hayat) digunakan untuk dua golongan makhluk. Golongan pertama adalah
tumbuhan yang mempunyai potensi untuk tumbuh dan berkembang. Kelompok kedua adalah
hewan dan manusia yang mempunyai perasaan dan kehendak. Akan tetapi, makna pertama dari
pengertian hidup meniscayakan adanya kekurangan dan kebutuhan. Karena, kodrat tumbuh dan
berkembang pada tumbuhan melazimkan bahwa sesuatu yang tumbuh itu pada awalnya tidak
memiliki kesempurnaan. Akan tetapi, terdapat sebagian faktor dan efek luar yang mewujudkan
perubahan dan perkembangan sehingga ia mencapai kesempurnaan terakhirnya secara berangsurangsur.
Kelaziman semacam ini tidak mungkin dinisbahkan kepada Allah, sebagaimana telah kami
bahas pada tema sifat-sifat salbiyyah(negatif).
Adapun makna kedua dari hidup adalah pengertian yang sempurna (tidak melazimkan
kekurangan dan kebutuhan), walaupun pada sebagian realitas yang mungkin diliputi oleh sejumlah
kekurangan dan keterbatasan. Meski begitu, kita dapat memahami makna hidup ini secara tak
terbatas dan tak berkekurangan, murni dari batasan ataupun kebutuhan, sebagaimana makna Al-
Wujud dan Al-Kamal.
Sifat hidup yang meniscayakan pengetahuan dan pelaku yang berkehendak termasuk kelaziman
wujud nonmateri. Meskipun dinisbahkan kepada makhluk-makhluk hidup fisikal, sebenarnya sifat
hidup ini merupakan sifat bagi ruhnya, bukan bagi badan fisisnya. Badan disifati dengan hidup
karena ia mempunyai hubungan yang erat dengan ruh. Dengan kata lain,
sebagaimana imtidad (ekstensi) merupakan keniscayaan wujud materi, demikian pula hidup
merupakan keniscayaan wujud mujarrad(nonmateri).
Dari sini, terbetik argumen lain atas sifat hidup Allah, yaitu bahwa Allah Yang Suci itu bersifat
nonmateri dan tidak berbentuk, sebagaimana telah kami jelaskan pada pelajaran yang lalu. Dan
bahwa setiap yang nonmateri itu memiliki sifat hayat secara substansial (dzati). Dengan demikian,
Allah SWT memiliki sifat hidup secara substansial.
TahuTahu merupakan konsep yang paling jelas dan gamblang. Akan tetapi, bila diterapkan pada
makhluk-makhluk-Nya, mishdaq konsep ini di luar sangatlah kurang dan terbatas. Sifat tahu
demikian ini—yang merupakan sifat makhluk—tidak mungkin berlaku pada Allah. Akan tetapi, akal
kita—sekali lagi—dapat menggambarkan mishdaq konsep tersebut secara murni dari kekurangan
dan keterbatasan. Yaitu bahwa tahu identik dengan dzat si pengetahu itu sendiri. Inilah ilmu
dzati (pengetahan substansial) yang ada pada Allah SWT.
Untuk membuktikan sifat tahu pada Allah SWT, kita dapat menggunakan beberapa
cara. Pertama, menggunakan cara yang telah kita gunakan untuk menetapkan seluruh sifatsifat
dzati bagi-Nya. Artinya, mengingat bahwa tahu itu terdapat pada makhluk-makhluk Allah SWT,
sudah pasti sifat itu pun terdapat pada-Nya dengan bentuk yang lebih mulia dan sempurna.
Kedua, menggunakan dalil keteraturan (argument from design), yaitu bahwa setiap fenomena
atau makhluk yang memiliki keteraturan atau keutuhan lebih banyak, maka lebih banyak
menunjukkan pengetahuan penciptanya, sebagaimana kita temukan pada karya ilmiah atau bait
kosidah yang indah, atau karya seni yang menunjukkan sejauhmana penciptanya memiliki
pengetahuan, cita-rasa dan pengalaman. Tidak mungkin seorang yang berakal akan menganggap
bahwa sebuah buku ilmiah atau kitab filsafat ditulis oleh orang bodoh dan tidak berpendidikan.
Maka itu, bagaimana mungkin alam semesta beserta isinya yang penuh dengan berbagai rahasia dan
keunikan ini diciptakan oleh dzat yang tidak tahu.
Ketiga, menggunakan premis-premis Filsafat Teoritis yang ghairu badihiyah (perlu pembuktian).
Misalnya, kaidah Filsafat yang berbunyi: "Setiap maujud nonmateri yang mandiri itu tahu"
sebagaimana yang dibuktikan dalam kitab-kitab yang khusus membahas masalah ini.
Perhatian seseorang terhadap pengetahuan Allah itu mempunyai peranan yang besar dalam
membangun kepribadiannya. Oleh karena itu, Al-Qur'an seringkali menekankan hal ini. Di antara
ayat-ayat yang menyinggung hal itu adalah:
"Dia itu mengetahui (pandangan) mata yang khianat dan apa yang disembunyikan oleh
hati." (QS. Al-Mu'minun: 19).
KuasaSetiap pelaku yang melakukan tindakannya dengan kehendak dan pilihannya disebut bahwa ia
memiliki kemampuan atas tindakan tersebut. Dengan demikian, kuasa ialah kekuatan dan dasar bagi
pelaku yang memiliki pilihan dalam melakukan tindakan yang mungkin dilakukannya. Setiap kali
pelaku itu lebih banyak mempunyai kesempurnaan dari sisi derajat wujudnya, ia semakin banyak
mempunyai kekuasaan dan kemampuan. Maka itu, sudah pasti dzat yang mempunyai kesempurnaan
yang tak terbatas memiliki kekuasaan dan kemampuan yang tak terbatas pula. Allah SWT berfirman:
"Sesungguhnya Allah Mahakuasa atas segala sesuatu." (QS. Al-Baqarah: 20).
Sehubungan dengan ini, perlu kami tekankan beberapa poin berikut ini:
Pertama, setiap tindakan yang ada kaitannya dengan kuasa mesti bersifat mumkin
tahaqquq(mungkin terealisasi). Maka, sesuatu yang secara substansial tidak
mungkin (mumtani') terwujud, atau sesuatu yang meniscayakan kemustahilan, tidak ada
hubungannya dengan kuasa. Ungkapan bahwa Allah SWT Mahakuasa atas segala tindakan, tidak
berarti bahwa Dia—katakanlah!—mampu menciptakan Tuhan selain-Nya, karena Dia adalah Tuhan
yang artinya dzat yang tidak diciptakan, juga tidak berarti bahwa Dia mampu menjadikan angka 2
sebagai angka 2 lebih besar daripada angka 3, atau Dia menciptakan anak sebagai anak sebelum
menciptakan bapaknya.
Kedua, kuasa atas segala tindakan tidak menuntut dzat yang berkuasa untuk melakukan segala
tindakan yang sanggup ia lakukan. Akan tetapi, ia hanya akan melakukan setiap tindakan yang sesuai
dengan kehendaknya. Dan Allah SWT Yang Mahabijak tidak menghendaki kecuali tindakan-tindakan
yang baik dan bijak. Dan Dia tidak akan merealisasikan tindakan-tindakan yang tidak baik dan tidak
bijak, meskipun Dia Mahakuasa dan Mampu untuk melakukan tindakan yang buruk dan munkar. Hal
ini akan kita bahas pada pelajaran Hikmah Ilahiyah.
Ketiga, menurut pengertian yang telah kami jelaskan, kuasa juga
mengandung ikhtiar (kebebasan). Di samping Allah SWT memiliki derajat kekuasaan dan
kemampuan yang paling tinggi, Dia pun memiliki ikhtiar yang paling tinggi dan sempurna. Tidak
mungkin ada faktor apa pun yang memaksa-Nya untuk melakukan suatu tindakn atau
mencabut ikhtiar dari-Nya. Karena, wujud dan kemampuan segala sesuatu dan bersumber dari Allah.
Maka, tidak mungkin Dia dipaksa dan dikalahkan oleh berbagai kekuatan dan kekuasaan yang Ia
berikan kepada makhluk-makhluk-Nya.[]
Jawablah pertanyaan-pertanyaan berikut ini!
1. Apakah pengertian-pengertian yang mungkin dapat diterapkan Allah SWT?
2. Berikan definisi sifat dzatiyah dan sifat fi'liyah, dan jelaskan perbedaan antara keduanya!
3. Apakah cara umum yang digunakan untuk menetapkan sifat-sifat dzatiyah?
4. Pengertian apa saja yang digunakan pada sifat hidup? Dan makna apakah yang mungkin
dapat digunakan pada Allah SWT?
5. Jelaskan argumen khusus atas sifat hidup Allah SWT!
6. Sebutkan tiga argumen atas pengetahuan Allah!
7. Jelaskan pengertian kuasa dan sebutkan pula argumen tentang kekuasaan Allah yang tak
terbatas!
8. Hal-hal apakah yang tidak mungkin berkaitan dengan kekuasaan Allah SWT?
9. Mengapa Allah tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang buruk dan mungkar?
10. Jelaskan maksud bahwa Allah memiliki kehendak bebas!
PELAJARAN 10 - Sifat-sifat Fi'liyahMukaddimah
Telah kami jelaskan pada pelajaran yang lalu, bahwa sifat fi'liyah merupakan konsepkonsep
di mental yang diperoleh akal dari perbandingan antara dzat Allah dan makhlukmakhluk-
Nya, dengan cara mengamati hubungan tertentu di antara keduanya. Dalam hal
ini, Khaliq dan makhuk-Nya merupakan dua sisi hubungan, seperti konsep Al-
Khaliqiyah yang diperoleh akal dengan cara mengamati hubungan wujud makhlukmakhluk
dengan Allah SWT. Apabila hubungan di antara keduanya ini tidak diamati,
konsep tersebut tidak mungkin dapat diperoleh.
Hubungan-hubungan yang mungkin dapat tergambar antara Allah SWT dan makhluk-
Nya itu tidak terbatas. Akan tetapi, secara global dan dari satu sisi, hubungan-hubungan
tersebut dapat dibagi kepada dua kelompok:
Kelompok pertama, hubungan-hubungan antara Khaliq dan makhluk-Nya yang dapat
dipahami dengan cara mengamati secara langsung, seperti Al-Ijad (mewujudkan), Al-
Khalq (menciptakan), Al-Ibda`(mengadakan), dan sebagainya.
Kelompok kedua, hubungan-hubungan yang dapat dipahami setelah mempersepsi
hubungan-hubungan yang lain seperti; rizki. Karena, pada awalnya kita mesti
mengasumsikan adanya hubungan dzat pemberi rizki dan dzat penerima rizki. Setelah itu
kita memahami ihwal limpahan rahmat Allah kepadanya, sehingga dengan begitu kita
memperoleh konsep Ar-Raziq (pemberi rizki) dan Ar-Razzaq(Mahapemberi rizki).
Bahkan, terkadang kita pun dapat mengonsepkan berbagai hubungan antara satu
makhluk dengan yang lainnya sebelum sifat fi'liyah pada Allah SWT itu dipahami. Setelah
itu, barulah kita mengamati hubungannya dengan Allah.
Di samping itu, kita dapati pula adanya konsep yang muncul dari beberapa hubungan
sebelumnya antara Allah SWT dan makhluk, seperti konsep maghfirah, dimana konsep ini
muncul dari rububiyah tasyri'iyah Ilahiyah (pengaturan syariat Ilahi), penentuan Allah
terhadap hukum-hukum syariat dan penyimpangan hamba darinya. Dengan demikian,
untuk dapat memahami sifat-sifat fi'liyah, kita harus melakukan suatu perbandingan
antara Allah SWT dan makhluk-makhluk-Nya, kemudian kita temukan adanya hubungan
antara dzat pencipta dan yang dicipta, lalu dengan cara ini kita memperoleh
konsepidhafi (relasional) dari hubungan tersebut. Oleh karena itu, dzat Allah yang suci
tidak bisa dijadikanmishdaq sifat-sifat fi'liyah secara tersendiri; tanpa mengamati
hubungan tersebut. Inilah perbedaan utama antara sifat-sifat dzatiyah dan sifat-sifat
fi'liyah.
Pada pelajaran yang lalu, telah kami jelaskan bahwa kita pun dapat memperhatikan
sifat-sifat fi'liyah pada asal- usulnya. Degan begitu, sifat-sifat fi'liyah akan bermuara pada
sifat-sifat dzatiyah, sebagaimana pada Al-Khaliq (pencipta) dan al-Khallaq (Maha
pencipta). Apabila kita tafsirkan sifat ini dengan Qadir (Mahakuasa) atas makhluknya,
maka ia berasal dari sifat Al-Qadir (Mahakuasa). Atau, sifat As-Sami' (Mahadengar) dan
sifat Al-Bashir (Mahalihat), yang bila kita tafsirkan kedua sifat ini dengan mengetahui (Al-
‘Alim) atas hal-hal yang mungkin didengar dan dilihat, maka ia sesung-guhnya berasal dari
sifat Al-'Alîm (Mahatahu).
Terdapat pula beberapa konsep yang dapat digolongkan ke dalam sifat-sifat dzatiyah,
akan tetapi padanya ditemukan pula adanya makna idhafi (relasional) dan
makna fi'li (bersifat aksional). Oleh karena itu, sifat-sifat tersebut dapat dianggap sebagai
sifat-sifat fi'liyah, seperti konsep Al-'Ilm (tahu) yang digunakan Al-Qur'an—di sekian
banyak ayat—dengan makna relasional.
