Rabu, 13 Juli 2011

PASUKAN AKAL DAN PASUKAN KEJAHILAN



 Setiap hari bahkan setiap saat dua kubu pasukan ini melakukan peperangan. Perang inilah yang menyebabkan manusia menderita kesengsaan yang sebenarnya. Medan tempurnya adalah diri manusia. 
Akal memiliki 75 pasukan dan Kejahilan juga memiliki 75 pasukan. Jika pasukan akal kalah dalam pertempuran, maka ia akan menderita kesengsaraan di dunia dan akhirat. Jika pasukan akal menang, ia akan berbahagia di dunia dan akhirat. Perang inilah yang dinyatakan oleh Rasulullah saw sebagai perang yang paling besar.
Suma'ah bin Mahran berkata: Pada suatu hari aku pernah hadir di majlis Imam Ja'far Ash-Shadiq (sa). Di sana juga hadir murid-muridnya yang lain. Beliau membicarakan tentang Akal dan Kejahilan. Kemudian Imam Ja'far (sa) berkata: "Kenalilah akal dan pasukannya, serta kejahilan dan pasukannya, niscaya kalian akan mendapat petunjuk."
Sama'ah berkata: Jadikan diriku tebusanmu, kami tidak akan mengenalnya kecuali engkau memperkenalkannya pada kami.
Kemudian Imam Ja'far Ash-Shadiq (sa) berkata: "Sesungguhnya Allah Yang Maha Agung menciptakatan akal sebagai makhluk ruhaniah pertama. Saat itu akal berada di samping kanan Arasy, ia diciptakan dari cahaya-Nya. Kemudian Allah berfirman padanya: menghadaplah pada-Ku, ia pun menghadap pada-Nya. Lalu Allah berfirman: berpalinglah, ia pun berpaling. Selanjutnya Allah berfirman: Kuciptakan kamu sebagai makhluk yang agung, Aku muliakan kamu di atas semua makhluk-Ku.
Kemudian Allah menciptakan kejahilan dari laut yang diliputi kegelapan. Lalu Allah menyuruhnya berpaling, ia pun berpaling. Kemudian menyuruhnya menghadap, tapi ia tidak mau menghadap-Nya. Maka Allah berfirman padanya: Kamu sombong! Kemudian mengutuknya.
Selanjutnya Allah menciptakan 75 pasukan akal. Melihat hal itu dengan sifat dengki dan permusuhan kejahilan berkata: Tuhan, akal adalah makhluk-Mu sebagaimana aku juga makhluk-Mu: mengapa Engkau muliakan dia dengan kekuatan sementara aku sebagai lawannya tidak memilikinya? Berikan padaku kekuatan seperti dia. Maka Allah berfirman: Baiklah. Tapi, jika kamu dan pasukanmu bermaksiat pada-Ku, Aku akan keluarkan kalian dari rahmat-Ku. Kejahilan menjawab: Aku terima janji itu. Kemudian Allah menciptakan baginya 75 pasukan. Pasukan akal dan pasukan kejahilan sebagai berikut:
No
Pasukan Akal
Pasukan Kejahilan
1
Kebajikan (menteri akal)
Kejahatan (menteri kejahilan)
2
Keimanan
kekufuran
3
Harapan (raja')
Putus asa (qunuth)
4
Keadilan (‘adl)
Kezaliman (zhulm)
5
Ridha terhadap takdir (ridha)
Marah terhadap takdir (sukhth)
6
Rasa terima kasih (syukr)
Kufur nikmat (kufr)
7
Pasrah (tawakkal)
Ambisius (harsh)
8
Keperdulian (ra'fah)
Tak perduli (ghirrah)
9
Pengetahuan (‘ilm)
Kebodohan (jahl)
10
Kesucian, jaga diri (‘iffah)
Kecerobohan (tahattuk)
11
Zuhud (zuhd)
Cinta dunia (raghbah)
12
Sopan (rifq)
Kasar (kharq)
13
Waspada (rahbah)
Gegabah (jur'ah)
14
Rendah hati (tawadhu')
Sombong (takabbur)
15
Kalem (ta'uddah)
Tergesa-gesa (tasarru')
16
Menahan emosi (hilm)
Tak sopan, gemar memaki (safah)
17
Pendiam (shamt)
Banyak bicara, cerewet (hadzar)
18
Patuh pada Allah (istislam)
Bangga diri, sombong (istikbar)
19
Patuh pada pemimpin yang benar (taslim)
Arogan (tajabbur)
20
Pemaaf (‘afwu)
Kedengkian (hiqd)
21
Lembut hati (riqqah)
Keras hati (qaswah)
22
Keyakinan (yaqin)
Keraguan (syak)
23
Kesabaran (shabr)
Meronta (jaza')
24
Lapang dada (shafh)
Pendendam (intiqam)
25
Kaya hati (ghina)
Fakir hati (faqr)
26
Merenung (tafakkur)
Lalai (sahw)
27
Hafal (hifzh)
Lupa (nisyan)
28
Penyambung (ta'aththuf)
Pemutus (qathi'ah)
29
Rasa nerima (qana'ah)
Rakus (hirsh)
30
Persamaan (musawat)
nutup diri (man'u)
31
Cinta-kasih (mawaddah)
Permusuhan (‘adawah)
32
Memenuhi janji (wafa')
Tidak memenuhi janji (ghadar)
33
Ketaatan (tha'ah)
Kemaksiatan (ma'shiyah)
34
Rendah hati (khudu')
Arogansi (tathawwur)
35
Kedamaian (salamah)
Bencana (bala')
36
Cinta (hubb)
Marah (ghadhab)
37
Kejujuran (shidq)
Kebohongan (kidzb)
38
Kebenaran (haqq)
Kebatilan (bathil)
39
Amanat (amanah)
Khianat (khiyanah)
40
Ketulusan (ikhlash)
Kemusyrikan hati (syaub)
41
Cekatan (syahamah)
Lamban (baladah)
42
Kepandaian (fahm)
Ketololan (ghabawah)
43
Pengenalan (ma'rifah)
Penyangkalan (inkar)
44
Pengendalian, keteraturan (madarah)
Perdebatan kasar (mukhasyanah)
45
Menjaga keselamatan orang lain
Melakukan makar (mumakarah)
46
Menyimpan rahasia (kitman)
Menyebarkan rahasia (ifsya')
47
Menegakkan salat (shalah)
Penyia-nyiaan (idha'ah)
48
Berpuasa (shiyam)
Tidak puasa (ifthar)
49
Perjuangan (jihad)
Lari dari perjuangan (nukul)
50
Melaksanakan haji (hajj)
Melanggar perjanjian (nabdzul mitsaq)
51
Menjaga lisan
Mengadu-domba (namimah)
52
Berbakti pada orang tua (birrul walidayn)
Durhaka ('uquq)
53
Makruf (ma'ruf)
Mungkar (munkar)
54
Menutu aurat (satr)
Bersolek (tabarruj)
55
Menjaga diri (taqiyyah)
Mengubral pembicaraan (idza'ah)
56
Keseimbangan (inshaf)
Fanatik (hamiyyah)
57
Perkhidmatan (mihnah)
Kedurjanaan (baghyu)
58
Bersih (nazhafah)
Kotor (qadzir)
59
Malu (haya')
Bugil (khal'u)
60
Terarah (qashd)
Permusuhan ('udwan)
61
Rileks (rahah)
Kelelahan (ta'ab)
62
Kemudahan (suhulah)
Kesulitan (shu'ubah)
63
Keberkahan (barakah)
Kebinasaan (mahq)
64
Menjaga keseimbangan (qiwam)
Berlebihan (mukasarah)
65
Kebijaksanaan (hikmah)
Hawa nafsu (hawa)
66
Tangguh, kokoh terhadap beban (waqar)
Rapuh, lemah terhadap beban (khiffah)
67
bahagia (sa'adah)
Nestapa (syaqawah)
68
Taubat (tawbah)
Keras kepala (ishrar)
69
Memohon ampun (istighfar)
Terpedaya (ightirar)
70
Menjaga waktu ibadah (muhafazhah)
Mengakhirkan waktu ibadah (tahawun)
71
Berdoa (du'a)
Angkuh, sombong (istinkaf)
72
Rajin (nasysyath)
Malas (kasal)
73
Kebahagiaan (farh)
Kesedihan (huzn)
74
Persahabatan (ulfah)
Perpecahan (firqah)
75
Dermawan (sakha')
Kikir (bukhl)