Satu hal yang perlu kita catat secara seksama adalah apabila kita temukan adanya
hubungan antara Allah dan hal-hal material, sehingga diperolehlah sifat fi'liyah tertentu
pada Allah, tentu sifat ini dibatasi oleh tempat dan waktu dari sisi keterkaitannya dengan
maujud-maujud materi sebagai salah satu sisi hubungan tersebut. Kendati demikian, bila
dilihat dari sisi keterkaitannya dengan Allah sebagai sisi lain hubungan tersebut, sifat ini
suci dari batasan apa pun. Misalnya, pemberian rizki Allah kepada seseorang hanya bisa
terwujud pada masa dan tempat tertentu.Pada hakikatnya, batasan masa dan waktu ini
berkaitan dengan orang yang menerima rizki itu, bukan dengan Allah Sang Pemberi rizki,
karena Dia Mahasuci dari penisbahan masa dan tempat apa pun.
Catatan ini merupakan kunci untuk menyelesaikan berbagai keraguan yang
dilontarkan terhadap upaya mengenal sifat-sifat dan tindakan Allah yang telah
menyebabkan banyaknya pertikaian di antara para ulama dan pemikir.
PenciptaSetelah kita dapat membuktikan wajibul wujud dan bahwa ia merupakan sebab
utama bagi keberadaan mumkinul wujud, dan dengan memperhatikan bahwa segala yang
ada itu pada wujudnya sendiri bergantung mutlak kepada Allah, dari sini dapat ditemukan
sifat pencipta (Al-Khaliqiyah) padawajibul wujud dan sifat yang dicipta (makhluqiyah) pada
makhluk-Nya. Sifat pencipta ini identik dengan Sebab Pengada. Dan seluruh yang mungkin
(mumkinul wujud) yang butuh kepada pencipta dan merupakan satu sisi hubungan
penciptaan disifati dengan makhluqiyah (ciptaan, yang dicipta).
Akan tetapi, terkadang kata Al-Khalq (penciptaan) mengandung
makna mahdudiyah (keterbatasan) yang lebih banyak, dimana objek penciptaan ini adalah
maujud yang hanya dicipta dari materi yang sebelumnya. Lawan dari makna
tersebut ibda` (pewujudan), dimana makna ini digunakan untuk realitas-realitas yang
wujudnya tidak didahului oleh materi (seperti realitas-realitas abstrak dan hayula).
Atas dasar inilah, ijad (penciptaan) dibagi menjadi dua bagian,
yaitu khalq dan ibda` (penciptaan dan pewujudan). Dengan demikian, tindakan mencipta
yang dilakukan oleh Allah SWT tidak sama dengan tindakan yang dilakukan manusia ketika
membuat sesuatu; mereka butuh kepada gerak dan anggota badan agar gerakannya
menjadi sebuah tindakan, dan hal yang terjadi merupakan hasil tindakan tersebut.
Adapun penciptaan Allah SWT tidaklah demikian. Artinya, penciptaan bukan sesuatu
dan yang dicipta bukan pula sesuatu yang lain. Karena, di samping Allah SWT itu suci dari
gerak dan ciri-ciri khas segala maujud materi, jika tindakan cipta-Nya berupa realitas
objektif tersendiri di luar, berarti tindakan cipta ini adalah wujud mungkin yang—pada
dasarnya—merupakan makhluk dan ciptaan Allah. Jika demikian, pembicaraan akan
kembali lagi seputar penciptaan Allah atas tindakan cipta-Nya, dan ini justru melazimkan
daur yang mustahil. Akan tetapi sebagaimana telah kami singgung mengenai sifat-sifat
fi'liyah, bahwa sifat-sifat tersebut merupakan konsep-konsep (mafhum) yang diperoleh
dari berbagai relasi yang terdapat antara Allah dan makhluk-Nya. Sedangkan dasar untuk
menilai adanya relasi-relasi itu adalah akal.
PengaturSalah satu relasi yang dapat diamati antara Allah SWT dan makhluk-Nya adalah
bahwa makhluk-makhluk itu tidak saja butuh kepada Allah pada asal wujudnya, bahkan
segala hal yang berkaitan dengan wujud dan kesinambungannya ber-gantung kepada-Nya.
Mereka tidak mandiri, sama sekali. Oleh karena itu, Allah SWT memiliki
hak tasharruf (perlakuan) atas mereka dan mengatur berbagai urusannya sesuai dengan
kehendak-Nya.
Ketika mengamati relasi tersebut secara umum, kita dapat mencerap konsep
rububiyah (pengaturan) yang kelazimannya adalah mengatur segala urusan. Konsep ini
memiliki berbagaimishdaq[1] seperti: Al-Hafidh (penjaga), Al-Muhyi (meng-hidupkan), Al-
Mumit (mematikan), Ar-Raziq(pemberi rizki), Al-Hadi (pemberi hidayah), Al-
Amir (pemerintah), An-Nahi (pelarang) dan sebagainya.
Hal-hal yang berhubungan dengan rububiyah ini dapat dibagi menjadi dua kelompok:
Satu: Rububiyah Takwiniyah (pengaturan cipta). Rububiyah ini meliputi pengaturan
berbagai urusan setiap maujud dan pemenuhan berbagai kebutuhannya. Singkat kata, ia
meliputi pengaturan alam semesta.
Dua: Rububiyah Tasri'iyah (pengaturan tinta). Rububiyah ini hanya berlaku atas
makhluk yang bisa merasa dan memilih. Hal ini meliputi beberapa masalah seperti pengutusan
para Nabi, penurunan kitab-kitab samawi, penetapan tugas dan kewajiban dan
penyusunan hukum dan undang-undang.
Dengan demikian, rububiyah mutlak Ilahi berarti bahwa seluruh makhluk dalam
segala urusan hidup dan wujudnya bergantung kepada Allah SWT. Dan berbagai hubungan
yang terjalin antara sesama mereka pada akhirnya berujung kepada-Nya. Dialah yang
mengatur dan mengurus sebagian makhluk-Nya dengan perantara makhluk-makhluk-Nya
yang lain. Dialah yang melimpahkan rizki kepada segenap makhluk melalui sumbersumbernya
yang telah Dia hamparkan. Dialah yang memberi hidayah kepada seluruh
makhluk yang berperasaan, baik melalui sarana-sarana internal (seperti akal dan seluruh
daya indra) maupun melalui sarana-sarana eksternal (seperti para Nabi dan kitab
samawi).Dan Dia pulalah yang menetapkan hukum-hukum, aturan-aturan, berbagai tugas
dan kewajiban kepada para mukallaf(orang yang terbebani tugas-tugas syari'i).
Sebagaimana khaliqiyah, rububiyah merupakan konsep relasional (idhafi). Bedanya,
aspek-aspek yang diamati pada konsep tersebut adalah hubungan-hubungan khusus
antara berbagai makhluk itu sendiri. Sebagaimana yang telah kami jelaskan pada
konsep Raziqiyah. Apabila dengan teliti kita merenungkan konsep khaliqiyah dan
rububiyah sebagai sifat idhafiyah, akan tampak jelas bahwa di antara kedua sifat tersebut
terdapat talazum (hubungan niscaya), bahwa pengatur alam semesta ini mustahil bukan
penciptanya. Maka, dzat yang menciptakan seluruh makhluk dengan ciri-ciri tertentu dan
menciptakan hubungan antara sesamanya, Dia pulalah yang memelihara dan
mengaturnya. Pada hakikatnya, konsep rububiyah dan tadbir diperoleh akal dari proses
penciptaan pada berbagai makhluk, dan adanya hubungan antara satu makhluk dengan
yang lainnya.
Yang DisembahPara ulama Islam telah banyak membahas seputar konsep al-ilah dan uluhiyah di
dalam kitab-kitab tafsir.Makna yang kami pilih untuk konsep ini ialah
bahwa ilah berarti Al-Ma'bud (sembahan) atau bermakna yang berhak diibadahi dan
ditaati. Seperti halnya kata Al-Kitab yang berarti Al-Maktub (yang ditulis), artinya sesuatu
yang layak ditulis. Berdasarkan pengertian ini, uluhiyah merupakan sifat yang apabila kita
hendak memahaminya, harus mengasumsikan adanya hubungan antara ibadah seorang
hamba dan ketaatannya. Karena orang-orang yang sesat, meskipun mereka menjadikan
sesuatu sebagai sembahannya, yang berhak untuk diibadahi dan ditaati hanyalah Allah Al-
Khaliq dan Ar-Rabbsemata.
Keyakinan demikian ini adalah kadar yang mesti dipenuhi oleh setiap orang dalam
masalah-masalah ketuhanan. Artinya, di samping ia mengimani bahwa Allah swt. itu
adalah wajibul wujud, pencipta, pengatur dan bahwa alam ini tunduk di bawah kehendak-
Nya, ia pun mesti mengimani bahwa Dialah yang berhak ditaati dan diibadahi. Dari sinilah
diperoleh konsep uluhiyah sebagai salah satu syiar Islam, yaitu La ilaha Illallah.[]
Jawablah pertanyaan-pertanyaan berikut ini !
1. Apakah hubungan antara sifat-sifat dzatiyah dan fi`liyah, dan bagaimana salah
satunya itu berasal dari yang lain?
2. Mengapa sifat-sifat fi'liyah itu terbatas dan terikat dengan masa dan tempat?
3. Jelaskan pengertian Al-Khaliqiyah dan terangkan perbedaan antara konsep
tersebut dengan Al-Ijad dan Al-Ibda' !
4. Mengapa kita tidak mungkin menggambarkan Al-Khalq (penciptaan) sebagai
realitas di luar yang berbeda dan mandiri dari makhluk?
5. Jelaskan pengertian rububiyah!
6. Terangkan bagian-bagian rububiyah!
7. Jelaskan keniscayaan antara rububiyah dan khaliqiyah!
8. Jelaskan pengertian uluhiyah dan keniscayaannya
dengan khaliqiyah dan rububiyah!
[1] Mengenai pengertian mishdaq, bisa dirujuk ke cacatan kaki di akhir pelajaran 7.
PELAJARAN 11 - Seluruh Sifat-sifat Fi'liyahTermasuk tema yang rumit di dalam ilmu Kalam adalah masalah Iradah Ilahiyah
(kehendak Allah) yang dibahas dari beberapa sisi. Ikhtilaf seputarnya pun tidak bisa
dihindari, seperti apakah kehendak ini termasuk sifat zatiyah ataukah sifat fi'liyah? Apakah
sifat tersebut qadim ataukah hadist? dan apakah ia itu satu ataukah berbilang?
Selain itu, terdapat tema-tema lainnya yang dibahas oleh Filsafat mengenai
kemutlakan kehendak, khususnya kehendak Allah. Jelas bahwa kajian atas tema ini secara
luas tidak sesuai dengan buku yang ada di hadapan Anda ini. Oleh karena itu, kami
memulai penjelasan masalah ini dengan pengertian iradah. Setelah itu, akan kami jelaskan
secara ringkas tentang iradah Allah.
IradahSetidak-tidaknya, kata iradah secara konvensional digunakan dalam dua makna. Salah
satunya bermakna cinta (muhabbah), dan yang kedua bermakna keputusan (tashmim)
untuk melakukan suatu perbuatan. Dilihat dari sisi bidang-bidangnya, makna pertama
sangatlah luas, karena meliputi cinta akan segala sesuatu yang berada di luar tindakan
seseorang dan tindakan orang lain. Berbeda dengan makna yang kedua yang digunakan
khusus untuk tindakan-tindakan seseorang itu sendiri.
Iradah dengan pengertian pertama (mahabbah), meskipun bagi manusia
merupakan aradh(aksiden) dan kaifiyah nafsaniyah (kualitas jiwa), akan tetapi akal kita—
dengan cara menyisihkan berbagai kekurangan darinya—dapat menggambarkan konsep
umum baginya, sehingga bisa diterapkan atas entitas-entitas di luar, bahkan atas Allah
SWT. Sebagaimana penyisihan tersebut dilakukan oleh akal terhadap pengetahuan (ilmu).
Maka itu, Hubb (cinta)—yang diterapkan atas mahabbah (kecintaan) Allah
terhadap dzat-Nya—dapat digolongkan ke dalam sifat dzatiyah. Dengan demikian, apabila
maksud Iradah Ilahiyah adalahhubbul kamal (cinta kesempurnaan) yang—pada
prinsipnya—berhubungan dengan kesempurnaan Ilahi yang tidak terbatas, dan berikutnya
berhubungan dengan seluruh makhluk dari sisi bahwa kesempurnaan itu merupakan
kesan (atsar) dari kesempurnaan-Nya, maka kita dapat menggolongkan sifat cinta ini ke
dalam sifat dzatiyah sebagaimana sifat dzatiyah lainnya; qadim dan esa, identik ('ayn dzat)
dengan zat Allah itu sendiri (yakni merupakan substansi Allah itu sendiri).
Adapun iradah dengan makna keputusan untuk melakukan suatu tindakan, tidak
diragukan lagi bahwa ia termasuk sifat fi'liyah yang—dilihat dari kaitannya dengan
fenomena-fenomena alam (hawadist)—terikat dengan batasan-batasan waktu,
sebagaimana yang juga tampak pada ayat yang berbunyi:
“Sesungguhnya manakala amr-Nya menghendaki sesuatu, Dia berkata, ‘Jadilah’,
maka terjadilah.”(QS. Yasin: 82).
Namun, perlu diperhatikan bahwa penyifatan Allah dengan sifat-sifat fi'liyah ini tidak
berarti dzat-Nya mengalami perubahan atau terdapat aradh (aksiden) padanya.
Penyifatan ini hanyalah menyoroti hubungan antara dzat Allah dan makhluk-makhluk-Nya
dari sisi tertentu dan dengan syarat-syarat tertentu pula, sehingga dengan cara itu dapat
dipe-roleh sebuah konsep relasional (mafhum idlafi) yang tergolong sebagai sifat fi'liyah.
Pada iradah, hubungan berikut ini dapat diamati; bahwa setiap makhluk itu
diciptakan dari aspek bahwa ia memiliki kesempurnaan, kebaikan dan kemaslahatan.
Maka wujudnya itu—pada masa, tempat dan cara tertentu—terkait dengan ilmu dan cinta
Allah SWT. Dan sesungguhnya Dia menciptakannya dengan kebebasan dan kehendak-Nya,
tanpa ada pemaksaan dari siapa pun.
Dengan memperhatikan hubungan ini, kita dapat memperoleh sebuah konsep yang
dinamakan iradah. Konsep relasional ini dibatasi oleh batasan-batasan tertentu dilihat dari
kaitannya dengan sisi hubungan yang terbatas pula. Selain itu, konsep ini
bersifat hudust dan kastrah (proses dan jamak), karena kerelasiannya yang tentunya
mengikuti dua sisi yang mengapitnya, dimana hudust dan kasratpada salah satu sisi saja
akan berlaku pada relasi itu sendiri.
HikmahBertolak dari apa yang telah kami jelaskan seputar Iradah Ilahiyah, menjadi jelas bagi
kita bahwa iradah itu tidak terkait dengan penciptaan sesuatu secara sia-sia, tanpa
pertimbangan dan hikmah. Melainkan bahwa Iradah Ilahiiyah itu pada dasarnya berkaitan
dengan sisi kesempurnaan dan kebaikan segala sesuatu. Mengingat bahwa terjadinya
benturan antara satu materi dengan lainnya itu mengakibatkan timbulnya kekurangan
pada sebagiannya dari sebagian lainnya, cinta Ilahi kepada kesempurnaan melazimkan
terciptanya suatu tatanan materi yang melazimkan kebaikan dan kesempurnaan yang
lebih banyak.
Dari pengamatan terhadap hubungan-hubungan itu, kita memperoleh konsep yang
namanya maslahat. Tanpa pengamatan itu, maslahat itu sendiri tidak memiliki wujud
mandiri yang memberi efek pada keberadaan makhluk ataupun pada iradah Ilahiyah.
Artinya, kita tidak mendapati wujud luar mandiri yang dinamakan maslahat yang dapat
mempengaruhi wujud makhluk, lebih tidak benar lagi jika dikatakan bahwa maslahat itu
dapat mempengaruhi Iradah Ilahiyah.
Kesimpulannya, bahwa tindakan Ilahi itu muncul dari sifat-sifat dzatiyah Allah SWT
seperti: ilm,qudrat dan cinta-Nya kepada kesempurnaan dan kebaikan. Oleh karena itu,
tindakan-tindakan Allah senantiasa berdasarkan maslahat dan tidak mungkin kosong
darinya, yakni selalu terdapat kebaikan dan kesempurnaan yang ghalib. Iradah semacam
ini dinamakan iradah hakimah; Kehendak yang Mahabijak. Dari sinilah akal menemukan
sifat fi'liyah Allah yang lain, yaitu sifat bijaksana (hakim). Sebagaimana pula semua sifatsifat
fi'liyah lainnya, sifat ini pun berasal dari sifat dzatiyah Allah SWT.
Perlu kiranya kami tekankan, bahwa melakukan suatu tindakan karena maslahat,
bukan berarti bahwa maslahat itu merupakan sebab tujuan ('illat gha'iyah) bagi Allah swt.
Melainkan bahwa maslahat itu merupakan tujuan kedua dan bersifat tak langsung (taba'i).
Adapun tujuan dasarnya tindakan Allah adalah cinta-Nya kepada kesempurnaan diri-Nya
sendiri yang tak terbatas, dimana cinta kesempurnaan-Nya tersebut secara tak langsung
berhubungan dengan berbagai atsar-nya (efeknya), yaitu kesempurnaan segala yang ada.
Berangkat dari sini mereka mengatakan bahwa sebab tujuan pada tindakan Allah adalah
sebab pelaku ('illah fa'iliyah) itu sendiri. Karena, Allah swt. tidak memiliki ghayah
mustaqil (tujuan di luar diri-Nya) sebagai tambahan atas dzat-Nya.
Namun demikian, konklusi ini tidak menafikan adanya kesempurnaan, kebaikan dan
maslahat pada segala yang ada sebagai tujuan sampingan (far'i dan tabi'i). Maka itu,
tindakan-tindakan Allah dalam Al-Qur'an disebutkan sebagai sebab bagi sebagian perkara
dan tujuan yang semuanya berakhir kepada kesempurnaan dan kebaikan seluruh makhluk
itu sendiri. Ayat-ayat Al-Qur'an menyebutkan bahwa ujian, bencana, memilih perbuatan
yang paling baik, beribadah kepada Allah SWT dan mencapai rahmat Ilahi yang abadi
merupakan tujuan penciptaan manusia. Setiap tujuan tersebut disiapkan untuk tujuan
lainnya secara gradual sebagaimana yang telah dijelaskan.
KalamTermasuk konsep yang dinisbahkan kepada Allah SWT adalah konsep kalam
atau takallum(berkata). Sejak dahulu, persoalan kalam Ilahi ini telah dibahas oleh kaum
teolog. Bahkan sebagian mereka mengatakan bahwa sebab penamaan ilmu Kalam adalah
larutnya para teolog ke dalam pembahasan seputar kalam Ilahi. Madzab Asy'ariyah (Ahli
Sunnah) menganggap bahwa kalam Ilahi termasuk sifat dzatiyah. Sementara Mu'tazilah
menganggapnya sebagai sifat fi'liyah. Di antara persoalan yang menyebabkan terjadinya
pertikaian sengit antara kedua madzab tersebut ialah: apakah Al-Qur'an—sebagai kalam
Allah—termasuk makhluk atau tidak? Bahkan bisa jadi sebagian mereka mengkafirkan
sebagian lainnya hanya karena perbedaan pandangan dalam masalah ini.
Dengan memperhatikan pengertian sifat dzatiyah dan sifat fi'liyah terdahulu, tampak
jelas bahwa kalam Ilahi termasuk sifat fi'liyah; yang tidak dapat ditangkap akal kecuali
dengan mengandaikan audiens (mukhatab) yang berusaha me-nangkap maksud
ucapan mutakalim (pembicara) dengan cara mendengar suara atau melihat tulisan atau
terbetik suatu pema-haman di dalam benaknya, ataupun dengan cara lainnya.
Pada hakikatnya, konsep mutakalim itu diperoleh dari adanya hubungan antara Allah
yang hendak menyingkapkan suatu hakikat kepada selain-Nya dan audiens yang hendak
menangkap hakikat tersebut. Berbeda bila yang dimaksudkan takalum itu adalah makna
lain seperti qudrat (kuasa) untuk bicara atau tahu isi pembicaraan. Berdasarkan maksud
ini, sifat kalam akan kembali kepada sifat dzatiyah. Sebagaimana telah disinggung,
sebagian dari sifat-sifat fi'liyah mengalami penyederhanaan seperti ini.
Adapun Al-Qur'an yang tersusun dari kalimat-kalimat atau kata-kata atau
pemahaman-pemahaman yang tersirat di benak ataupun berupa hakikat nurani
nonmateri, semua itu termasuk makhluk. Kecuali jika dikatakan bahwa ilmu dzati
PELAJARAN 12 - Analisis atas Beberapa Faktor PenyimpanganMukaddimah
Pada pelajaran pertama, telah kami bahas bahwa secara umum pandangan dunia
terbagi menjadi dua; pandangan dunia Ilahi dan pandangan dunia Materialisme.
Perdebatan terpenting kedua pandangan tersebut berkisar pada wujud Tuhan yang
Mahatahu dan Mahakuasa. Pandangan dunia Ilahi menjadikan keberadaan Tuhan sebagai
sebuah prinsip utama. Sedangkan pandangan dunia Materialisme mengingkari
keberadaan Tuhan.
Masih pada pelajaran yang sama, kami juga telah membahas—sekadar kapasitas
buku ini—pembuktian atas wujud Allah swt.dan sifat-sifat Ilahiyah; salbiyah dan
tsubutiyah, dzatiyah dan fi'liyah. Demi memantapkan keimanan terhadap dasar yang
penting ini, kami akan mengkritisi pandangan dunia Materialisme secara ringkas. Dengan
cara ini, kita akan lebih yakin pada kebenaran pandangan dunia Ilahi dan kerapuhan
pandangan dunia Materialisme.
Untuk tujuan ini, mula-mula kami akan menyinggung beberapa faktor penyimpangan
pada pandangan Ilahiyah yang mengarah kepada pandangan Ateisme. Setelah itu, kami
akan menjelaskan poin-poin terpenting kelemahan pandangan Materialisme.
Faktor-faktor Penyimpangan
Materialisme dan Ateisme memiliki sejarah yang panjang dalam kehidupan manusia.
Meskipun keimanan kepada Allah swt. senantiasa ada di tengah bangsa-bangsa terdahulu,
sebagaimana ditunjukkan oleh bukti-bukti sejarah dan arkeologi, namun masih saja
ditemukan individu dan kelompok yang mengingkari Allah, dimana kecenderungan anti
agama sejak abad 18 mulai tersebar di Eropa kemudian perlahan-lahan menyebar ke
seluruh dunia.
Walaupun fenomena ini pada awalnya sebagai reaksi dari tekanan gereja Kristen,
akan tetapi anginnya menghembus ke seluruh agama dan aliran. Barat telah mengekspor
pandangan ateisme tersebut ke seluruh belahan dunia berbarengan dengan ekspor
industri, seni dan teknologi, kemudian me-nyebar pada kurun terakhir bersamaan dengan
tersebarnya dasar-dasar sosiologi dan ekonomi Marxisme di kebanyakan bangsa dan
negara sehingga membentuk rintangan, bahaya besar dan sindrom yang menakutkan bagi
umat manusia.
Sebenarnya faktor-faktor yang menyebabkan muncul dan tersebarnya penyimpangan
ini banyak sekali. Pembahasan tentang semua faktor ini memerlukan buku tersendiri.
Akan tetapi dalam buku yang terbatas ini, secara umum kami akan menyederhanakan
faktor-faktor itu pada tiga kategori:
1. Faktor KejiwaanYaitu faktor-faktor yang mendorong seseorang kepada pandangan ateistik, sekalipun
ia tidak menyadari adanya pengaruh tersebut. Faktor terpenting adalah rasa ingin senang,
santai, malas, dan tidak memiliki rasa tanggung jawab. Yakni dari satu sisi, bahwa
kesulitan mengkaji—khususnya dalam hal-hal yang tidak memiliki kenikmatan indrawi—
menjadi penghalang bagi orang yang malas, santai dan tidak memiliki minat untuk
meneliti. Dari sisi lain, kecenderungan untuk bebas sesuka hati dan tidak adanya rasa
tanggung jawab menjadi kendala bagi mereka menuju pandangan dunia Ilahi.
Menerima pandangan dunia Ilahi dan meyakini adanya Pencipta Yang Mahabijak
merupakan titik tolak untuk menerima seperangkat keyakinan lainnya yang menuntut
seseorang agar memiliki rasa tanggung jawab dalam seluruh pilihan dan tindakannya. Rasa
tanggung jawab ini mengharuskannya agar konsisten pada kewajiban Ilahi dan berpaling
dari desakan hawa nafsu. Tentunya, konsistensi tersebut tidak selalunya sejalan dengan
rasa ingin bebas. Oleh karena itu, keinginan hewani ini—tanpa disadari—menjadi sebab
untuk menghindar dari tanggung jawab dan dari berbagai aturan, serta menjadi sebab
untuk mengingkari wujud Allah SWT.
Ada pula faktor-faktor kejiwaan lain yang mempunyai peran penting dalam
mengarahkan seseorang menjadi ateisme dan akan nampak terlihat di antara semua
faktor.
2. Faktor SosialYakni situasi dan kondisi sosial yang buruk yang tampak pada sebagian masyarakat
ketika para pemimpin agama turut andil dalam mewujudkan dan memperluas kondisi
buruk tersebut. Maka situasi dan kondisi buruk semacam ini akan mengikis pandangan
dan akidah yang benar dari pikiran sebagian orang yang dangkal pandangannya, lemah
pemikirannya, serta tidak dapat mengkaji secara jeli faktor-faktor yang sebenarnya terjadi
di balik kondisi tersebut. Karena itu, ketika mereka melihat bahwa orang-orang yang
beragama turut berperan dalam menciptakan kondisi buruk tersebut, mereka
mengkaitkannya dengan agama. Mereka menuduh bahwa keyakinan-keyakinan agama
merupakan faktor utama bagi munculnya situasi dan kondisi buruk tersebut sehingga hal
itu membuat mereka jauh dari agama.
Kondisi masyarakat Eropa di era Renaisains merupakan pengalaman yang jelas bagi
faktor tersebut. Ketika itu, sikap dan citra Gereja tampak buruk di berbagai bidang agama,
sistem hukum dan politiknya merupakan faktor terpenting yang membuat masyarakat
kristian menjauhi Kristen, bahkan menjauhi agama secara umum.
Termasuk hal penting yang harus diperhatikan oleh pihak-pihak yang bertanggung
jawab terhadap masalah agama, hendaknya mereka memahami faktor-faktor dominan
tersebut. Pemuka agama harus memahami pentingnya keberadaan mereka di tengah
masyarakat, dan betul-betul mengerti bahwa kesalahan mereka dapat mengakibatkan
masyarakat menjadi sesat dan celaka.