DOA PENENTERAM HATI

Bismillâhir Rahmânir Rahîm
Allâhumma shalli ‘alâ Muhammadin wa âli Muhammad
Ilahî Qalbî mahjûb wa nafsî ma`yûb, wa `aqlî maghlûb wa hawâî ghâlib, wa thâ`athî qalîl wa ma`shiyatî katsîr, wa lisânî muqirrun/m bidz dzunûb, fakayfa hîlatî? Yâ Sattâral `uyûb wa yâ `Allâmal ghuyûb wa yâ Kâsyifal kurûb, Ighfir dzunûbî kullahâ bihurmati Muhammadin wa âli Muhammad, yâ Ghaffâru yâ Ghaffâru yâ Ghaffâr, birahmatika yâ Arhamar râhimîn.
Dengan asma AllahYang Maha Pengasih dan Maha Penyayang
Ya Allah, sampaikan shalawat kepada Rasulullah dan keluarganya
Ilahi, Tuhanku
Hatiku penuh hijab dan jiwaku penuh aib
Akalku terkalahkan dan hawa nafsuku mengalahkan
Ketaatanku sedikit dan maksiatku banyak
Sedangkan lisanku mengakui dosa-dosaku, bagaimana dengan dayaku?
Wahai Yang Maha Menutupi segala aib
Wahai Yang Maha Mengetahui segala yang ghaib
Wahai Yang Menghilangkan segala duka dan derita
Ampuni semua dosaku dengan kemuliaan Muhammad dan keluarga Muhammad
Ya Ghafar Ya Ghaffar Ya Ghaffar
dengan rahmat-Mu wahai Yang Maha Pengasih dari semua yang mengasihi

KEUTAMAAN BERSHALAWAT

Bershalawat kepada Rasulullah saw dan Ahlul baitnya (sa) memiliki banyak keutamaan bagi kita di dunia dan akhirat. Keutamaannya antara lainnya:

Pertama: 
Rasulullah saw bersabda:
 “Pada hari kiamat aku akan berada di dekat timbangan. Barangsiapa yang berat amal buruknya di atas amal baiknya, aku akan menutupnya dengan shalawat kepadaku sehingga amal baiknya lebih berat karena shalawat.” (Al-Bihar 7/304/72)

Kedua: 
Rasulullah saw bersabda:
“Barangsiapa yang bershalawat kepadaku tiga kali setiap hari dan tiga kali setiap malam, karena cinta dan rindu kepadaku, maka Allah azza wa jalla berhak mengampuni dosa-dosanya pada malam itu dan hari itu.” (Ad-Da’awat Ar-Rawandi: 89, bab 224, hadis ke 226)

Ketiga: 
Rasulullah saw bersabda:
“Barangsiapa yang bershalawat kepadaku ketika akan membaca Al-Qur’an, malaikat akan selalu memohonkan ampunan baginya selama namaku berada dalam kitab itu.”  (Al-Bihar 94/71/65)

Keempat: 
Rasulullah saw bersabda:
 “Pada suatu malam aku diperjalankan untuk mi’raj ke langit, lalu aku melihat malaikat yang mempunyai seribu tangan, dan setiap tangan mempunyai seribu jari-jemari. Malaikat itu menghitung dengan jari-jemarinya, lalu aku bertanya kepada Jibril: Siapakah malaikat itu dan apa yang sedang dihitungnya? Jibril menjawab: Dia adalah malaikat yang ditugaskan untuk menghitung setiap tetesan hujan, ia menghafal setiap tetesan hujan yang diturunkan dari langit ke bumi. 

Kemudian aku bertanya kepada malaikat itu: Apakah kamu mengetahui berapa tetesan hujan yang diturunkan dari langit ke bumi sejak Allah menciptakan dunia? 
Ia menjawab: Ya Rasulallah, demi Allah yang mengutusmu membawa kebenaran kepada makhluk-Nya, aku tidak hanya mengetahui setiap tetesan hujan yang turun dari langit ke bumi, tetapi aku juga mengetahui secara rinci berapa jumlah tetesan hujan yang jatuh di lautan, di daratan, di bangunan, di kebun, di tanah yang bergaram, dan yang jatuh di kuburan.

Kemudian Rasulullah saw bersabda: Aku kagum terhadap kemampuan hafalan dan ingatanmu dalam perhitungan itu.

Kemudian malaikat itu berkata: Ya Rasulallah, ada yang tak sanggup aku menghafal dan mengingatnya dengan perhitungan tangan dan jari-jemariku ini.
Rasulullah saw bertanya: Perhitungan apakah itu?
Ia menjawab: ketika suatu kaum dari ummatmu menghadiri suatu majlis, lalu namamu disebutkan di majlis itu, kemudian mereka bershalawat kepadamu. Pahala shalawat mereka itulah yang tak sanggup aku menghitungnya.” (Al-Mustadrah Syeikh An-Nuri, jilid 5: 355, hadis ke 72)

Kelima: 
Rasulullah saw bersabda:
“Sebagaimana orang bermimpi, aku juga pernah bermimpi pamanku Hamzah bin Abdullah dan saudaraku Ja’far Ath-Thayyar. Mereka memegang tempat makanan yang berisi buah pidara lalu mereka memakannya tak lama kemudian buah pidara itu berubah menjadi buah anggur, lalu mereka memakannya tak lama kemudian buah anggur itu berubah menjadi buah kurma yang masih segar. Saat mereka memakan buah kurma itu tak lama segera aku mendekati mereka dan bertanya kepada mereka: Demi ayahku jadi tebusan kalian, amal apa yang paling utama yang kalian dapatkan? Mereka menjawab: Demi ayahku dan ibuku jadi tebusanmu, kami mendapatkan amal yang paling utama adalah shalawat kepadamu, memberi minuman, dan cinta kepada Ali bin Abi Thalib (sa).” (Ad-Da’awat Ar-Rawandi, hlm 90, bab 224, hadis ke 227)

Keenam: 
Imam Muhammad Al-Baqir (sa) berkata:
“Tidak ada sesuatu amal pun yang lebih berat dalam timbangan daripada shalawat kepada Nabi dan keluarganya. Sungguh akan ada seseorang ketika amalnya diletakkan di timbangan amal, timbangan amalnya miring, kemudian Nabi saw mengeluarkan pahala shalawat untuknya dan meletakkan pada timbangannya, maka beruntunglah ia dengan shalawat itu.” (Al-Kafi, jilid 2, halaman 494)

Ketujuh: 
Imam Ja’far Ash-Shadiq (sa) berkata: 
 “Barangsiapa yang tidak sanggup menutupi dosa-dosanya, maka perbanyaklah bershalawat kepada Muhammad dan keluarganya, karena shalawat itu benar-benar dapat menghancurkan dosa-dosa.” (Al-Bihar 94/ 47/2, 94/63/52)

Kedelapan: 
Imam Ja’far Ash-Shadiq (sa) berkata:
 “Ketika nama Nabi saw disebutkan, maka perbanyaklah bershalawat kepadanya, karena orang yang membaca shalawat kepada Nabi saw satu kali, seribu barisan malaikat bershalawat padanya seribu kali, dan belum ada sesuatupun yang kekal dari ciptaan Allah kecuali shalawat kepada hamba-Nya karena shalawat Allah dan shalawat para malaikat-Nya kepadanya. Orang yang tidak mencintai shalawat, ia adalah orang jahil dan tertipudaya, sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya serta Ahlul baitnya berlepas diri darinya.” (Al-Kafi 2: 492)

Syeikh Abbas Al-Qumi mengatakan bahwa Syeikh Shaduq (ra) meriwayatkan dalam kitabnya Ma’anil Akhbar: Imam Ja’far Ash-Shadiq (sa) menjelaskan tentang makna firman Allah saw, “Sesungguhnya Allah dan malaikat-Nya bershalawat kepada Nabi…: Shalawat dari Allah azza wa jalla adalah rahmat, shalawat dari malaikat adalah pensucian, dan shalawat dari manusia adalah doa.” (Ma’anil akhbar: 368)

Dalam kitab yang sama diriwayatkan bahwa perawi hadis ini bertanya: Bagaimana cara kami bershalawat kepada Muhammad dan keluarganya? Beliau menjawab:

صلوات الله وصلوات ملائكته وانبيائه ورسله وجميع خلقه على محمّد وآل محمّد والسلام عليه وعليهم ورحمه الله وبركاته
 “Semoga shalawat Allah, para malaikat-Nya, para nabi-Nya, para rasul-Nya dan seluruh makhluk-Nya senantiasa tercurahkan kepada Muhammad dan keluarga Muhammad, dan semoga keselamatan, rahmat dan keberkahan Allah senantiasa tercurahkan kepadanya dan kepada mereka.”