3. Faktor PemikiranMaksud dari faktor pemikiran di sini adalah berbagai dugaan dan keraguan yang
terbetik di benak seseorang atau yang ia dengar dari orang lain. Akan tetapi ia tidak
mampu menghadapinya lantaran kemampuannya yang minim untuk berfikir dan
berargumentasi. Oleh karena itu, sedikit banyaknya ia tunduk di bawah keraguankeraguan
tersebut. Paling tidak, hal itu menjadi sebab munculnya keraguan dan
kegoncangan dalam pikirannya sehingga ketenangan dan keyakinan dalam hatinya
terganggu.
Pada gilirannya, faktor pikiran ini dapat dibagi menjadi beberapa bagian sekunder,
seperti keraguan-keraguan yang berdasarkan kecondongan kepada persoalan-persoalan
indrawi, keraguan-keraguan yang timbul dari keyakinan-keyakinan khurofat, keraguankeraguan
yang timbul dari penafsiran-penafsiran yang keliru, argumen-argumen yang
lemah, keraguan-keraguan yang berhubungan dengan peristiwa dan tragedi yang
menyakitkan hati sehingga hal itu diyakini berlawanan dengan hikmah, kebijaksanaan dan
keadilan Ilahi, keraguan-keraguan yang timbul dari asumsi-asumsi ilmiah yang dipahami
oleh sebagian orang bahwa hal itu bertentangan dengan keyakinan agama, dan keraguankeraguan
yang berhubungan dengan hukum-hukum dan ajaran agama, khususnya
masalah-masalah yang berkaitan dengan hukum dan politik.
Barangkali masih ada dua atau beberapa faktor lainnya yang semuanya itu turut andil
dalam membentuk kondisi kebimbangan atau penolakan. Kadangkala kita temukan bahwa
berbagai kesusahan jiwa dapat menjadi faktor penyiap bagi timbulnya berbagai keraguan.
Karena sebab itu seseorang dapat ditimpa penyakit jiwa yang berupa waswas pemikiran.
Akibatnya, penderita ini mengalami kondisi serbaragu, sehingga tidak pernah merasa puas
dengan dalil dan argumen apapun, sebagaimana hal ini kita saksikan pada seseorang yang
tertimpa waswas dalam pekerjaannya dan tidak merasa yakin akan kebenaran setiap amal
yang ia lakukan. Misalnya, kita saksikan bagaimana ia mencelupkan tangannya ke dalam
air berpuluh-puluh kali. Meskipun demikian, tetap saja ia tidak merasa yakin dengan
kesucian tangannya. Padahal sangat mungkin tangannya itu telah suci pada celupan yang
pertama.
Cara PenanggulanganDengan mengkaji berbagai macam faktor penyimpangan, menjadi jelas bahwa untuk
mengatasi masing-masing faktor tersebut membutuhkan metode tertentu, sikap dan
solusi secara khusus. Misalnya untuk mengatasi faktor-faktor kejiwaan dan moral,
diperlukan pendidikan yang benar dan mengetahui berbagai efek buruknya, sebagaimana
hal ini telah kami jelaskan pada pelajaran 2 dan 3, yaitu dalam pembahasan pentingnya
mencari agama dan efek-efek buruk dari sikap tidak peduli dan apriori terhadap agama.
Demikian pula halnya dalam menanggulangi efek-efek buruk dari faktor-faktor sosial.
Maka itu, di samping berusaha untuk mencegah terjadinya situasi dan kondisi serta faktorfaktor
seperti ini, kitapun harus menjelaskan perbedaan yang besar antara kebatilan
agama itu sendiri dan tidak adanya konsistensi orang-orang yang beragama atau buruknya
tingkah laku mereka. Sesungguhnya menyadari dan mengetahui adanya pengaruh faktorfaktor
kejiwaan dan sosial—paling tidak—akan menuai ketidaktundukan seseorang secara
tidak sadar terhadap faktor-faktor semacam ini.
Demikian pula kita harus menggunakan metode-metode yang benar dan sikap yang
baik dari berlipatgandanya berbagai pengaruh faktor-faktor pemikiran, seperti
membedakan antara keyakinan-keyakinan khurofat dengan keyakinan-keyakinan yang
benar, atau menghindari penggunaan argumen-argumen yang lemah dan tidak logis
dalam membuktikan keyakinan-keyakinan agama.
Begitu pula kita harus menjelaskan kepada mereka akan hakikat berikut ini, bahwa
kelemahan argumen tidak menunjukkan atas ketidakbenaran klaim. Jelas bahwa
membahas seluruh faktor penyimpangan ini dan menjelaskan metode-metode yang
semestinya dalam menanggulangi masing-masing faktor tersebut, tidaklah sesuai dengan
kapasitas buku ini. Oleh karena itu, kami cukupkan hanya dengan menyebutkan sebagian
faktor pemikiran ateistik dan menjawab sebagian keraguan yang bersangkutan.[]
Jawablah pertanyaan-pertanyaan berikut ini!
1. Apakah manfaat yang diperoleh dari mengkritisi dan mengkaji pandangan dunia
Materialisme?
2. Bagaimana paham ateisme bisa tersebar luas pada kurun terakhir ini?
3. Jelaskan faktor-faktor kejiwaan pada penyimpangan agama!
4. Terangkan faktor-faktor sosial pada fenomena penyim-pangan!
5. Jelaskan faktor-faktor pemikiran dan faktor-faktor yang timbul darinya!
6. Bagaimana waswas pemikiran itu dapat terjadi?
7. Bagaimana menanggulangi berbagai faktor penyelewengan?
PELAJARAN 13 - Beberapa Keraguan dan Jawaban
Meyakini Realitas yang tak Bisa Diindra
Di antara keraguan-keraguan yang dilontarkan seputar keimanan kepada Allah SWT
adalah: Bagaimana mungkin kita beriman kepada realitas yang tak dapat diindra, yang kita
tidak mungkin mengetahuinya dengan perantara indra.
Keraguan semacam ini timbul dari orang-orang yang merasa heran dengan adanya
maujud yang tidak dapat dijangkau oleh indra dan persepsi. Bahkan sebagian ilmuwan
yang melandaskan pemikirannya dengan otentisitas indra, juga mengingkari realitas yang
tak bisa diindra tersebut. Atau minimalnya, mereka mempunyai pandangan bahwa
maujud ini tidak bisa diketahui secara yakin dan pasti.
Jawaban atas keraguan tersebut ialah bahwa pengetahuan-pengetahuan indrawi bisa
diperoleh hanya dengan adanya hubungan antara anggota-anggota badan dengan materi.
Masing-masing indra kita dapat mengetahui fenomena-fenomena materi yang sesuai
dengan kodrat indra itu sendiri dan di bawah syarat-syarat tertentu. Sebagaimana kita
yakin bahwa mata kita tidak mungkin dapat melihat suara dan telinga kita tidak mungkin
dapat menangkap warna, begitu pula kita harus mengerti bahwa indra kita tidak akan
mampu mengetahui seluruh makhluk yang ada di alam ini. Karena, pertama: terdapat
sebagian realitas materi yang memang tidak mungkin dapat dijangkau oleh indra.
Misalnya, indra kita tidak akan mampu menjangkau pancaran sinar ultraviolet atau infra
merah. Atau gelombang-gelombang magnetis listrik dan sebagainya.
Kita dapat mengetahui berbagai hakikat tanpa melalui indra lahiriah, lebih dari itu kita
pun meyakininya dengan mantap, padahal itu tidak dapat dijangkau oleh indra. Misalnya
kita merasakan adanya rasa takut, cinta atau keinginan dalam diri kita dan kita
meyakininya secara penuh. Padahal itu semua termasuk kondisi jiwa—seperti ruh itu
sendiri—yang tidak mungkin dapat dipersepsi dan dilihat oleh indra kita.
Bahkan idrak (persepsi) itu sendiri merupakan perkara nonmateri yang tidak dapat
diindra.
Dengan demikian, tidak terjangkaunya sesuatu melalui indra bukanlah dalil atas
ketiadaannya. Bahkan tidak selayaknya hal ini membuat kita heran dan merasa aneh.
Peran Rasa Takut dan Bodoh pada Iman
Ada keraguan dari sebagian sosiolog, bahwa iman itu lahir akibat rasa takut dari
bahaya dan ancaman, seperti bahaya gempa, halilintar dan bencana alam lainnya. Demi
menenangkan hati, manusia menciptakan (nastaghfirullah) realitas khayalan yang
dinamakan Allah, kemudian mereka menyembah-Nya. Oleh sebab itu, semakin banyak
diketahui sebab-sebab alami dan cara penanggulangannya, iman mereka semakin
bertambah lemah. Sebagian orang marxis merumuskan pandangan ini dengan penuh
antusias. Mereka menilai bahwa hal itu merupakan sebuah pandangan sosiologi kemudian
sanggup memikat pikiran orang.
Jawab: pertama, Sesungguhnya dasar keraguan semacam ini adalah asumsi yang
dilontarkan oleh sebagian sosiolog yang tidak didukung oleh argumen ilmiah.
Kedua, dewasa ini, telah banyak ilmuwan yang lebih banyak mengenal sebab-sebab di
balik berbagai peristiwa dan fenomena tersebut. Namun, mereka mengimani adanya Allah
Yang Bijak secara mutlak. Maka itu, iman kepada Allah SWT bukan karena rasa takut dan
kebodohan.
Ketiga, apabila keadaan jiwa seperti; rasa takut terhadap sebagian bencana atau
ketidaktahuan akan sebab-sebab alami pada sebagian fenomena, menjadi faktor yang
mendorong seseorang untuk mengenal Allah swt., itu tidak berarti bahwa Allah adalah
sebagai penyebab timbulnya rasa takut dan kebodohannya. Karena, seringkali kita dapati
betapa motif jiwa—seperti cinta kelezatan, ingin tenar dan sebagainya—mendorong
seseorang untuk serius melakukan kajian ilmiah, seni dan filsafat, dan usaha semacam itu
tidak dinilai buruk sedikit pun.
Keempat, apabila ditemukan sebagian individu yang meyakini bahwa Allah SWT
adalah sebab terjadinya berbagai peristiwa yang tidak diketahui sebab-sebabnya,
kemudian dengan terungkap sebab-sebab alaminya itu iman mereka menjadi lemah,
justru kita harus menilai bahwa itu merupakan bukti atas lemahnya pemahaman dan iman
mereka, bukan bukti atas irrasionalitas iman kepada Allah. Karena, Allah sebagai sebab
fenomena-fenomena alam ini tidak sejajar secara horizontal dengan sebab-sebab
alami.Akan tetapi, Dia berada di atas garis vertikal bagi seluruh sebab-sebab materi
maupun nonmateri. Dan tahu atau tidaknya akan sebab-sebab alami sama sekali tidak
berpengaruh pada penetapan maupun penafian wujud Allah SWT.
Apakah Hukum Kausalitas Bersifat Universal?
Keraguan lain yang dilontarkan oleh sebagian ilmuwan Barat adalah bahwa Hukum
Kausalitas, apabila berupa konsep yang universal, tentu hukum ini juga berlaku pada Allah
SWT. Dengan demikian, kita mesti berasumsi bahwa Allah pun memiliki sebab juga.
Padahal telah dibuktikan bahwa Allah SWT merupakan sebab utama yang tidak memiliki
sebab apapun selain-Nya. Maka itu, iman kepada Tuhan yang tidak memiliki sebab justru
menggugurkan Kukum Kausalitas dan menunjukkan bahwa hukum itu tidak bersifat
universal. Jika kita mengingkari universalitasnya, kita tidak mungkin—dengan hukum ini—
membuktikan Tuhan sebagai wajibul wujud. Sebab, bisa jadi seseorang menganggap
bahwa asal materi atau energi itu terwujud dengan sendirinya; tanpa memerlukan sebab.
Dan dengan berubahnya asal materi dan energi tersebut, muncullah semua fenomena dan
makhluk.
Sebagaimana telah dijelaskan pada pelajaran 7, keraguan ini muncul lantaran
penafsiran yang keliru tentang Hukum Kausalitas. Mereka mengira bahwa maksud hukum
ini ialah bahwa segala sesuatu butuh kepada sebab. Padahal maksud yang benar adalah
bahwa setiap sesuatu yang mumkinul wujud atau setiap wujud rabith (yang bergantung)
butuh kepada sebab. Hukum ini bersifat umum, pasti (dharuri) dan tak terkecualikan.
Adapun asumsi bahwa materi dan energi utama bisa terwujud tanpa sebab dan bahwa
perubahannya merupakan sebab wujudnya segala sesuatu di alam ini, adalah sumsi yang
dapat dikritisi dengan berbagai catatan sebagaimana pada pelajaran yang akan datang.
Hasil Pengetahuan Empiris
Keraguan lain yang layak diamati ialah bahwa meyakini wujud pencipta alam dan
manusia tidak sesuai dengan sebagian hasil penelitian ilmu modern. Misalnya dibuktikan
dalam ilmu Kimia bahwa kuantitas materi dan energi senantiasa ada. Atas dasar ini, dapat
dikatakan bahwa tidak mungkin setiap sesuatu itu muncul dari ketiadaan dan tidak
mungkin pula maujud apa pun mengalami ketiadaan. Sedangkan orang mukmin meyakini
bahwa Allah SWT telah menciptakan makhluk-Nya dari ketiadaan. Begitu pula telah
dibuktikan di dalam ilmu Biologi, bahwa makhluk hidup lahir dari benda-benda mati lalu ia
mengalami perkembangan (evolusi) secara bertahap sampai akhirnya menjadi manusia
yang hidup akibat perkembangan tersebut. Padahal orang mukmin meyakini bahwa Dialah
yang menciptakan segala sesuatu dengan cara yang mandiri.
Jawab: Pertama, hukum keutuhan materi dan energi adalah hukum ilmiah empiris
yang bisa dijadikan sebagai landasan bagi hal-hal yang tunduk kepada eksperimen saja,
dan tidak mungkin dapat mengatasi masalah-masalah filosofis seperti; apakah materi atau
energi itu bersifat abadi atau tidak?
Kedua, bahwa keutuhan kuantitas totalitas materi dan energi tidak berarti
ketakbutuhannya kepada pencipta. Bahkan semakin panjang usia alam materi, ia semakin
butuh kepada pencipta. Karena, tolak ukur butuhnya akibat kepada sebab adalah sifat
substansialnya, yakni imkan dan fakir dzati(ketergantungan substansial),
bukan huduts (kejadian) dan masanya yang terbatas.Artinya, materi dan energi
merupakan sebab material bagi alam ini dan—sama sekali—bukan sebab pelaku baginya.
Dan keduanya itu (yakni materi dan energi) pada gilirannya membutuhkan sebab pelaku
pula. Ketiga, bahwa tetapnya kuantitas materi dan energi tidak melazimkan ternafikannya
kemunculan berbagai fenomena yang baru atau bertambah dan berkurangnya fenomena
tersebut.
Ketiga, sesungguhnya realitas seperti ruh, hidup, rasa, kehendak dan lain-lain tidaklah
seperti materi dan energi, dimana bertambah atau berkurangnya dapat menafikan hukum
keutuhan materi dan energi. Keempat, bahwa teori evolusi—di samping bahwa hal itu
tidak mendapatkan pengakuan nilai ilmiah yang cukup, teori ini pun telah ditolak oleh
kebanyakan ilmuwan besar—tidak bertentangan.
Keempat, dengan iman kepada Allah SWT, maksimalnya teori evolusi ini hanya
menetapkan sebab penyiap di antara makhluk-makhluk hidup, dan sama sekali tidak
menafikan hubungan mereka dengan Allah SWT. Bukti atas hal ini adalah bahwa
mayoritas pendukung teori ini beriman kepada Tuhan Pencipta alam dan manusia.[]
Jawablah beberapa pertanyaan berikut ini!
1. Apakah kritikan-kritikan atas Empirisme dan pengingkaran hal-hal yang nonindrawi?
2. Apakah jawaban atas sebagian ahli Sosiologi yang mengatakan bahwa rasa takut
atau kebodohan merupakan sebab keimanan kepada wujud Allah SWT?
3. Apakah iman kepada wujud Allah swt. menafikkan universalitas hukum kausalitas,
dan mengapa?
4. Apakah hukum keutuhan materi dan energi menafikkan iman kepada pencipta
alam ini, dan mengapa?
5. Apakah teori evolusi dapat menggugurkan iman pada wujud Allah SWT, dan
mengapa?
PELAJARAN 14 - Pandangan Dunia Materialis dan Beberapa KritikDasar-dasar Pandangan Dunia MaterialismeDasar-dasar pandangan dunia Materialisme dapat dididenahkan sebagai berikut:
Pertama, wujud itu sama dengan materi dan material. Sesuatu itu dianggap ada
apabila ia berupa materi yang memiliki bentuk dan meliputi tiga dimensi (panjang, lebar
dan padat) atau meliputi tipologi materi sehingga ia disifati dengan kuantitas dan dapat
dibagi. Atas dasar inilah penganut Materialisme mengingkari wujud Allah, karena wujud-
Nya nonmateri dan metafisis.
Kedua, bahwa materi bersifat azali, abadi, tidak dicipta dan tidak membutuhkan
sebab apapun, yang dalam Filsafat dinamakan wajibul wujud.
Ketiga, kita tidak mungkin mengatakan bahwa alam ini memiliki tujuan dan sebab
akhir, karena tidak ada pelaku yang memiliki ilmu dan kehendak sehingga dapat
dinisbahkan suatu tujuan penciptaan kepadanya.
Keempat, sesungguhnya fenomena alam (baca: bukan materi utamanya) muncul
akibat adanya perpindahan pada atom-atom materi, dan adanya interaksi antara satu
dengan lainnya. Dari sini dapat dikatakan bahwa fenomena alam yang terdahulu berperan
sebagai syarat dan sebab penyiap bagi fenomena-fenomena berikutnya. Dalam hal ini, kita
pun dapat menerima kemungkinan yang paling jauh, bahwa fenomena alam terdahulu itu
adalah sebagai sebab pelaku alami di antara hal-hal material.Misalnya, sebuah pohon
dapat dianggap sebagai pelaku alami bagi munculnya buah-buahan. Sedang hal-hal yang
bersifat fisikal dan kimiawi dapat disandarkan kepada faktor-faktor yang
mempengaruhinya. Namun, tidak ada satu pun fenomena yang butuh kepada pelaku dan
pencipta Ilahi.
Di sini, dapat pula ditambahkan basis epistemologis sebagai dasar kelima. Dan bisa
pula dianggap sebagai prolog bagi semua dasar-dasar lainnya, yaitu bahwa pengetahuan
yang diperoleh berdasarkan empiris adalah satu-satunya pengetahuan yang dapat diakui
keabsahannya, mengingat bahwa eksperimen indrawi hanya dapat membuktikan wujud
materi dan hal-hal material, dan tidak bisa membuktikan wujud lainnya. Karenanya, kita
tidak mungkin menerima wujud apa pun yang selain materi. Akan tetapi, pada pelajaran
yang telah lalu telah jelas kerapuhan pandangan ini, dan kami rasa tidak perlu lagi
mengulanginya. Untuk itu, kita akan membahas empat dasar saja.
Kritik atas Dasar Pertama
Dasar ini merupakan yang terpenting dalam pandangan dunia Materialis, meski
sekadar klaim minus argumen. Argumen apa pun tidak dapat digunakan untuk menafikan
wujud metafisis, khususnya berdasarkan epistemologi materialistik yang berlandaskan
pada indra dan persepsi. Karena eksperimen indrawi apa pun tidak akan dapat
menjelaskan tentang sesuatu di luar lingkup materi dan material, baik penilaiannya yang
positif maupun negatif. Asumsi maksimal—sesuai dengan logika materialis—yang dapat
dinyatakan adalah bahwa wujud metafisis itu tidak dapat dibuktikan. Dengan demikian,
paling tidak kita harus menerima asumsi kewujudannya, karena sesuatu yang tidak dapat
dibuktikan kewujudannya tidak berarti bahwa sesuatu itu benar-benar tidak ada,
sebagaimana ungkapan para filosof bahwa "Adamu al-wujdan la yadullu ala adami alwujud"
(tidak diketahui tidak berarti tiada).
Pada pembahasan sebelumnya telah kami jelaskan bahwa manusia dapat mengetahui
berbagai persoalan nonmateri yang tidak memiliki kekhasan materi seperti ruh, seseorang
dapat mengetahuinya dengan ilmu hudhuri (ilmu presentif). Bahkan argumen rasional pun
telah banyak membuktikan berbagai wujud abstrak (mujarrad) dalam buku-buku filsafat.
Bukti yang paling utama atas keberadaan abstrak ruh ialah adanya mimpi yang nyata,
perbuatan-perbuatan para petapa, mukjizat-mukjizat para Nabi dankaramah para wali
Allah.
Alhasil, untuk mengikis dasar-dasar Materialisme tersebut cukup dengan
menggunakan dalil-dalil yang digunakan untuk menetapkan wujud Allah SWT dan
kenonmaterian-Nya.
Kritik atas Dasar Kedua
Dasar ini berlandaskan pada keabadian dan keutuhan materi. Kesimpulannya, materi
itu bukan yang tercipta.
Kritik atas dasar ini adalah: Pertama, kita tidak mungkin dapat menetapkan keabadian
materi berdasarkan dalil-dalil ilmiah dan eksperimen. Karena, ruang-lingkup eksperimen
sangatlah terbatas yang tidak mungkin dapat mencakup bidang ini. Bahkan eksperimen
apapun tidak akan dapat membuktikan ketidakterbatasan alam semesta ini dari sisi ruang
dan waktunya.
Kedua, bahwa keabadian materi tidak memestikan ketakbutuhannya kepada
pencipta. Misalnya, asumsi adanya gerak mekanik yang bersifat abadi menuntut asumsi
adanya potensi penggerak yang bersifat abadi pula, bukan malah membuktikan
ketidakbutuhannya kepada potensi penggerak.
Di samping itu, pandangan bahwa materi itu tidak dicipta berarti ia
merupakan wajibul wujud. Pada pelajaran kedelapan telah kita buktikan kemustahilan
materi sebagai wajibul wujud.
Kritik atas Dasar Ketiga
Dasar ketiga ini adalah pengingkaran atas tujuan alam semesta sebagai akibat dari
mengingkari Sang Pencipta. Tentu, jika kita dapat membuktikan adanya Sang Pencipta
yang bijak, dasar pemikiran ini akan gugur.
Di samping itu, ada sebuah pertanyaan yang perlu mereka jawab, yaitu bahwa setiap
orang yang berakal—ketika menyaksikan hasil ciptaan manusia—mengetahui bahwa
mereka mempunyai tujuan. Akan tetapi ketika ia menyaksikan tatanan alam semesta yang
menakjubkan, dan memiliki hubungan yang serasi antara satu dengan yang lainnya, serta
memberikan anugerah kenikmatan yang melimpah ruah yang tidak terhitung banyaknya,
bagaimana mungkin ia meyakini bahwa alam tersebut tidak memiliki tujuan?
Kritik atas Dasar Keempat
Dasar keempat bagi pandangan dunia Materialisme adalah membatasi sebab hanya
pada hubungan materi pada feno-mena alam. Banyak sekali kritik yang dilontarkan atas
dasar ini, di antaranya adalah sebagai berikut:
Pertama, bahwa dasar dan pandangan ini melazimkan tidak ditemukannya realitas
yang baru apapun di alam ini. Padahal, kita senantiasa saksikan munculnya fenomenafenomena
materi yang baru, khususnya pada alam manusia dan binatang. Paling
utamanya adalah kehidupan, rasa, sensitifitas, indra, pikir, penciptaan dan kehendak.
Kaum Materialis menganggap bahwa fenomena-fenomena ini merupakan ciri-ciri khas
materi dan bukan sesuatu yang lain.
Ada beberapa catatan untuk menjawab pandangan di atas:
a. Bahwa keunikan yang melazimkan materi dan material yang tidak mungkin
berpisah darinya adalah imtidad (ekstensi) dan dapat dibagi. Ciri-ciri ini tidak ditemukan
pada fenomena-fenomena yang telah kami sebutkan.
b. Tidak diragukan lagi bahwa fenomena-fenomena yang dinamakan "keunikan
materi" tersebut tidak ditemukan pada materi yang tidak bernyawa. Dengan kata lain,
materi tersebut sebelumnya tidak memiliki keunikan masa. Barulah kemudian keunikan
masa ini diwujudkan padanya. Dengan demikian, fenomena-fenomena itu—yang dikenal
dengan tipologi materi—butuh kepada pencipta yang telah mengadakannya di dalam
materi. Pencipta inilah yang dinamakan 'illat mujidah (sebab pengada).
Kedua, pandangan ini melazimkan Jabariyah (determinisme) atas munculnya seluruh
fenomena alam, karena tidak ada peluang baginya untuk berikhtiar dan berkehendak
akibat pengaruh dan reaksi materi. Sedangkan menolak ikhtiar—di samping bertentangan
dengan nurani dan realita—dapat melazimkan pengingkaran terhadap tanggung jawab,
norma-norma moral dan nilai-nilai maknawi. Dan kita tahu betapa malapetaka yang akan
menimpa atas kehidupan manusia akibat mengingkari tanggung jawab dan nilai-nilai
akhlak tersebut.
Akhirnya, dengan memperhatikan bahwa materi itu tidak mungkin sebagai wajibul
wujud—sebagaimana telah kami buktikan pada pembahasan yang telah lalu—maka ia
(materi) harus memiliki sebab. Sebab tersebut mesti bukan berupa sebab natural dan
penyiap. Karena, hubungan-hubungan tersebut tidak dapat dipahami kecuali di antara halhal
material saja. Adapun totalitas materi itu sendiri tidak mungkin memiliki hubungan
semacam itu dengan sebabnya. Atas dasar ini, sebab yang mengadakan materi adalah
Sebab Pengada yang nonmateri.[]
Jawablah pertanyaan-pertanyaan berikut ini:
1. Jelaskan dasar-dasar pandangan dunia materialis!
2. Jelaskan definisi tentang materi dan material!
3. Jelaskan kritikan-kritikan terhadap dasar pertama!
4. Jelaskan kritikan-kritikan terhadap dasar kedua!
5. Sanggahlah dasar ketiga!
6. Terangkan kritik-kritik dasar keempat!
PELAJARAN 15 - Materialisme Dialektika: Analisis dan KritikMaterialisme Dialektika: Analisis dan Kritik
Materialisme Mekanika dan Dialektika
Materialisme memiliki berbagai macam aliran. Setiap aliran menafsirkan fenomena
alam ini dengan caranya masing-masing. Di awal era modern, kaum Materialisme—yang
terilhami oleh fisika Newton—menafsirkan fenomena alam ini sesuai dengan gerak
mekanik, yaitu bahwa setiap gerak merupakan akibat dari kekuatan penggerak tertentu,
yang lalu masuk ke dalam benda yang bergerak. Artinya mereka menggambarkan bahwa
alam ini merupakan mesin raksasa; yang kekuatan penggerak di dalamnya berpindahpindah
sehingga mengakibatkan gerak seluruh mesin. Teori ini dinamakan Materialisme
Mekanika.