Aku bertanya: Apa pahala bagi orang yang bershalawat kepada Nabi dan keluarganya dengan shalawat ini? Beliau menjawab: “Ia akan keluar dari dosa-dosanya seperti keadaan bayi yang baru lahir dari ibunya.” (Ma’anil akhbar: 368)

Kesembilan: 
Syeikh Al-Kulaini meriwayatkan di akhir shalawat yang dibaca setiap waktu Ashar pada hari Jum’at:
اللّهمّ صلّ على محمّد وآل محمّد الاوصياء المرضيين بأفضل صلواتك وبارك عليهم بأفضل بركاتك والسلام عليه وعليهم ورحمة الله وبركاته
 “Ya Allah, sampaikan shalawat kepada Muhammad dan keluarga Muhammad, para washi yang diridhai, dengan shalawat-Mu yang paling utama, berkahi mereka dengan keberkahan-Mu yang paling utama, dan semoga salam dan rahmat serta keberkahan Allah senantiasa tercurahkan kepadanya dan kepada mereka.”

Orang yang membaca shalawat ini tujuh kali, Allah akan membalas baginya setiap hamba satu kebaikan, amalnya pada hari itu akan diterima, dan ia akan datang pada hari kiamat dalam keadaan bercahaya di antara kedua matanya. (Al-Furu’ Al-Kafi 3: 429)

Kesepuluh: 
Dalam suatu hadis disebutkan: “Barangsiapa yang membaca shalawat berikut ini sesudah shalat Fajar dan sesudah shalat Zuhur, ia tidak akan mati sebelum berjumpa dengan Al-Qaim (Imam Mahdi) dari keluarga Nabi saw:

 اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَآلِ مُحَمَّدٍ وَعَجِّلْ فَرَجَهُمْ
Ya Allah, sampaikan shalawat kepada Muhammad dan keluarga Muhammad, dan percepatlah kemenangan mereka

Perintah Bershalawat kepada Nabi saw dan Keluarganya


Allah swt berfirman:

إِنَّ اللَّهَ وَ مَلَئكتَهُ يُصلُّونَ عَلى النَّبىّ‏ِ يَأَيهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا صلُّوا عَلَيْهِ وَ سلِّمُوا تَسلِيماً

“Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya bershalawat kepada Nabi; wahai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu kepadanya dan ucapkan salam kepadanya.” (Al-Ahzab/33: 56)
Ulama dari kalangan mazhab Ahlul bait (sa) sepakat bahwa ayat ini diturunkan untuk menegaskan hak Rasulullah saw dan Ahlul baitnya (sa), yaitu perintah bershalawat kepada mereka dan cara bershalawat. Ulama Ahlussunnah juga sepakat kecuali hanya beberapa penulis.
Cara bershalawat
Dalam shahih Bukhari, kitab doa, bab bershalawat kepada Nabi saw:
Abdurrahman bin Abi Layli berkata: Ka’b bin Ujrah menemui aku lalu berkata: Tidakkah kamu diberi hadiah? Nabi saw datang kepada kami, lalu kami berkata: Ya Rasulallah, engkau telah mengajari kami cara mengucapkan salam kepadamu, lalu bagaimana cara bershalawat kepadamu? Beliau menjawab: Kalian ucapkan:

اللهمّ صلِّ على محمّد وعلى آل محمّد، كما صلّيت على آل إبراهيم إنك حميد مجيد، اللّهمّ بارك على محمّد وعلى آل محمّد، كما باركت على إبراهيم إنك حميد مجيد

Ya Allah, sampaikan shalawat kepada Muhammad dan keluarga Muhammad sebagaimana Kau sampaikan shalawat kepada keluarga Ibrahim, sesungguhnya Engkau Maha Terpuji dan Maha Mulia. Ya Allah, berkahi Muhammad dan keluarga Muhammad sebagaimana Engkau berkahi Ibrahim, sesungguhnya Engkau Maha Terpuji dan Maha Mulia.
Dalam Shihih Bukhari, kitab tafsir, bab ayat ini:
Abu Said Al-Khudri berkata, kami berkata: Ya Rasulallah, ini adalah cara mengucapkan salam kepadamu, lalu bagaimana cara bershalawat kepadamu? Beliau menjawab: kalian ucapkan:

اللّهمّ صلّ على محمّد عبدك ورسولك كما صلّيت على آل إبراهيم، وبارك على محمّد وعلى آل محمّد كما باركت على إبراهيم

Ya Allah, sampaikan shalawat kepada Muhammad hamba-Mu dan Rasul-Mu sebagaimana Engkau sampaikan shalawat kepada keluarga Ibrahim, dan berkahi Muhammad dan keluarga Muhammad sebagaimana Engkau berkahi Ibrahim.
Shahih Muslim, kitab shalawat kepada Nabi saw sesudah tasyahhud:
Abu Mas’ud Al-Anshari berkata: Rasulullah saw pernah mendatangi kami ketika kami berada di majlis Sa’d bin Ubadah. Kemudian Basyir bin Sa’d berkata kepadanya: Allah Azza wa Jalla memerintahkan pada kami agar bershalawat kepadamu ya Rasulallah, lalu bagaimana cara kami bershalawat kepadamu? Lalu beliau diam sepertinya beliau menghendaki kami tidak bertanya tentang hal itu. Kemudian beliau bersabda: Kalian ucapkan:

اللّهم صلّ على محمّد وعلى آل محمّد كما صليت على آل إبراهم، وبارك على محمّد وعلى آل محمّد كما باركت على آل إبراهيم في العالمين إنك حميدٌ مجيد

Ya Allah, sampaikan shalawat kepada Muhammad dan keluarga Muhammad sebagaimana Kau sampaikan shalawat kepada keluarga Ibrahim, dan berkahi Muhammad dan keluarga Muhammad sebagaimana Engkau berkahi keluarga Ibrahim di alam semesta, sesungguhnya Engkau Maha Terpuji dan Maha Mulia.
Sunan An-Nasa’i 1/190, bab 52, hadis ke 1289:
Musa bin Thalhah dari ayahnya, ia berkata: kami berkata, ya Rasulallah, bagaimana cara bershalawat kepadamu? Beliau menjawab: Kalian ucapkan:

اللّهمّ صلِّ على محمّد وعلى آل محمّد كما صلّيت على إبراهيم وآل إبراهيم إنك حميد مجيد ، وبارك على محمّد وعلى آل محمّد كما باركت على إبراهيم وآل إبراهيم إنك حميد مجيد

Ya Allah, sampaikan shalawat kepada Muhammad dan keluarga Muhammad sebagaimana Kau sampaikan shalawat kepada Ibrahim dan keluarga Ibrahim, sesungguhnya Engkau Maha Terpuji dan Maha Mulia; berkahi Muhammad dan keluarga Muhammad sebagaimana Engkau berkahi Ibrahim dan keluarga Ibrahim, sesungguhnya Engkau Maha Terpuji dan Maha Mulia.
Sunan An-Nasa’i 1: 190, bab 52, hadis ke 1291:
Musa bin Thalhah berkata, aku bertanya kepada Zaid bin Kharijah, ia berkata, aku pernah bertanya kepada Rasulullah saw. Kemudian beliau bersabda: Bershalawatlah kalian kepadaku dan bersungguh-sungguhlah kalian dalam berdoa, dan kalian ucapkan:

اللّهم صلِّ على محمّد وعلى آل محمّد

Ya Allah, sampaikan shalawat kepada Muhammad dan keluarga Muhammad.
Shahih Ibnu Majah 65, kitab shalat, bab shalawat kepada Nabi saw, hadis ke 906:
Abdullah bin Mas’ud berkata: Jika kalian bershalawat kepada Rasulullah saw, hendaknya kalian memperbaiki shalawat kepadanya, karena kalian tidak tahu kalau shalawat itu hukumnya wajib. Lalu dikatakan kepadanya: ajarkan kepada kami (tentang cara bershalawat). Ia berkata: kalian ucapkan:

اللهم اجعل صلاتك ورحمتك وبركاتك على سيد المرسلين. اللّهم صلّ على محمّد وعلى آل محمّد كما صلّيت على إبراهيم وعلى آل إبراهيم إنك حميد مجيد ، اللهم بارك على محمّد وعلى آل محمّد كما باركت على إبراهيم وعلى آل إبراهيم إنك حميد مجيد

Ya Allah, curahkan shalawat-Mu, rahmat-Mu dan keberkahan-Mu kepada penghulu para Rasul. Ya Allah, sampaikan shalawat kepada Muhammad dan keluarga Muhammad sebagaimana Kau sampaikan shalawat kepada Ibrahim dan keluarga Ibrahim, sesungguhnya Engkau Maha Terpuji dan Maha Mulia. Ya Allah, berkahi Muhammad dan keluarga Muhammad sebagaimana Engkau berkahi Ibrahim dan keluarga Ibrahim, sesungguhnya Engkau Maha Terpuji dan Maha Mulia.
Fathul Bari 13: 441, kitab doa, bab 32, hadis ke 6358:
Abu Hurairah berkata bahwa Rasulullah saw bersabda: Barangsiapa yang shalawat ini, pada hari kiamat aku akan menjadi saksi baginya dan memberi syafaat padanya:

اللهم صل على محمّد وعلى آل محمّد كما صليت على إبراهيم وعلى آل إبراهيم ، وبارك على محمّد وعلى آل محمّد كما باركت على إبراهيم وعلى آل إبراهيم ، وترحم على محمّد وعلى آل محمّد كما ترحمت على إبراهيم وعلى آل إبراهيم

Ya Allah, sampaikan shalawat kepada Muhammad dan keluarga Muhammad sebagaimana Kau sampaikan shalawat kepada Ibrahim dan keluarga Ibrahim, berkahi Muhammad dan keluarga Muhammad sebagaimana Engkau berkahi Ibrahim dan keluarga Ibrahim, sayangi Muhammad dan keluarga Muhammad sebagaimana Engkau sayangi Ibrahim dan keluarga Ibrahim.
Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i meriwayatkan dalam Musnadnya:
Abu Hurairah bertanya kepada Rasulullah saw: Wahai Rasulullah, bagaimana cara kami bershalawat kepadamu? Nabi saw menjawab: kalian ucapkan:

اللّهم صل على محمد وآل محمد كما صليت على ابراهيم وبارك على محمد وآل محمد كما باركت على ابراهيم وآل ابراهيم، ثم تسلمون علي

Ya Allah, sampaikan shalawat kepada Muhammad dan keluarga Muhammad sebagaimana Kau sampaikan shalawat kepada Ibrahim dan keluarga Ibrahim, dan berkahi Muhammad dan keluarga Muhammad sebagaimana Kau berkahi Ibrahim dan keluarga Ibrahim; kemudian ucapkan salam kepadaku. (Musnad, jilid 2, halaman 97).
Ash-Sha’iqul Muhriqah, hlm 144:
Ibnu Hajar meriwayatkan bahwa Ka’b bin Ujrah berkata: ketika ayat ini turun kami bertanya kepada Rasulullah saw: Ya Rasulallah, kami telah mengetahui cara mengucapkan salam kepadamu, tapi bagaimana cara bershalawat kepadamu. Nabi saw menjawab: kalian ucapkan:

اللّهم صل على محمد وآل محمد

Ya Allah, sampaikan shalawat kepada Muhammad dan keluarga Muhammad. Kemudian beliau bersabda: Janganlah kalian bershalawat kepadaku dengan shalawat yang batra’ (puntung). Lalu para sahabat bertanya: Apa shalawat yang batra’ itu. Beliau menjawab: Kalian hanya mengucapkan:

اللّهم صل على محمد

Ya Allah, sampaikan shalawat kepada Muhammad. Tetapi, hendaknya kalian mengucapkan:

اللّهم صل على محمد وآل محمد

Ya Allah, sampaikan shalawat kepada Muhammad dan keluarga Muhammad.
Dalam tafsirnya Al-Qurthubi menyebutkan beberapa riwayat bahwa ayat ini adalah keharusan menyertakan Ahlul bait ketika bershalawat kepada Nabi saw. (Al-Jami’ li-Ahkamil Qur’an 14: 233 dan 234).
Ibnul Arabi Al-Andalusi Al-Maliki juga menyebutkan beberapa riwayat bahwa ayat ini diturunkan untuk menegaskan hak Nabi saw dan keluarganya yang suci (sa). (Ahkamul Qur’an 2: 84).
Jabir (ra) berkata: Sekiranya kamu melakukan shalat dan tidak bershalawat kepada Muhammad dan keluarga Muhammad, maka aku tidak melihat shalatnya diterima. (Dzakhairul Uqba:19).
Al-Qadhi ‘Iyadh meriwayatkan dalam Asy-Syifa’, dari Ibnu Mas’ud bahwa Nabi saw bersabda: “Barangsiapa yang melakukan shalat dan dalam shalatnya tidak membaca shalawat kepadaku dan Ahlul baitku, maka shalatnya tidak diterima.” (Al-Ghadir 2: 303).
Ibnu Hajar mengatakatan: Ad-Daruquthni dan Al-Baihaqi meriwayatkan bahwa Nabi saw bersabda: “Barangsiapa yang melakukan shalat dan dalam shalatnya tidak membaca shalawat kepadaku dan Ahlul baitku, maka shalatnya tidak diterima.” (Ash-Shawaiqul Muhriqah: 139).
Ar-Razi mengatakan: Doa untuk keluarga Nabi saw menunjukkan keagungan kedudukan mereka, karena doa ini ditempatkan di akhir Tasyahhud dalam shalat, yaitu: Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa âli Muhammad, warham Muhammadan wa âla Muhammad (Ya Allah, sampaikan shalawat kepada Muhammad dan keluarga Muhammad, dan sayangi Muhammad dan keluarga Muhammad). Pengagungan ini tidak akan didapatkan pada selain keluarga Muhammad. Hal ini menunjukkan bahwa mencintai keluarga Muhammad adalah wajib. Keagungan kedudukan Ahlul bait Nabi saw terdapat dalam lima hal: Tasyahhud dalam shalat, salam, kesucian, diharamkannya sedekah bagi mereka, dan kewajiban mencintai mereka. (Tafsir Ar-Razi 7: 391).
Hadis-hadis tersebut dan yang semakna juga terdapat dalam:
1. Shahih Bukhari, jilid 6, halaman 12.
2. Asbabun Nuzul, Al-Wahidi, halaman 271.
3. Ma’alim At-Tanzil, Al-Baghawi, catatan pinggir Tafsir Al-Khazin, jilid 5, halaman 225.
4. Mustadrak Al-Hakim, jilid 3, halaman 148.
5. Tafsir Fakhrur Razi, jilid 25, halaman 226.
6. Al-Hafizh Abu Na’im Al-Isfahani, Akhbar Isfahan, jilid 1, halaman 131.
7. Al-Hafizh Abu Bakar Al-Khathib, Tarikh Baghdad, jilid 6, halaman 216.
8. Ibnu Abd Al-Birr Al-Andalusi, Tajrid At-Tamhid, halaman 185.
9. Tafsir Ruh Al-Ma’ani, Al-Alusi, jilid 22, halaman 32.
10. Dzakhairul Uqba, Muhibuddin Ath-Thabari, halaman 19.
11. Riyadhush Shalihin, An-Nawawi, halaman 455.
12. Tafsir Ibnu Katsir, jilid 3, halaman 506.
13. Tafsir Ath-Thabari, jilid 22, halaman 27.
14. Tafsir Al-Khazin, jilid 5, halaman 226.
15. Ad-Durrul Mantsur, As-Suyuthi, jilid 5, halaman 215.
16. Fathul Qadir, Asy-Syaukani, jilid 4, halaman 293.
Shalat tidak akan diterima tanpa shalawat
Sunan Al-Baihaqi 2: 379, kitab shalat, bab 471, hadis 3968:
Abu Mas’ud berkata: Sekiranya aku melakukan shalat tanpa bershalawat kepada Muhammad dan keluarga Muhammad, niscaya aku memandang shalatku tidak sempurna.
Dalam Sunan Ad-Daruquthni 136, kitab shalat, bab kewajiban shalawat dalam tasyahhud, hadis ke 6:
Ibnu Mas’ud berkata bahwa Rasululah saw bersabda:

من صلى صلاة لم يصل فيها عليّ ولا على أهل بيتي لم تقبل منه

“Barangsiapa yang melakukan shalat, dan di dalamnya tidak bershalawat kepada ku dan Ahlul baitku, maka shalatnya tidak diterima.”
Dalam Dzakhair Al-‘Uqba 19, bab Fadhail Ahlul bait (sa):
Jabir berkata: Sekiranya aku melakukan shalat, dan di dalamnya aku tidak bershalawat kepada Muhammad dan keluarga Muhammad, niscaya aku memandang shalatku tidak diterima.
Dalam Syarah Al-Mawahib halaman 7:
Imam Syafi’i berkata:

يا آل بيت رسول الله حبكم فرض من الله في القرآن أنزله

كفا كم من عظيم القدر انكم من لم يصل عليكم لا صلاة له

Wahai Ahlul bait Rasulullah,
mencintaimu diwajibkan oleh Allah dalam Al-Qur’an yang diturunkan
Cukuplah keagungan kedudukanmu
orang yang tidak bershalawat kepadamu (dalam shalatnya)
shalatnya tidak sah.
Perkataan Imam Syafi’i tersebut juga terdapat dalam:
1. Musnad Ahmad, jilid 6 halaman 323.
2. Ash-Shawaiqul Muhriqah, Ibnu hajar, halaman 88.
3. Tafsir Nur Ats-Tsaqalayn Al-Abshar, Asy-Syablanji, halaman 104, bab 2 manaqib Al-Hasan dan Al-Husayn.
Doa tidak akan diijabah tanpa shalawat
Dalam Kanzul Ummal 1: 173, pasal 2 Adab Doa:
Tidak ada suatupun doa kecuali ada hijab (penghalang) antara doa itu dan Allah sehingga dibacakan shalawat. Ketika shalawat dibacakan, maka robeklah hijab itu dan sampailah doa itu kepada Allah swt. Dan jika tidak dibacakan shalawat, maka kembalilah doa itu.
Pernyataan ini diriwayatkan oleh Ad-daylami dari Ali bin Abi Thalib (sa).
Dalam Ash-Shawaiq Al-Muhriqah haaman 88:
Ad-Daylami meriwayatkan bahwa Rasulullah saw bersabda:

الدعاء محجوب حتى يُصلّى على محمّد وأهل بيته ، اللّهم صلِّ على محمّد وآله

“Doa itu akan terhijabi sehingga dibacakan shalawat kepada Muhammad dan Ahlul baitnya, yaitu: Sampaikan shalawat kepada Muhammad dan keluarganya.”
Dalam Faydh Al-Qadhir 5: 19, hadis ke 6303:
Ali bin Abi Thalib (sa) berkata:

كل دعاء محجوب حتى يُصلّى على محمّد وآل محمّد

“Semua doa akan terhalangi sehingga dibacakan shalawat kepada Muhammad dan keluarga Muhammad.”
Al-Haitsami mengatakan: Tokoh-tokoh hadis tersebut dapat dipercaya.
Al-Muttaqi Al-Hindi juga menyebutkan dalam kitabnya Kanzul Ummal 1/314, mengutip dari Ubaidillah bin Abi Hafsh Al-‘Aysyi. Abdul Qadir Ar-Rahawi menyebutkan dalam Al-Arbain, Ath-Thabrani dalam Al-Kabir, Al-Baihaqi dalam Syu’b Al-Iman.
Dalam Faydh Al-Qadir 3: 543:
Abu Syaikh meriwayatkan Ali bin Abi Thalib (sa):

الدعاء محجوب عن الله حتى يصلّى على محمّد وأهل بيته

“Doa itu akan terhijabi dari Allah sehingga dibacakan shalawat kepada Muhammad dan Ahlul baitnya.”
Hadis ini juga diriwayatkan Al-Baihaqi dari Asy-Sya’b, At-Tirmidzi dari Ibnu Umar.
Dalam Kanzul Ummal 1: 181:
Rasulullah saw bersabda kepada Ali bin Abi Thalib (sa): Jika disedihkan oleh suatu persoalan, maka bacalah:

اللّهم احرسني بعينك التي لا تنام، واكنفني بكنفك الذي لا يرام. أسألك أن تُصلّي على محمّد وعلى آل محمّد، وبك أدرأ في نحور الأعداء والجبابرة

“Ya Allah, jagalah daku dengan mata-Mu yang tak pernah tidur, dan jagalah daku dengan benteng-Mu yang tak pernah hancur. Aku bermohon pada-Mu sampaikan shalawat kepada Muhammad dan keluarga Muhammad, dengan-Mu aku berlindung dari permusuhan musuh-musuhku dan orang-orang yang sombong.”
Ali, Fatimah, Hasan dan Husein (sa) adalah keluarga Nabi saw
Dalam Musnad Ahmad 6: 324, hadis ke 26206:
Ummu Salam berkata bahwa Rasulullah saw bersabda kepada Fatimah (sa): “Bawalah kepadaku suamimu dan kedua anakmu.” Kemudian Fatimah (sa) bersama mereka datang kepada Nabi saw. Lalu beliau memayungi mereka dengan kain kisa’ dan meletakkan tangannya pada mereka, lalu bersabda:

اللّهم إن هؤلاء آل محمّد ، فاجعل صلواتك وبركاتك على محمّد وعلى آل محمّد إنّك حميد مجيد

“Ya Allah, sesungguhnya mereka adalah keluarga Muhammad, curahkan shalawat-Mu dan keberkahan-Mu kepada Muhammad dan keluarga Muhammad sesungguhnya Engkau Maha Terpuji dan Maha Mulia.”
Ummu Salamah berkata: Kemudian aku mengangkat kain kisa’ itu untuk berkumpul bersama mereka, kemudian Nabi saw menarik kain kisa’ itu (melarang masuk ke dalam kain kisa’) dan bersabda: “Engkau adalah orang yang baik.”
Dalam Mustadrak Al-Hakim 3: 147, kitab ma’rifah Shahabah:
Abdullah bin Ja’far bin Abi Thalib berkata: Ketika Rasulullah saw melihat rahmat Allah turun, beliau bersabda: “Datangkan padaku, datangkan padaku.” Shafiyah bertanya: Siapa yang Rasulallah? Beliau menjawab: “Ahlul baitku, yaitu Ali, Fatimah, Al-Hasan dan Al-Husayn.” Lalu mereka datang kepada Nabi saw, kemudian beliau memayungi mereka dengan kain kisa’, kemudian berdoa dengan mengangkat tangannya:

اللّهمّ هؤلاء آلي ، فصلِّ على محمّد وعلى آل محمّد

“Ya Allah, mereka adalah keluargaku, curahkan shalawat kepada Muhammad dan keluarga Muhammad.” Kemudian Allah Azza wa jalla menurunkan surat Al-Ahzab: 33.
Al-Hakim mengatakan hadis ini shahih menurut persyaratan Bukhari dan Muslim.
Hadis ini dan yang semakna juga terdapat dalam:
1. Kanzul Ummal, Al-Muttaqi Al-Hindi, jilid 7 halaman 103, bab Fadhail Ahlul bait, hadis ke 37629.
2. Musykil Al-Atsar, Ath-Thahawi, jilid 1 halaman 334.
3. Tafsir Ad-Durrul Mantsur, tentang surat Al-Ahzab: 33.
4. Musnad Ahmad, jilid 6 halaman 296.
5. Majma’ Az-Zawaid, Al-Haitsami, jilid 9 halaman 167, bab keutamaan Ahlul bait (sa).
Larangan shalawat batra’ (terputus)
Shalawat ba’tra’ adalah shalawat yang tidak menyertakan keluarga Nabi saw dalam bershalawat kepadanya.
Dalam Ash-Shawaiq Al-Muhriqah 87, bab 11:
Ibnu Hajar berkata bahwa Nabi saw bersabda: “Janganlah kalian bershalawat kepadaku dengan shalawat batra’.” Kemudian sahabat bertanya: Apakah shalawat batra’ itu? Nabi saw menjawab: Kalian hanya mengucapkan:

اللّهم صلِّ على محمّد

Ya Allah, sampaikan shalawat kepada Muhammad. Tetapi hendaknya kalian mengucapkan:

اللّهم صلّ على محمّد وعلى آل محمّد

Ya Allah, sampaikan shalawat kepada Muhammad dan keluarga Muhammad.
Disini terdapat hal yang mengherankan: Mengapa umumnya ummat Islam bershalawat kepada Nabi saw dengan shalawat batra’ yaitu Shallallahu ‘alayhi wa sallam (semoga Allah mencurahkan shalawat dan salam kepada Muhammad). Padahal para ulama dan para imam ahli hadis dari Ahlussunnah telah meriwayatkan hadis-hadis bahwa doa itu tidak diijabah tanpa bershalawat kepada Muhammad dan keluarga Muhammad, shalat tidak diterima tanpa bershalawat kepada Muhammad dan keluarga Muhammad, cara bershalawat kepada Muhammad dan keluarga Muhammad, dan hadis-hadis bahwa Nabi saw melarang bershalawat dengan shalawat batra’ (yang terputus).

Jumat, 08 Juli 2011

Gugat Cerai (Khulu')

BAB I
PENDAHULUAN

Sakinah, mawaddah dan kasih sayang adalah asas dan tujuan disyariatkannya pernikahan dan pembentukan rumah tangga. Dijelaskan dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.
“Dan di antara tanda-tanda kekuasan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir” [Ar-Rum : 21]
Namun kenyataannya banyak terjadi dalam kehidupan berkeluarga timbul masalah-masalah yang mendorong seorang isteri melakukan gugatan cerai (Khulu) dengan segala alasan. Fenomena ini banyak terjadi dalam media massa, sehingga diketahui khalayak ramai. Yang pantas disayangkan, mereka tidak segan-segan membuka rahasia rumah tangga, hanya sekedar untuk bisa memenangkan gugatan,. Padahal, semestinya persoalan gugatan cerai ini harus dikembalikan kepada agama, dan menimbangnya dengan Islam karna dengan demikianlah, kita semua dapat ber-Islam dengan kaffah (sempurna dan menyeluruh). Oleh karena itu, kami selaku mahasiswa fakultas syari’ah dan Hukum akan sedidikit memaparkan mengenai permasalahan-permasalahan tentang khulu’, sebab-sebab seseorang melakukan khuluk dan sebagainya.


BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Khulu’
Menurut bahasa, kata khulu’ berasal dari khala’ ats-tsauba idzaa azzalaba yang artinya melepaskan pakaian; karena isteri adalah pakaian suami dan suami adalah pakaian isteri. Allah SWT berfirman, ”Mereka itu adalah pakaian bagimu dan kamu pun pakaian bagi mereka.” (Al-Baqarah:187). Para pakar fiqih memberi definisi bahwa khulu’ adalah seorang suami menceraikan isterinya dengan imbalan mengambil sesuatu darinya. Dan khulu’ disebut juga fidyah atau if tidak (tebusan) karena istri menebus dirinya dari suaminya dengan mengembalikan apa yang diterimanya.
Sedangkan menurut pengertian syari’at, para ulama mengatakan dalam banyak defenisi, yang semuanya kembali kepada pengertian, bahwasanya Al-Khulu ialah terjadinya perpisahan (perceraian) antara sepasang suami-isteri dengan keridhaan dari keduanya dan dengan pembayaran diserahkan isteri kepada suaminya . Adapaun Syaikh Al-Bassam berpendapat, Al-Khulu ialah perceraian suami-isteri dengan pembayaran yang diambil suami dari isterinya, atau selainnya dengan lafazh yang khusus. Dengan demikian khulu’ menurut istilah syara’ adalah perceraian yang diminta oleh istri dari suaminya dengan memberikan ganti sebagai tebusannya.

Di antara dalil adanya Khulu' adalah dalil-dalil berikut ini:
عن ابن عباس أن امرأة ثابت بن قيس أتت النبي صلى الله عليه وسلم فقالت: يا رسول الله, ثابت بن قيس ما أعيب عليه فى خلق ولا دين, ولكنى أكره الكفر فى الإسلام, فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم: ((أتردين عليه حديقه)), فقالت: نعم, فرددت عليه فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم: ((اقبل الحديقة وطلقها تطليقة)) [رواه البخارى]
Artinya: "Dari Ibnu Abbas, bahwasannya isteri Tsabit bin Qais datang kepada Nabi saw sambil berkata: "Ya Rasulullah, Saya tidak mendapati kekurangan dari Tsabit bin Qais, baik akhlak maupun agamanya. Hanya saja, saya takut saya sering kufur (maksudnya kufur, tidak melaksanakan kewajiban kepada suami dengan baik) dalam Islam. Rasulullah saw lalu bersabda: "Apakah kamu siap mengembalikan kebunnya?" Wanita itu menjawab: "Ya, sanggup. Saya akan mengembalikan kebun itu kepadanya". Rasulullah saw lalu bersabda (kepada Tsabit): "Terimalah kebunnya itu dan ceraikan dia satu kali cerai". (HR. Bukhari).
B Hukum Khulu'
Para ulama Fiqh mengatakan bahwa Khulu' itu mempunyai tiga hukum tergantung kondisi dan situasinya. Ketiga hukum dimaksud adalah:
1. Mubah.
Isteri boleh-boleh saja untuk mengajukan Khulu' manakala ia merasa tidak nyaman apabila tetap hidup bersama suaminya, baik karena sifat-sifat buruk suaminya, atau dikhawatirkan tidak memberikan hak-haknya kembali atau karena ia takut ketaatan kepada suaminya tidak menyebabkan berdiri dan terjaganya ketentuan-ketentuan Allah. Dalam kondisi seperti ini, Khulu' bagi si isteri boleh dan sah-sah saja, sebagaimana firman Allah:
فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا فِيمَا افْتَدَتْ بِهِ (البقرة: 229)
Artinya: "Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami istri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh istri untuk menebus dirinya" (QS. Al-Baqarah: 229).
Demikian juga berdasarkan hadits berikut ini:
عن ابن عباس أن امرأة ثابت بن قيس أتت النبي صلى الله عليه وسلم فقالت: يا رسول الله, ثابت بن قيس ما أعيب عليه فى خلق ولا دين, ولكنى أكره الكفر فى الإسلام, فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم: ((أتردين عليه حديقه)), فقالت: نعم, فرددت عليه فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم: ((اقبل الحديقة وطلقها تطليقة)) [رواه البخارى]
Artinya: "Dari Ibnu Abbas, bahwasannya isteri Tsabit bin Qais datang kepada Nabi saw sambil berkata: "Ya Rasulullah, Saya tidak mendapati kekurangan dari Tsabit bin Qais, baik akhlak maupun agamanya. Hanya saja, saya takut saya sering kufur (maksudnya kufur, tidak melaksanakan kewajiban kepada suami dengan baik) dalam Islam. Rasulullah saw lalu bersabda: "Apakah kamu siap mengembalikan kebunnya?" Wanita itu menjawab: "Ya, sanggup. Saya akan mengembalikan kebun itu kepadanya". Rasulullah saw lalu bersabda (kepada Tsabit): "Terimalah kebunnya itu dan ceraikan dia satu kali cerai". (HR. Bukhari).
2. Haram.
Khulu'' bisa haram hukumnya apabila dilakukan dalam dua kondisi berikut ini:
1) Apabila si isteri meminta Khulu' kepada suaminya tanpa ada alasan dan sebab yang jelas, padahal urusan rumah tangganya baik-baik saja, tidak ada alasan yang dapat dijadikan dasar oleh isteri untuk mengajukan Khulu'. Hal ini didasarkan kepada firman Allah berikut ini:
وَلَا يَحِلُّ لَكُمْ أَنْ تَأْخُذُوا مِمَّا ءَاتَيْتُمُوهُنَّ شَيْئًا إِلَّا أَنْ يَخَافَا أَلَّا يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا فِيمَا افْتَدَتْ بِهِ (البقرة: 229).
Artinya: " Tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami istri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh istri untuk menebus dirinya" (QS. Al-Baqarah: 229).
عن ثوبان قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: ((أيما امرأة سألت زوجها طلاقا فى غير ما بأس, فحرام عليها رائحة الجنة)) [رواه أبو داود وابن ماجه وأحمد]
Artinya: "Tsauban berkata, Rasulullah saw bersabda: "Wanita yang mana saja yang meminta cerai kepada suaminya tanpa alasan yang jelas, maka haram baginya untuk mencium wangi surta" (HR. Abu Dawud, Ibn Majah dan Ahmad).
2) Apabila si suami sengaja menyakiti dan tidak memberikan hak-hak si isteri dengan maksud agar si isteri mengajukan Khulu', maka hal ini juga haram hukumnya. Apabila Khulu' terjadi, si suami tidak berhak mendapatkan dan mengambil 'iwadh, uang gantinya karena maksudnya saja sudah salah dan berdosa. Dalam hal ini Allah berfirman:
وَلَا تَعْضُلُوهُنَّ لِتَذْهَبُوا بِبَعْضِ مَا ءَاتَيْتُمُوهُنَّ إِلَّا أَنْ يَأْتِينَ بِفَاحِشَةٍ مُبَيِّنَةٍ (النساء: 19).
Artinya: "Dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata" (QS. An-Nisa: 19).
Namun, apabila si suami berbuat seperti di atas lantaran si isteri berbuat zina misalnya, maka apa yang dilakukan si suami boleh-boleh saja dan ia berhak mengambil 'iwadh tersebut.
3. Sunnah.
Khulu' juga bisa sunnah hukumnya apabila, menurut Hanabilah, si suami tidak melaksanakan hak-hak Allah, misalnya si suami sudah tidak pernah melaksanakan shalat wajib, puasa Ramadhan atau yang lainnya, atau apabila si suami melakukan dosa besar, seperti berzina, nyandu dengan obat-obat terlarang dan lainnya. Sebagian ulama lainnya menilai bahwa untuk kondisi seperti ini, Khulu' bukan lagi sunnah, akan tetapi wajib hukumnya.
C. Rukun Khulu'
Khulu' dapat dipandang sah dan jatuh, apabila memenuhi persyaratan rukun-rukunnya. Yang termasuk rukun Khulu' ada empat, yaitu suami (al-mukhala', yang diKhulu'), isteri (al-mukhtali'ah, yang mengKhulu'), shigat Khulu' dan iwadh, atau uang tebusan, uang ganti.
1. Al-mukhala' (yang diKhulu' yaitu suami).
Para ulama sepakat bahwasannya orang yang diKhulu'' atau suami hendaknya orang yang mempunyai hak untuk mentalak. Dalam hal ini ada kaidah yang mengatakan: "man jaza thalakuhu, jaza Khulu' uh (Barangsiapa yang boleh mentalak, boleh juga untuk mengKhulu' nya)".
2. Al-mukhtali'ah (wanita yang mengKhulu', yakni isteri).
Bagi isteri yang hendak mengKhulu'' disyaratkan hal-hal berikut:
1). Hendaknya dia itu adalah isterinya yang sah secara syar'i. Hal ini karena Khulu' bertujuan untuk mengkahiri ikatan pernikahan, maksudnya posisinya sebagai isteri. Ikatan ini baru dapat pudar manakala dihasilkan dari pernikahan yang sah. Apabila dari pernikahan yang tidak sah, maka si isteri tidak ada hak untuk mengajukan Khulu'.
Persoalan berikutnya adalah apakah wanita yang sedang dalam masa Iddah boleh mengajukan Khulu'? Untuk hal ini ada dua keadaan:
a) Apabila wanita tersebut sedang dalam masa Iddah karena Thalak Raj'i, maka wanita tersebut diperbolehkan mengajukan Khulu', lantaran wanita yang sedang dalam masa Iddah Talak Raj'i masih dipandang sebagai isterinya yang sah dan karenanya, ia diperbolehkan untuk mengajukan Khulu' dengan jalan membayar sejumlah 'iwadh.
b) Apabila wanita tersebut sedang dalam masa Iddah Thalak Ba'in, maka tidak diperbolehkan mengajukan Khulu'. Apabila tetap mengajukan, maka Khulu' nya menjadi tidak sah. Hal ini lantaran dia sudah dipandang sebagai orang lain dan sudah dipandang tidak ada lagi ikatan pernikahan. Karena tidak ada lagi ikatan pernikahan, maka tidak dapat mengajukan Khulu'' dan Khulu'' hanya terjadi bagi mereka yang masih terikat dalam ikatan suami isteri. Demikian menurut Madzhab Syafi'iyyah dan Hanabilah.
Sedangkan menurut Hanafiyyah dan Malikiyyah, wanita yang sedang dalam masa Iddah Talak Ba'in diperbolehkan untuk mengajukan Khulu'. Namun, pendapat pertama tentu lebih kuat dan lebih mendekati kepada kebenaran.
2). Isteri yang mengajukan Khulu' hendaknya orang yang dipandang sah untuk melaksanakan tasharruf (penggunaan) harta juga dipandang sah untuk berderma. Hal ini dengan melihat wanita tersebut sudah baligah, berakal dan dapat dipercaya.
Apabila wanita tersebut belum baligh atau orang yang tidak waras akalnya, maka Khulu'nya tidak sah. Karena baik orang gila maupun anak kecil bukan termasuk orang yang dipandang sah untuk melakukan derma dan menggunakan hartanya.
3. 'Iwadh (Uang ganti)
'Iwadh adalah sejumlah harta yang diambil oleh suami dari isterinya karena si isteri mengajukan Khulu'. Syarat dari iwadh ini hendaknya harta tersebut layak untuk dijadikan sebagai mas kawin. Semua hal yang dapat dijadikan mas kawin, maka dapat pula dijadikan sebagai Iwadh dalam Khulu' (ma jaza an yakuna mahran, jaza an yakuna badalal Khulu').
Dalam hal ini para ulama berbeda pendapat. Menurut Hanafiyyah dan Malikiyyah, Khulu' sah meskipun tidak memakai 'iwadh misalnya si isteri mengatakan: "Khulu'lah saya ini", lalu si suami mengatakan: "Saya telah mengKhulu' kamu", tanpa menyebutkan adanya iwadh. Di antara alasannya adalah:
1) Khulu' adalah pemutus pernikahan, karenanya boleh-boleh saja tanpa iwadh sebagaimana talak yang tidak memakai iwadh.
2) Pada dasarnya, Khulu' ini terjadi lantaran si isteri sudah sangat membenci suaminya lantaran perbuatan suaminya itu sehingga ia memintanya untuk menceraikannya. Ketika si isteri meminta untuk diKhulu', lalu si suami mengabulkannya, maka hal demikian sah-sah saja meskipun tidak memakai iwadh.
Sedangkan menurut Madzhab Syafi'i, Dhahiriyyah dan yang lainnya, bahwa Khulu' tidak sah kecuali harus memakai iwadh. Di antara dalil dan alasannya adalah:
1) Dalam firmanNya, Allah mengaitkan Khulu' ini dengan tebusan sebagaimana firmanNya yang terdapat dalam surat al-Baqarah ayat 229: "Maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh istri untuk menebus dirinya". Ini menunjukkan bahwa memang Khulu'' itu harus memakai iwadh.
2) Ketika isteri dari Tsabit bin Qais hendak melakukan Khulu', Rasulullah saw memintanya untuk mengembalikan kebunnya. Ini sebagai syarat bahwa Khulu' baru sah manakala memakai iwadh
Dari kedua pendapat di atas, penulis lebih condong untuk mengambil pendapat kedua bahwa Khulu' hanya sah apabila memakai iwadh. Hal ini lantaran sepengetahuan penulis tidak ada nash baik dari ayat al-Qur'an maupun dari hadits yang membolehkan praktek Khulu' tanpa memakai iwadh.