Adanya berbagai kelemahan pada pandangan ini membuka banyak tanggapan kritis.
Di antaranya, apabila setiap gerakan itu disebabkan oleh kekuatan luar, maka mesti
diasumsikan adanya kekuatan penggerak lain yang datang dari luar untuk menggerakkan
materi pertama bagi alam semesta ini. Hal ini membawa kita untuk beriman kepada
maujud di balik materi, setidaknya sebagai sebab pada gerak awal yang terdapat pada
alam materi ini.
Kritik lain atas pandangan Materialisme Mekanika, bahwa kekuatan mekanika hanya
menjelaskan gerak-gerak posisif (wadh'i). Padahal fenomena alam semesta tidak mungkin
dibatasi dengan perubahan posisi dan tempat. Oleh karena itu, kita mesti mengimani
adanya sebab dan faktor lain untuk menafsirkan kemunculan seluruh fenomena alam ini.
Kritik-kritik tersebut mendorong penganutnya mengkaji faktor lainnya untuk menafsirkan
adanya perubahan dan gerak pada alam ini. Paling tidak, mereka berusaha untuk
menafsirkan sebagian gerak dengan penafsiran dinamika sehingga dapat mengasumsikan
adanya gerak esensial bagi materi tersebut.
Pendiri Materialisme Dialetika (Marx dan Engels) menilai bahwa faktor gerak tersebut
adalahtadhad dakhili (kontradiksi internal) di dalam fenomena-fenomena materi. Dalam
masalah ini, mereka menggunakan teori-teori filsafat Hegel. Di samping meyakini bahwa
materi itu bersifat abadi, azali, tidak akan rusak, tidak dicipta, memiliki gerak yang
menyeluruh, dan adanya interaksi antarfenomena, mereka pun mengajukan tiga prinsip
untuk menjelaskan pandangannya:
- Prinsip Kontradiksi Internal.
- Prinsip Lompatan, atau perubahan kuantitas (kamm) kepada kualitas (kaif).
- Prinsip Negasi terhadap Negasi, atau dinamika alami.
Berikut ini penjelasan sekaligus kritik atas tiga prinsip tersebut.
Prinsip Kontradiksi Internal
Materialisme Dialetika percaya bahwa setiap benda tersusun dari dua kontradiksi
(tesis dan antitesis). Kontradiksi ini merupakan faktor utama bagi gerak dan perubahan
benda tersebut. Dalam pergulatan tesis dan antitesis, yang kedua ini dapat
mengalahkan yang pertama sehingga munculah materi baru yang disebut dengan
sintesis. Misalnya, telur ayam itu mengandung sperma, kemudian secara berangsur
mengalami perubahan dan perkembangan dengan mencerna makanan yang terdapat di
dalamnya. Dan akhirnya ia melahirkan anak ayam yang merupakan sintesis. Gelombang
listrik yang memuat aliran positif dan negatif adalah contoh lain akan adanya kontradiksi
dalam fenomena fisika. Demikian juga dengan teori menghimpun dan membagi dalam
Matematika pemula, atau pecahan dan integral dalam Matematika tingkat tinggi.
Materialisme Dialektika juga berperan dalam berbagai peristiwa sosial dan sejarah.
Misalnya pada masyarakat kapitalis, kita dapati adanya golongan proletariat (buruh), yang
merupakan antitesis bagi golongan borjuis, dan secara berangsur mengalahkan yang
kedua, kemudian muncullah masyarakat sosialis komunis sebagai sintesis. Para
pendukung teori Marxis juga menambahkan, bahwa prinsip kontradiksi ini dapat
membuktikan kebatilan prinsip metafisika, yakni hukum nonkontradiksi.
Kritik
Perlu kami tekankan bahwa tidak seorang pun yang menolak adanya dua realitas
materi yang saling bersentuhan sebegitu rupa hingga salah satunya mendesak yang
lainnya, atau malah menghancurkannya, sebagaimana hal ini dapat kita saksikan pada air
dan api. Meski begitu, pertama: kondisi seperti ini tidak bersifat mutlak dan tidak mungkin
dapat kita terima sebagai sistem alam yang universal. Karena dapat kita metemukan
ratusan bahkan ribuan fakta yang menentang kenyataan ini.
Kedua, adanya kontradiksi pada sebagian fenomena alam tidak ada hubungannya
dengan kontradiksi yang diyakini kemustahilannya oleh logika klasik dan Filsafat Murni.
Karena, kemustahilan yang mereka akui adalah ber-kumpulnya dua hal yang kontradiktif
pada "satu subjek". Sedangkan contoh-contoh kontradiksi yang diyakini kaum materialis
tidak menyoroti satu subjek. Kita pun tidak butuh kepada contoh-contoh dangkal atas dua
hal kontradiktif yang menjadi bahan cemoohan kaum Marxisme seperti; berkumpulnya
antara menghimpun dan mengurai, bilangan pecahan dan bilangan yang benar (integral)
dan ramalan kosong yang mereka buat-buat tentang munculnya kekuasaan golongan
proletariat di negara-negara sosialis.
Ketiga, apabila setiap fenomena mesti terangkap dari dua hal yang kontradiktif (tesis
dan antitesis), masing-masing dari keduanya itu mesti terangkap pula, karena mereka itu
adalah fenomena. Berdasarkan prinsip kontradiksi, tesis maupun antitesis mesti tersusun
dari dua hal yang kontradiktif. Konsekuensinya, bahwa setiap fenomena yang terbatas
mesti tersusun dari kontradiksi-kontradiksi yang tak terbatas.
Sekaitan dengan kontradiksi internal yang mereka angkat sebagai faktor penggerak,
yang dengan cara ini mereka ingin menutupi sejumlah kelemahan Materialisme Mekanika,
kritik yang paling ringan atasnya adalah bahwa tidak didapati argumentasi ilmiah apapun
yang mendukung prinsip tersebut. Di samping itu, kita tidak dapat mengingkari adanya
gerak-gerak mekanis yang terjadi akibat kekuatan luar. Lain halnya jika mereka
mengatakan pula bahwa gerak bola pun muncul akibat adanya kontradiksi internal di
dalam bola itu sendiri, bukan akibat dari tendangan pemain sepak bola?!
Dasar Lompatan
Kita saksikan bahwa berbagai perubahan alam tidak seluruhnya terjadi secara
berangsur dan segaris. Bahkan banyak sekali fenomena yang baru itu muncul, namun
tidak semirip fenomena-fenomena sebelumnya. Dalam hal ini, kita tidak dapat
menganggap bahwa fenomena yang baru tersebut adalah imtidad (ekstensi) perubahan
dan gerak sebelumnya.
Berangkat dari sinilah kaum materialis meyakini prinsip lain, yaitu lompatan (thafrah),
atau perpindahan dari perubahan kuantitas ke perubahan kualitas. Artinya, ketika
perubahan kuantitas mencapai tingkat tertentu, ia akan berubah menjadi kualitas yang
baru dan menjadi sebab atas terjadinya perubahan kualitas tersebut. Sebagai contoh, air
ketika diletakkan di atas api, derajat panasnya akan meningkat. Kemudian jika panasnya
itu meningkat sampai derajat tertentu (100 derajat celsius), ia akan berubah menjadi uap.
Demikian pula, setiap lempengan tembaga yang memiliki titik leleh tertentu, yang bila
dipanaskan sampai derajat tertentu, ia akan berubah dan mencair. Tidak beda halnya
dengan masyarakat. Bila terjadi pergulatan antarkelas sosial, pada puncaknya pasti akan
terjadi revolusi.
Kritik
Pertama, tidak ada fenomena apa pun yang di dalamnya terjadi perubahan kuantitas
kepada kualitas. Maksimal yang bisa kita katakan bahwa terjadinya fenomena tertentu itu
tergantung pada wujud kuantitas tertentu, misalnya derajat panas air itu tidak akan
berubah menjadi uap. Akan tetapi perubahan air menjadi uap itu tergantung pada panas
yang telah mencapai tingkat tertentu.
Kedua, tidak mesti kuantitas itu akan terjadi dalam derajat tertentu akibat
bertambahnya kuantitas yang sebelumnya secara berangsur. Bahkan hal itu bisa terjadi
akibat sedikitnya kuantitas yang sebelumnya, seperti perubahan uap ke air yang
bergantung pada turunnya derajat panas.
Ketiga, berbagai perubahan kualitas tidak selamanya terjadi secara seketika dalam
satu waktu. Bahkan tidak jarang ia terjadi secara berangsur, seperti melelehnya lilin atau
kaca. Maka itu, yang dapat diterima adalah kemestian terpenuhinya kuantitas tertentu
dalam mewujudkan sebagian fenomena alam, bukan adanya perubahan kuantitas kepada
kualitas, bukan pula bertambahnya kuantitas secara berangsur. Dan kita pun sulit tidak
menerima universalitas prinsip ini kepada semua perubahan kuantitas. Jadi, sebenarnya
tidak ada sistem alam universal yang dinamakan lompatan (insidental) atau perpindahan
dari berbagai perubahan kuantitas menuju perubahan-perubahan kualitas.
Prinsip Negasi terhadap Negasi
Prinsip ini disebut juga dengan hukum perkembangan dua kontradiktif atau dinamika
alami. Yaitu, bahwa dalam perubahan dialektis yang bersifat universal, tesis itu bisa lenyap
dengan perantara antitesis. Dan antitesis ini—pada gilirannya—akan lenyap dengan
perantara sintesis. Ini dapat kita amati pada dunia tumbuh-tumbuhan; sebuah pohon
dapat melenyapkan bijinya, lalu pohon itu sendiri pada gilirannya akan dilenyapkan oleh
bibit-bibit yang baru. Demikian pula sperma, ia dapat melenyapkan sel telur yang pada
gilirannya pun akan dilenyapkan oleh itik. Akan tetapi, dengan proses semacam ini,
fenomena yang baru akan lebih banyak memiliki kesempurnaan dibandingkan fenomena
sebelumnya. Dengan ungkapan lain, gerak dialektis senantiasa mengalami peningkatan
dan penyempurnaan. Pada poin inilah dasar penting ini tersembunyi, karena ia dapat
menunjukkan gerak perubahan dan menekankan peningkatan dan kesempurnaan gerak
tersebut.
Kritik
Tentu dalam setiap perubahan, keadaan sebelumnya akan sirna lalu muncul
fenomena baru. Apabila prinsip di atas itu mengarah kepada pengertian ini, ia tidak
menghasilkan selain interpretasi atas kelaziman suatu perubahan. Akan tetapi,
interpretasi ini—yaitu bahwa arah gerak itu terbatas, bahwa gerak itu senantiasa
mengalami peningkatan dan penyempurnaan, dan bahwa fenomena berikutnya mesti
lebih sempurna dari yang sebelumnya—tidak dapat dikatakan sebagai hukum yang
berlaku secara universal atas semua gerak dan perubahan alam. Apakah uranium yang
berubah menjadi peluru setelah diproses dan disinari berarti ia lebih sempurna? Apakah
air menjadi lebih sempurna ketika ia berubah menjadi uap? Ataukah uap tersebut lebih
sempurna ketika berubah menjadi air? Dan apakah ketika pohon itu kering dan layu
hingga tidak tersisa lagi buah dan bijinya sedikit pun, berarti ia lebih banyak memiliki
kesempurnaan?
Betul bahwa sebagian realitas alam ini lebih banyak memiliki perkembangan dan
kesempurnaan akibat adanya perubahan dan gerak. Meski begitu, hukum ini tidak
meliputi setiap gerak dan perubahan. Karenanya, kita tidak dapat menerima prinsip
perkembangan dan kesempurnaan sebagai suatu hukum yang universal atas setiap
fenomena alam.
Akhirnya, perlu kami tekankan di sini, meskipun diasumsikan bahwa prinsip-prinsip
tersebut berlaku atas alam semesta, maksimal yang mungkin dapat ditetapkan olehnya
adalah bahwa ia menjelaskan bagaimana terjadinya fenomena tersebut, sebagaimana hal
ini terdapat dalam semua hukum yang terdapat pada ilmu-ilmu alam. Akan tetapi,
keberadaan hukum yang bersifat universal dan berlaku pada alam materi ini tidak berarti
bahwa berbagai fenomena dan peristiwa tidak butuh lagi kepada pencipta dan sebab
pengada. Sebagaimana pada pelajaran sebelumnya, materi itu merupakan mumkinul
wujud(wujud mungkin), yang secara pasti ia senantiasa butuh kepada wajibul wujud.[]
Jawablah pertanyaan-pertanyaan berikut ini!
1. Jelaskan perbedaan antara Materialisme Dialetika dan Materialisme Mekanika!
2. Terangkan prinsip kontradiksi dan kritik-kritik terhadapnya!
3. Terangkan prinsip lompatan dan kritik-kritik terhadapnya!
4. Terangkanlah prinsip menafikkan negatif dan ajukan kritik terhadapnya!
5. Jika diasumsikan bahwa prinsip-prinsip itu benar dan bersifat universal, apakah
berarti bahwa alam ini tidak butuh lagi kepada pencipta, dan mengapa?
PELAJARAN 16 - Tauhid kepada AllahTauhid kepada Allah
Mukadimah
Pada pelajaran sebelumnya, telah kita buktikan kemestian adanya Tuhan Pencipta
alam semesta, Tuhan yang Mahatahu dan Mahakuasa. Dialah yang menciptakan,
memelihara dan mengatur alam semesta. Pada pelajaran terakhir, juga kami telah
memaparkan pandangan dunia Materialisme terhadap alam semesta. Dan melalui catatan
kritis kami terhadap beberapa pandangan tersebut, menjadi jelas bagi kita bahwa
kemestian adanya alam semesta tanpa Tuhan adalah kemestian yang irrasional dan
penafsiran yang tidak mungkin dapat diterima.
Selanjutnya, kami akan membahas tema Tauhid, sekaligus menyanggah pandangan
dan keyakinan orang-orang musyrik.
Para sosiolog mengajukan berbagai macam pandangan seputar perkembangan
keyakinan-keyakinan syirik di masyarakat yang senantiasa mengalami perubahan silihberganti.
Akan tetapi, pandangan dan penafsiran itu tidak berdasarkan dalil yang valid.
Ada kemungkinan bahwa faktor pertama kecenderungan syirik dan keyakinan pada
banyaknya tuhan adalah tatkala seseorang melihat beragamnya realitas-realitas di langit
dan bumi. Dari itulah mereka berkeyakinan bahwa setiap bagian realitas tunduk di bawah
pengaturan Tuhan tertentu. Sebagian dari mereka percaya bahwa seluruh kebaikan
bersumber dari Tuhan kebaikan, dan seluruh keburukan berasal dari Tuhan keburukan.
Berangkat dari sinilah mereka yakin bahwa alam semesta ini memiliki dua sumber wujud
dan pencipta.
Demikian pula pengamatan mereka terhadap pengaruh sinar matahari, bulan dan
bintang-bintang terhadap realitas bumi, sehingga mereka—dari satu sisi—memandang
bahwa benda-benda tersebut memiliki suatu bentuk pengaturan terhadap apa yang ada di
bumi. Dari sisi lain, kecondongan manusia untuk menyembah sembahan yang dapat
diindra mendorong mereka untuk membuat berbagai lambang dan simbol bagi tuhantuhan
yang mereka anggap untuk kemudian mereka sembah. Lambang itu lambat laun
mendarah daging di hati orang-orang yang pikirannya lemah. Selanjutnya, setiap bangsa
bahkan suku membuat ritual keagamaan tertentu—sesuai dengan anggapan mereka—
untuk menyembah lambang tersebut. Dengan cara itulah mereka dapat memenuhi
desakan fitrah (menyembah Allah) dari dalam diri mereka.
Lebih dari itu, mereka pun memenuhi tuntutan-tuntutan hewani dan hawa nafsunya
dalam bentuk kesucian agama. Sebagian dari ritual-ritual keagamaan tersebut masih
berlanjut hingga sekarang, yang disertai dengan berbagai macam tarian, nyanyian, minum
khamar, hubungan seks dan perilaku hewani lainnya yang semuanya mewarnai suasana
ritual keagamaan para penyembah lambang tersebut.
Di samping itu semua, adanya tujuan para penguasa zalim, congkak dan tamak, yang
sengaja ingin memanfaatkan keyakinan dan pemikiran masyarakat awam demi memenuhi
ambisi busuk mereka, mengokohkan dan memperluas daerah kekuasaan mereka. Untuk
tujuan itulah mereka menebarkan keyakinan-keyakinan syirik, menurunkan pengaturan
alam di bawah kuasa mereka, dan menjadikan raja-raja yang zalim sembahan dan bagian
dari upacara keagamaan. Kenyataan ini tampak begitu jelas pada raja-raja dan sultansultan
di Cina, India, Iran, Mesir dan negeri-negeri yang lain.
Dengan demikian, keyakinan-keyakinan dan dasar-dasar syirik itu sudah tumbuh di
tengah umat manusia karena faktor yang beragam. Lalu, keyakinan-keyakinan itu tersebar
luas sehingga menjadi kendala bagi proses kesempurnaan hakiki umat manusia; proses
yang hanya dapat dicapai melalui ajaran Ilahi dan Tauhid. Maka itu, para nabi
mengerahkan sebagian besar tenaganya untuk memberantas syirik, sebagaimana
konfrontasi antara hak dan batil ini banyak disinggung oleh Al-Qur’an.
Pada dasarnya, keyakinan-keyakinan dan dasar-dasar syirik itu bertumpu pada
kepercayaan adanya pengatur alam selain Allah. Di samping itu, banyak kaum musyrik
yang percaya bahwa pencipta alam semesta adalah satu. Nyatanya, mereka mempercayai
konsep Tauhid dalam penciptaan. Namun pada waktu yang sama, mereka pun meyakini
adanya tuhan-tuhan sebagai pengatur alam secara mandiri, dan mereka juga menamakan
Tuhan Pencipta sebagai “Tuhan di atas tuhan-tuhan pengatur”.
Sebagian mereka menganggap bahwa tuhan-tuhan pengatur itu adalah malaikat.
Musyrikin Arab percaya bahwa tuhan-tuhan pengatur itu adalah putri-putri Allah,
sebagian lain percaya bahwa mereka itu adalah jin, ada pula yang percaya bahwa mereka
itu adalah ruh bintang-bintang atau ruh orang-orang terdahulu atau bentuk-bentuk
maujud yang abstrak.
Pada pelajaran 10, kami telah mengisyaratkan adanya kaitan yang erat antara
penciptaan (Khaliqiyah) dan pengaturan (Rububiyah) yang hakiki. Sehingga keimanan pada
penciptaan dan pengaturan itu tidak dapat dipisahkan sama sekali, dan keimanan pada
Allah sebagai pencipta tidak sejalan dengan kepercayaan kepada selain Allah sebagai
pengatur. Mereka yang memiliki keyakinan seperti ini belum menyadari adanya
kontradiksi di dalamnya. Untuk menyanggah keyakinan mereka, cukuplah dengan
mengangkat poin kontradiksi tersebut.
Sebenarnya banyak sekali dalil atas Tauhid kepada Allah yang telah dipaparkan di
berbagai kitab Teologi dan Filsafat. Di sini, kami hanya akan membawakan satu dalil yang
secara langsung menunjukkan Tauhid dalam pengaturan, sekaligus menyanggah
keyakinan-keyakinan kaum musyrik.
Argumen atas Tauhid kepada Allah
Sesungguhnya kemestian banyaknya tuhan bagi alam semesta ini tidak keluar dari
asumsi berikut ini: Pertama: Kita memestikan bahwa setiap realitas alam ini merupakan
akibat dan diciptakan oleh seluruh tuhan tersebut.
Kedua: Setiap unit atau kelompok realitas alam ini adalah akibat dan diciptakan oleh
satu di antara tuhan-tuhan.
Ketiga: semua realitas di alam ini diciptakan oleh Tuhan Yang Esa, sementarta tuhantuhan
yang lain berperan sebagai pengatur mereka.
Asumsi bahwa setiap realitas alam ini memiliki banyak tuhan sebagai pencipta adalah
mustahil. Sebab, keyakinan ini berarti memestikan ada dua tuhan atau lebih sebagai
pencipta (baca: sebab-pewujud). Yakni, bahwa setiap tuhan itu memberi wujud kepada
setiap realitas alam. Konsekuensinya, setiap realitas itu memiliki tuhan-tuhan sebanyak
bilangan yang diasumsikan, sementara setiap realitas hanya memiliki satu wujud saja.
Karena jika tidak demikian, setiap realitas tidak lagi satu.
Adapun asumsi bahwa setiap tuhan menciptakan satu makhluk atau sekelompok
makhluk tertentu, berarti bahwa masing-masing makhluk itu bergantung hanya kepada
penciptanya saja dan tidak butuh kepada maujud yang lain, kecuali dalam hal-hal yang
kebutuhannya itu berakhir kepada penciptanya. Dan ini merupakan kebutuhan yang khas
bagi makhluk-makhluknya.
Dengan kata lain, asumsi kedua itu melazimkan pula adanya sistem yang banyak di
dalam alam, dan setiap sistem itu mandiri dan terpisah dari yang lain, padahal alam ini
hanya memiliki satu sistem. Sebagaimana terdapat hubungan di antara realitas-realitas
alam pada satu zaman, yang setiap mereka butuh kepada yang lain. Kenyataan ini
menunjukkan bahwa ada hubungan di antara realitas-realitas sebelumnya dengan
realitas-realitas yang sedang berlangsung. Demikian juga antara realitas-realitas yang
sedang berlangsung dengan yang berikutnya dan setiap realitas yang lalu merupakan
prasyarat bagi wujud berikutnya. Dengan begitu, alam yang terdiri dari bagian-bagian ini
saling berhubungan dan berkait diatur oleh satu sistem yang tidak mungkin sebagai akibat
dari beberapa sebab pengada.
Adapun asumsi bahwa pencipta seluruh makhluk adalah Tuhan Yang Esa, sedangkan
tuhan-tuhan yang lain bertugas mengatur alam, tidaklah benar. Karena seluruh wujud dan
aktifitas setiap akibat itu bergantung kepada sebab yang mengadakannya, dan tidak ada
celah bagi maujud mandiri apa pun untuk ikut campur dalam urusan tersebut, selain
interaksi antara sesama akibat-akibat dari satu sebab; yang tentunya seluruh akibat ini
tunduk kepada sebab pengada mereka, tidak keluar dari wilayah kekuasaan-Nya, dan satu
pun tidak akan terjadi kecuali dengan izin cipta-Nya.
Dengan demikian, tuhan-tuhan itu—selain Tuhan Pencipta dan Pewujud—bukan
tuhan dalam arti yang sebenarnya. Karena, makna Tuhan yang sebenarnya adalah Dzat
yang dapat memperlakukan segala makhluk-Nya secara mandiri. Sedangkan pada asumsi
di atas, tuhan-tuhan itu tidak mandiri dalam pengaktifkan kekuasaan mereka, bahkan
mereka itu adalah serpihan dari rububiyah Pencipta Sejati dan menjadi aktif dengan
kekuatan yang Dia berikan kepada mereka. Tanpa anugerah-Nya, segala aktifitas apa pun
tidak akan terwujud.
Maka itu, asumsi adanya tuhan-tuhan pengatur alam tidak menafikan Tauhid
Rububiyah (tauhid dalam pengaturan), sebagaimana suatu penciptaan yang terjadi
dengan izin Allah pun tidak menafikan Tauhid Khaliqiyyah-Nya. Di dalam Al-Qur’an dan
hadis-hadis, terdapat ungkapan yang menun-jukkan ketetapan penciptaan atau
pengaturan vertikal (taba’i) dan tidak mandiri pada sebagian hamba-hamba Allah.
Sekaitan dengan ihwal Nabi Isa as, Allah SWT berfirman:
“Dan ingatlah ketika kamu menciptakan dari tanah seperti bentuk burung dengan
izin-Ku, kemudian kamu meniupkan padanya, lalu ciptaan itu menjadi burung (yang
sebenarnya) dengan izin-Ku.” (QS. Al-Maidah: 110)
Di ayat lain Allah SWT berfirman:
“Dan (malaikat-malaikat) yang mengatur suatu urusan.” (QS. An-Nazi’at: 5).
Alhasil, dugaan tentang kemungkinan adanya tuhan-tuhan bagi alam ini muncul dari
menyerupakan Allah dengan sebab-sebab material dan sebab-sebab penyiap, sehingga
dapat dikatakan bahwa tuhan itu bisa berbilang bagi satu akibat. Akan tetapi, kita tidak
mungkin dapat menyerupakan sebab pewujud dengan sebab-sebab tersebut, atau
mengasumsikan diwujudkannya suatu akibat oleh sejumlah sebab pewujud dan sebilang
pengatur yang mandiri.
Jadi, untuk menyanggah dugaan tersebut, kita mesti berpikir lebih dalam tentang
konsep sebab pengada dan ciri-ciri khasnya sehingga kita mengetahui kemustahilan
berbilangnya sebab bagi satu akibat. Demikian pula kita mesti perhatikan saling terkaitnya
sesama realitas alam, tampak jelas bahwa sistem yang saling terpadu di alam semesta ini
tidak mungkin diciptakan oleh banyaknya tuhan atau tunduk pada pengaturan banyaknya
pengatur yang mandiri.
Dari penjelasan di atas menjadi jelas pula bahwa keyakinan terhadap wilayah
takwiniyah(kekuasaan cipta) pada sebagian hamba yang saleh tidak menafikan keimanan
terhadap Tauhid. Akan tetapi, jangan sampai kita menafsirkan wilayah ini dengan makna
penciptaan atau pengaturan yang mandiri. Sebagaimana keyakinan terhadap wilayah
tasyri’iyah (kekuasaan hukum) pada Nabi saw dan para imam maksum as juga tidak
menafikan pengaturan kekuasaan hukum Allah (tasyri’iyah Ilahiyyah). Karena wilayah itu
diwujudkan oleh Allah, dengan izin-Nya, dan bersumber dari-Nya.[]
Jawablah pertanyaan-pertanyaan berikut ini!
1. Jelaskan faktor-faktor yang menyebabkan munculnya keyakinan-keyakinan syirik!
2. Apakah dasar yang menjadi pusat keyakinan-keyakinan syirik tersebut?
3. Jelaskan hubungan pasti antara penciptaan dan pengaturan!
4. Mengapa kita tidak mungkin memestikan banyaknya tuhan sebagai pencipta satu
akibat?
5. Mengapa kita tidak mungkin meyakini bahwa sekelompok makhluk diciptakan oleh
pencipta tertentu?
6. Apakah sanggahan atas keyakinan bahwa seluruh alam ini diciptakan oleh satu
tuhan, dan pada saat yang sama ia memiliki pengatur-pengatur yang mandiri?
7. Dari mana munculnya dugaan tentang kemungkinan adanya banyak tuhan? Dan
bagaimana cara menyanggahnya?
8. Mengapa keyakinan terhadap wilayah takwiniyah bagi para wali Allah tidak
menafikan Tauhid penciptaan (Khaliqiyyah) dan pengaturan (Rububiyyah)?