4. Shigat Khulu'
Shigat Khulu' maksudnya adalah kata-kata yang harus diucapkan sehingga terjadinya akad Khulu'. Shigat ini mencakup dua hal, Ijab dari salah satu pihak dan Qabul dari pihak lainnya. Dengan demikian, Shigat Khulu' ini adalah kata-kata yang dapat digunakan sebagai Ijab Qabul dalam Khulu'.
Pada dasarnya, Shigat ini harus dengan kata-kata. Namun, untuk kondisi yang tidak memungkinkan, seperti karena bisu misalnya, maka shigatnya boleh dengan isyarat yang dapat dipahami.

D. Masa Iddah wanita yang mengajukan Khulu' (al-mukhtali'ah)
    Dalam hal ini para ulama terbagi kepada dua pendapat. Menurut Jumhur ulama, Iddah wanita yang mengajukan Khulu' sama dengan Iddahnya wanita yang ditalak yaitu tiga kali quru', tiga kali haid. Di antara dalilnya adalah:
1. Khulu' adalah talak dan karenanya masuk ke dalam keumuman ayat berikut ini:
وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلَاثَةَ قُرُوءٍ (البقرة: 228)
Artinya: "Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru'" (QS. Al-Baqarah: 228).
2. Khulu' adalah perceraian setelah dukhul, maka Iddahnya adalah tiga kali haid sebagaimana dengan yang selain Khulu'.
3. Dalam sebuah riwayat dikatakan:
عن نافع عن ابن عمر قال: ((عدتها أي المختلعة, عدة المطلقة)) [رواه مالك بسند صحيح]
Artinya: Dari Nafi' dari Ibn Umar berkata: "Iddahnya wanita yang mengajukan Khulu' sama dengan Iddahnya wanita yang ditalak (yaitu tida kali haid)" (HR. Malik dengan sanad Shahih).
Pendapat kedua mengatakan bahwa Iddahnya adalah satu kali haid. Pendapat ini adalah pendapatnya Utsman bin Affan, Ibn Umar, Ibn Abbas, Ibn Taimiyyah dan yang lainnya. Di antara alasannya adalah:
1. Dalam sebuah riwayat dikatakan:
عن الربيع بنت معوذ قالت: اختلعت من زوجى ثم جئت عثمان فسألته: ماذا علي من العدة؟ فقال: ((لا عدة عليك إلا أن تكونى حديثة عهد به فتمكثى حتى تحيضى حيضة)) [رواه ابن أبي شيبة بسند صحيح]
Artinya: "Dari ar-Rabi' bint Mu'awwadz berkata: "Saya mengajukan Khulu' dari suami saya. Lalu saya datang kepada Utsman bin Affan sambil bertanya: "Apa Iddah saya?" Utsman menjawab: "Tidak ada Iddah bagi kamu kecuali jika kamu tidak menikah lagi dengannya (dengan suaminya itu), maka tinggallah (ber-Iddahlah) selama satu kali haid)" (HR. Ibn Abi Syaibah dengan sanad Shahih).
2. Demikian juga dengan riwayat berikut:
ولابي داودوالترمدي, وحسنه:أن امرأة ثابت بن قيس اختلعت منه فجعل النبي صلى الله عليه وسلم عدتها حيضة [رواه أبو داود بسند حسن]
Artinya: "dan Bagi Abu Dawud dan Tirmidzi dan ia hasankan, bahwasannya isteri Tsabit bin Qais mengajukan Khulu'' dari suaminya. Rasulullah saw lalu menjadikan Iddahnya satu kali haid" (HR. Abu Dawud dengan sanad Hasan).
3. Ibnu Qayyim dalam hal ini berkata dalam bukunya Zadul Ma'ad (V/197): "Iddah wanita yang mengajukan Khulu' satu kali haid, ini lebih mendekati kepada maksud syara. Karena Iddah itu dijadikan tiga kali haid dengan maksud untuk memperpanjang kesempatan untuk rujuk, sehingga si suami dapat merujuknya selama masa Iddah tadi. Apabila sudah tidak ada kesempatan untuk rujuk, maka maksudnya adalah untuk membersihkan rahim saja (bara'atur rahm) dari kehamilan, dan hal itu cukup dengan satu kali haid saja".
E. Kedudukan Khulu’
Jumhur Fuqoha berpendapat bahwa Khulu adalah talak ba’in, karena apabila suami dapat merujuk istrinya pada masa iddah, maka penebusannya itu tidak akan berarti lagi. pendapat ini dikemukakan pula oleh imam Malik. Abu hanifah menyamakan Khulu’ dengan talak dan fasakh secara bersamaan. Sedangkan imam syafi’I berpendapat bahwa khulu’ adalah Fasakh pendapat ini juga dikemukakan Ahmad dan Dawud dan sahabat Ibnu Abbas r.a. Diriwayatkan pula dari syaf’I bahwa khulu itu adalah kata-kata sindiran. Jadi, jika dengan kata-kata sindiran itu suami menghendaki talak, maka talakpun jadi, dan jika tidak maka menjadi fasakh. Tetapi dalam dalam pendapat barunya (al-qaul al-jadid) ia menyatakan bahwa khulu’ itu talak.
Abu Tsaur berpendapat bahwa apabila khulu’ tidak menggunakan kata-kata talak, maka suami tidak dapat merujuk istrinya, sedang apabila khulu’ tersebut menggunakan kata-kata talak, maka suami dapat merujuk istrinya. Fuqaha yang menganggap khulu’ sebagai talak mengemukakan alasan, bahwa fasakh itu tidaklain merupakan perkara yang menjadikan suami sebagai pihak yang kuat dalam pemutusan ikatan perkawinan tetapi tidak berasal dari kehendaknya. Sedangkan khulu’ ini berpangkal pada kehendak, oleh karenya khulu’itu bukan fasakh.
Adapun fuqaha yang tidak menganggap khulu’ sebagai talak mengemukakan alasan bahwa dalam Al-Qur’an mula-mula Alloh menyebutkan tentang talak:
الطلاق مرتان. (البقرة: ۲۲۹)
Artinya: “talak yang dapat dirujuk itu dua kali”. (Q.S. albaqarah: 2290
Kemudian Alloh menyebutkan tentang tebusan (Khulu’), dan selanjutnya berfirman:
Artinya: “kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah Talak yang kedua), Maka perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga Dia kawin dengan suami yang lain.” (Q.S. Albaqarah : 230).