PELAJARAN 17 - Beberapa Istilah TauhidBeberapa Istilah Tauhid
Mukaddimah
Secara leksikal, kata tauhid berarti “menganggap sesuatu itu satu”. Menurut istilah
kaum filsuf, teolog, ulama akhlak, dan ahli irfan, tauhid digunakan dalam arti yang
beragam. Masing-masing arti terfokus pada keesaan Allah SWT dari sisi tertentu. Dan
terkadang keragaman itu dipandang sebagai ungkapan dari macam-macam Tauhid, atau
tingkatan-tingkatannya. Jelas kapasitas buku ini tidak sesuai untuk membahas semua arti
tersebut. Untuk itu, di sini kami hanya akan menyebutkan beberapa istilah dan arti yang
lebih popular dan lebih sesuai dengan topik pembahasan.
Pertama: Negasi terhadap Keberbilangan
Istilah pertama yang umum dari tauhid adalah meyakini keesaan Allah, menafikan
keberbilangan dari dzat-Nya. Arti ini merupakan lawan dari syirik yang nyata, yaitu
keyakinan pada dua tuhan atau lebih; dengan pengertian bahwa masing-masing tuhan itu
memiliki wujud mandiri dan terpisah dari yang lain.
Kedua: Negasi terhadap Ketersusunan
Ini adalah istilah kedua dari Tauhid. Yakni meyakini
keesaan, basathah (kesederhanaan) di dalamdzat Allah, dan ketiadaan rangkapan pada
dzat-Nya dari bagian-bagian, baik secara aktual (bil fi’li) maupun potensial (bil quwwah).
Arti ini pada umumnya diungkapkan dalam bentuk sifat salbiyah sebagaimana telah
kami singgung pada pelajaran sepuluh. Sebab, pikiran kita lebih akrab dengan konsep
rang-kapan dan sekaligus lawannya, yakni menafikan rangkapan, dari pada
konsep basith (sederhana).
Ketiga: Negasi terhadap Perbedaan Sifat dari Dzat
Istilah ketiga berarti keyakinan bahwa sifat-sifat dzatiyah itu identik dengan dzat Allah
dan menafikan sifat-sifat yang berbeda dengan dzat-Nya. Istilah ini dinamai dengan
"Tauhid Sifati". Dalam riwayat disebutkan dengan ungkapan “Menafikan Sifat-sifat”
sebagai lawan dari pandangan sebagian madzhab (misalnya Asy’ariyyah) yang meyakini
bahwa sifat-sifat Allah itu adalah berbeda dengan dzat-Nya. Mereka meyakini “Al-
Qudama’ Ats-Tsamaniyah” (delapan sifat asli).
Dalil atas Tauhid Sifati adalah: seandainya masing-masing sifat Allah adalah realitas
yang mandiri, persoalannya tidak keluar dari beberapa hal berikut ini: Pertama: kita mengasumsikan
bahwa realitas sifat-sifat itu berada di dalam dzat Allah. Asumsi semacam ini
melazimkan tersusunnya dzat Allah dari bagian-bagian. Padahal, sebelumnya telah kami
jelaskan kemustahilan hal ini.
Kedua: kita mengasumsikan bahwa realitas sifat Allah berada di luar dzat-Nya. Di sini,
kita bisa andaikan sifat ini ke dalam dua hal: ia sebagai wajibul-wujud yang tidak butuh
kepada pencipta, atau sebagai mumkinul-wujud yang diciptakan oleh Allah SWT.
Bila kita ambil yang pertama, bahwa realitas sifat-sifat Allah adalah wajibul-wujud,
berarti bahwa dzat Allah itu berbilang; sebuah corak keyakinan syirik yang nyata, dan saya
tidak menduga ada seorang muslim yang berpandangan demikian ini. Atau kita asumsikan
realitasnya sebagai mumkinul-wujud, ini justru melazimkan bahwa dzat Ilahi—dalam
keadaan tidak memiliki sifat-sifat ini—menciptakan sifat-sifat tersebut kemudian Dia
menyandang sifat-sifat yang dibuatnya itu.
Misalnya, ketika secara substansial dzat Allah tidak memiliki sifat hayat (hidup),
kemudian Dia menciptakan sesuatu maujud yang dinamakan hayat (hidup), setelah itu
barulah Dia tersifati dengan sifathayat ini. Begitu juga dengan sifat Ilmu, kuasa dan
lainnya. Padahal, mustahil apabila sebab pengada itu secara substansial tidak memiliki
kesempurnaan yang ada pada makhluk-Nya. Lebih ganjil lagi, jika kita meyakini bahwa
Pencipta itu memperoleh sifat hidup, ilmu, dan kuasa dari makhluk-makhluk-Nya, lalu Dia
disifati dengan seluruh sifat kesempurnaan berkat makhluk-nya tersebut.
Dengan gugurnya asumsi-asumsi di atas, tampak jelas bahwa masing-masing sifat
Ilahi itu bukanlah realitas yang mandiri dan terpisah dari dzat-Nya. Pada hakikatnya,
semua sifat itu merupakan konsep-konsep yang dicerap oleh akal dari satu realitas yang
sederhana (basith), yaitu dzat Allah Yang Suci.
Keempat: Tauhid Tindakan.
Istilah keempat yang berkembang di kalangan filsuf dan teolog ini menyatakan bahwa
Allah swt. dalam segala tindakan-Nya tidak butuh kepada apa pun, dan tidak mungkin ada
satu maujud pun yang memberikan bantuan kepada-Nya dalam segala tindakan-Nya.
Tauhid ini dapat kita buktikan melalui sifat khas sebab pengada, yaitu qayyumiyyah,
ketika dikaitkan dengan seluruh akibat-Nya. Yakni, akibat yang terwujud dari sebab seperti
ini bergantung mutlak kepadanya. Dalam Filsafat, akibat ini bermakna bahwa sejatinya ia
(bukan dzat yang bergantung, tetapi) relasi ketergantungan itu sendiri kepada sebabnya;
ia tidak memiliki kemandirian sedikit pun.
Dengan kata lain, segenap yang dimiliki oleh akibat hanyalah berian dari Sebab
Pengada (Allah), tunduk di bawah kekuasaan cipta dan kepemilikan-Nya yang hakiki.
Adapun kekuasaan dan kepemilikan selain Allah adalah kepanjangan dari kekuasaan-Nya.
Dua kekuasaan vertikal ini tidaklah berbenturan, layaknya kepemilikan harta yang
bersifat konvensional yang diperoleh seorang budak melalui usaha. Harta itu merupakan
kepanjangan dari kepemilikan majikannya. Jika diri budak dan apa yang dimilikinya adalah
milik majikannya, bagaimana mungkin Allah membutuhkan bantuan kepada selain-Nya
yang seluruh wujud dan urusannya bergantung kepada-Nya?
Kelima: Pengaruh Mandiri
Istilah Tauhid yang kelima ini berarti kemandirian dalam memberi pengaruh, yakni
bahwa seluruh makhluk dalam segala tindakannya tidak mungkin tidak butuh kepada
Allah, bahwa segala bentuk interaksi pengaruh di antara makhluk berlangsung hanya
karena izin Allah dan di bawah kekuasaan yang dianugerahkan kepada mereka.[1] Pada
hakikatnya, dzat yang kuasa—secara mandiri dan tanpa butuh kepada selainnya—
memberi pengaruh pada sesuatu dan dalam setiap kondisi hanyalah Allah Yang Mahasuci.
Adapun seluruh tindakan dan pengaruh selain Allah adalah perpanjangan dari tindakan
dan pengaruh-Nya, berada di bawah kekuasaan-Nya.
Atas dasar inilah Al-Qur’an menisbahkan segenap pengaruh pelaku dan sebab natural
ataupun nonnatural (seperti malaikat, jin dan manusia) kepada Allah SWT. Misalnya, Al-
Qur'an menisbahkan turunnya hujan, tumbuhnya tumbuh-tumbuhan dan berbuahnya
pepohonan kepada Allah SWT. Banyak ayat yang mendesak manusia agar mencermati
penisbahan ini, dan merenungkan hubungan vertikal antara pengaruh Tuhan dan
pengaruh sebab-sebab selain-Nya.
Sebagai pendekatan, kami ajukan sebuah ilustrasi: yaitu seorang pengawai melakukan
sebuah tindakan yang diperintahkan oleh atasannya. Tentu, tindakan itu dinisbahkan
kepada atasan tersebut, meski pada saat yang sama dilakukan oleh pegawainya. Bahkan
dalam pandangan umum manusia, penisbahan tindakan pegawai itu kepada atasannya
lebih akurat.
Pelaku dalam tata cipta juga memiliki rangkaian mata rantai. Yakni, mengingat bahwa
wujud setiap pelaku itu bergantung kepada kehendak Allah, semisal bergantungnya wujud
bayangan di benak kepada diri empunya (kendati bagi Allahlah misal yang lebih agung),
maka pengaruh-pengaruh sebab-akibat yang muncul dari setiap pelaku dan pemberi
pengaruh—pada mata rantai tertingginya—bergantung dan bernisbah kepada izin dan
kehendak kausal Allah SWT. (La Haula wa la Quwwata illa bil-Lahil Aliyyil Adhim; tiada
daya dan kekuatan kecuali karena Allah Yang Mahatinggi dan Mahaagung).
Dua Konsekuensi Penting
Konsekuensi pertama dari Tauhid Tindakan ialah bahwa manusia hendaknya tidak
memandang siapa pun dan apa pun yang berhak disembah selain Allah SWT. Seperti yang
telah kami isyaratkan sebelumnya, bahwa apa pun selain Pencipta dan Pengatur makhluk
tidak berhak disembah, yakni bahwa Uluhiyyah berkaitan erat dengan Khaliqiyah dan
Rububiyah.
Konsekuensi kedua dari Tauhid dengan makna terakhir ialah bahwa manusia—dalam
segala keadaannya—harus bersandar dan bertawakal kepada Allah, serta memohon
pertolongan kepada-Nya dalam segala upaya. Hendaknya ia tidak meminta bantuan
kecuali kepada-Nya, tidak mengharap atau merasa cemas kecuali kepada-Nya dan
dengan-Nya; sehingga seandainya sebab-sebab yang biasa tidak memenuhi kebutuhan
dan keinginannya, maka ia tidak mengalami rasa putus asa dan kecewa, karena Allah
mampu memenuhi kebutuhannya melalui jalur-jalur dan sebab-sebab yang tidak biasa.
Keadaan orang seperti ini sungguh berada di bawah naungan kekuasaan khusus Allah,
sehingga ia hidup dalam jiwa yang tenang yang tidak ada bandingannya. Allah SWT
berfirman:
"Ketahuilah, sesungguhnya awliya Allah itu tidak pernah merasa khawatir dan
bersedih hati.” (QS. Yunus: 62).
Dua konsekuensi di atas terkandung di dalam ayat yang sering dibaca oleh setiap
muslim, minimal sepuluh kali dalam sehari:
“Hanya kepada-Mu kami menyembah dan hanya kepada-Mu kami mohon
perlindungan.” (QS. Al-Fatihah: 5).
Sebuah Keraguan
Di sini, barangkali terbetik sebuah keraguan.Yaitu, kalaulah tauhid yang sempurna itu
melazimkan agar manusia tidak lagi memohon pertolongan kepada selain Allah, maka bertawassul
kepada para wali Allah adalah perbuatan yang tidak benar.
Jawab: jika dimaksudkan dari tawassul itu ialah pengakuan terhadap kekuasaan para
wali untuk menolong pelaku tawassul secara mandiri dan lepas dari izin
Allah, tawassul yang seperti ini tidaklah sesuai dengan Tauhid. Adapun tawassul dalam
pengertian bahwa Allahlah yang menjadikan para wali-Nya itu sebagai wasilah untuk
mencapai rahmat-Nya, dan Dia pun memerintahkan tawassul melalui
mereka, tawassul seperti ini—di samping tidak menafikan Tauhid—justru sebuah
manifestasi Tauhid dalam ibadah dan ketaatan, karena tawassul ini dilakukan atas
perintah Allah SWT.
Adapun mengapa Allah SWT menetapkan wasilah-wasilah ini? Dan mengapa Dia
memerintahkan manusia ber-tawassul kepada para wali-Nya?, perintah dan ketetapan
Ilahi ini memiliki hikmah dan maslahat sebagaimana di bawah ini:
o Memperkenalkan derajat yang tinggi yang telah dicapai oleh hamba-hamba-Nya
yang saleh.
o Mendorong mereka kepada ibadah dan ketaatan yang dapat mengantarkannya
kepada derajat yang tinggi itu.
o Mencegah mereka dari memandang dirinya unggul dan merendahkan orang lain
karena merasa paling benar ibadahnya, merasa bahwa dirinya telah mencapai derajat
tertinggi dan kesempurnaan insani yang teragung. Sangat disayangkan bahwa hal
semacam ini menimpa mereka yang terhalangi dari nikmat wilayah Ahlul Bait as
dan tawassul kepada mereka.[]
Jawablah pertanyaan-pertanyaan berikut ini!
1. Jelaskan arti leksikal dan arti teknikal (istilah) Tauhid!
2. Apakah dalil atas Tauhid Sifati?
3. Bagaimana cara menetapkan Tauhid Sifati?
4. Jelaskan Tauhid dalam arti “memberi pengaruh secara mandiri”!
5. Konsekuensi apakah yang muncul dari dua macam Tauhid yang terakhir?
6. Apakah ber-tawassul kepada para wali Allah menafikan Tauhid? Mengapa?
7. Apa hikmah di balik perintah Allah SWT untuk ber-tawassul?
[1] Kaum Urafa’ menggunakan istilah “Tauhid Tindakan” dengan pengertian ini.