Jika tebusan tersebut adalah talak, berarti yang menyebabkan istri tidak halal lagi bagi suami, kecuali sesudah ia kawin lagi dengan lelaki yang lain itu menjadi talak keempat. Mereka berpendapat bahwa fasakh itu dapat terjadi dengan suka sama suka karena disamakan denga fasakh dalam jual beli, yakni kegagalan atau pengunduran diri.
Jadi jelaslah bahwa Khulu’ Adalah Fasakh, Bukan Talak, Jika seorang isteri telah menebus dirinya dan dicerai oleh suaminya. Maka ia berkuasa penuh atas dirinya sendiri, sehingga suaminya tidak berhak untuk rujuk kepadanya, kecuali dengan ridhanya dan perpecahan tidak dianggap sebagai talak meskipun dijatuhkan dengan redaksi talak. Namun ia adalah perusakan akad nikah demi kemaslahatan sang isteri dengan balasan menebus dirinya kepada suaminya.
Ibnul Qayyim r.a. menulis sebagai berikut, ”Dan yang menunjukkan khulu’ bukan talak adalah bahwa Allah SWT telah menetapkan tiga ketentuan yang berlaku pada talak terhadap (isteri) yang telah dikumpuli jika talak tersebut telah mencapai talak tiga. Ketetapan-ketetapan itu, tidak pada khulu’. Pertama: Suamilah yang lebih berhak rujuk kepada isterinya dalam masa iddah. Kedua: Talak maksimal tiga kali, sehingga setelah terjadi talak ketiga, isteri tidak halal bagi suaminya, terkecuali ia kawin lagi dengan suami kedua dan pernah bercampur dengannya. Ketiga: Iddah yang berlaku dalam talak terdiri atas tiga kali quru’ (bersih dari iddah).
Sementara itu, telah sah berdasarkan nash (ayat Qur-an ataua hadits) dan ijma’ (kesepatakan) bahwasanya tidak sah istilah rujuk dalam khulu’. Dan, sudah sah berdasar sunnah Nabi saw dan pendapat para shahabat bahwa iddah untuk khulu’ hanya satu kali haidh. Demikian pula telah sah juga berdasar nash syar’i bahwa boleh melakukan khulu’ setelah talak kedua dan talak ketiga. Ini jelas sekali menunjukkan bahwa khulu’ bukanlah talak. Oleh sebab itu Allah SWT menegaskan, ”Talak (yang dapat dirujuk) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan Cara yang ma’ruf atau menceraikan dengan cara yang baik dan tidak halal bagi kamu mengambil kembali dari sesuatu yang pernah kami berikan pada mereka kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat melaksanakan hukum-hukum Allah. Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami istri) tidak dapat mejalangkan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya.” (Al-Baqarah:229).
Dan ini tidak dikhususkan bagi wanita yang telah ditalak dua kali, karena hal ini ia mencakup isteri yang dicerai dua kali. Tidak boleh dhamir (kata ganti). Itu kembali kepada oknum, yang tidak disebutkan dalam ayat di atas dan meninggalkan oknum yang disebutkan dengan jelas akan tetapi mungkin dikhususkan bagi oknum yang pernah disebutkan sebelumnya atau meliputi juga selain yang sudah disebutkan sebelumnya. Kemudian Allah SWT berfirman, ”Kemudian jika suami mentalaknya (sesudah talak yang kedua) maka perempuan itu tidak halal lagi baginya.” (Al-Baqarah:230).
Ayat al-Qur’an ini meliputi perempuan yang dicerai setelah khulu’ dan setelah dicerai, dua kali secara qath’i (pasti) karena dialah yang disebutkan dalam ayat di atas. Maka ia (wanita yang di khulu’) harus masuk ke dalam kandungan lafazh ayat tersebut. Demikianlah yang difahami Imam Ahli tafsir Ibnu Abbas r.a. yang pernah dido’akan oleh Rasulullah saw. agar Allah mengajarinya tafsir Qur’an. Dan pasti doa itu terkabul, tanpa keraguan. Manakala hukum-hukum yang berlaku dalam khulu’ berlainan dengan hukum-hukum talak maka hal itu menunjukkan bahwa keduanya berlainan. Jadi inilah yang sesuai dengan ketentuan na’ah, qiyas, dan dengan pendapat para shahabat Nabi saw. (Zaadul Ma’ad V:199).


BAB III
KESIMPULAN

Menurut bahasa, kata khulu’ berasal dari khala’ ats-tsauba idzaa azzalaba yang artinya melepaskan pakaian; karena isteri adalah pakaian suami dan suami adalah pakaian isteri. Allah SWT berfirman, ”Mereka itu adalah pakaian bagimu dan kamu pun pakaian bagi mereka.” (Al-Baqarah:187). Para pakar fiqih memberi definisi bahwa khulu’ adalah seorang suami menceraikan isterinya dengan imbalan mengambil sesuatu darinya. Dan khulu’ disebut juga fidyah atau if tidak (tebusan) karena istri menebus dirinya dari suaminya dengan mengembalikan apa yang diterimanya.
Sedangkan menurut istilah para ulama mendefinisikan bhwa Khulu ialah terjadinya perpisahan (perceraian) antara sepasang suami-isteri dengan keridhaan dari keduanya dan dengan pembayaran diserahkan isteri kepada suaminya . Para ulama Fiqh mengatakan bahwa Khulu' itu mempunyai tiga hukum tergantung kondisi dan situasinya. Ketiga hukum dimaksud adalah: mubah, haram dan sunnah, tergantung keadaan yang menyebabkan seseorang mengajikan khulu’. Khulu' dapat dipandang sah dan jatuh, apabila memenuhi persyaratan rukun-rukunnya. Yang termasuk rukun Khulu' ada empat, yaitu suami (al-mukhala', yang diKhulu'), isteri (al-mukhtali'ah, yang mengKhulu'), shigat Khulu' dan iwadh, atau uang tebusan, uang ganti. Menurut Jumhur ulama, Iddah wanita yang mengajukan Khulu' sama dengan Iddahnya wanita yang ditalak yaitu tiga kali quru', tiga kali haid, Pendapat kedua mengatakan bahwa Iddahnya adalah satu kali haid. Pendapat ini adalah pendapatnya Utsman bin Affan, Ibn Umar, Ibn Abbas, Ibn Taimiyyah dan yang lainnya.